General

Mungkinkah Real Count dan Quick Count Beda Hasil?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Proses rekapitulasi suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih berlangsung sampai hari ini. Tahapan real count dari KPU memang paling dinanti, ketika proses quick count alias hitung cepat dari sejumlah lembaga survei justru saat ini diragukan. Lalu, seperti apa hasil akhir dari real count dan quick count? Apakah berbeda?

Misalnya saja baru-baru ini, dikabarkan bahwa hasil real count KPU di Provinsi Bengkulu telah mencapai 100 persen dan ternyata hasilnya itu berbeda dengan hasil quick count sejumlah lembaga survei khusus wilayah Bengkulu. Real count KPU menunjukkan perolehan suara Joko Widodo-Ma’ruf Amin justru berada di bawah Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Dari total 6.165 TPS, perolehan suara yang masuk sudah berjumlah 6.165, pada Sabtu, 27 April 2019, pukul 17.00 WIB. Dari hasil real count KPU, Prabowo-Sandi mendapatkan total 50,13 persen dengan total perolehan suara sebesar 585.521 suara. Sementara, Jokowi-Ma’ruf Amin mendapatkan 49,87 persen atau 582.564 suara.

Sementara hasil quick count sejumlah lembaga survei khusus wilayah Bengkulu memang mengunggulkan Jokowi-Ma’ruf, meski ada juga yang mengunggulkan Prabowo-Sandi. Misalnya Indikator Politik menempatkan Jokowi-Ma’ruf: 52,61%, dan Prabowo-Sandi: 47,39%. Lalu Poltrakcing dengan Jokowi-Ma’ruf 58,78% sedangkan Prabowo-Sandi 41,22%

Sementara lembaga survei yang mengunggulkan Prabowo-Sandi menang dalam hasil quick count di Bengkulu adalah CSIS, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Charta Politika dan LSI Denny JA. Hasilnya, CSIS & Cyrus menempatkan Prabowo-Sandi unggul 53,38 persen, Jokowi-Ma’ruf 46,62 persen. Lalu, SMRC merilis Prabowo-Sandi menang dengan perolehan 52,97 persen, sedangkan Jokowi-Ma’ruf 47,03 persen.

Charta Politika juga ikut merilis kemenangan untuk Prabowo-Sandi dengan suara 52,72 persen dan Jokowi-Ma’ruf 47,28 persen. Sementara itu LSI Denny JA menempatkan Prabowo unggul 50,37 persen dan Jokowi 49,63 persen.

Nah, perbedaan hasil real count KPU dengan quick count sejumlah lembaga survei, khususnya di Provinsi Bengkulu inilah, yang kemudian jadi sorotan publik. Sehingga banyak yang terlalu dini mengambil kesimpulan dengan menilai bahwa lembaga survei tidak bisa dipercaya dan hasil quick count-nya dipastikan meleset dari hasil real count KPU. Padahal semua itu ada perhitungannya.

Proses Quick Count dan Real Count di Pemilu 2019

Beberapa jam setelah pencoblosan di Pemilu 2019, masyarakat langsung disuguhkan oleh data-data perolehan quick count di hampir semua media dan televisi, untuk pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi. Hasil quick count memang untuk memberikan gambaran terhadap hasil real count dari KPU, namun bukan hasil perolehan suara sebenarnya.

Yang melakukan proses hitung cepat tersebut adalah lembaga survei. Dalam prosesnya, hitung cepat sendiri mengambil sampel dari hasil pemungutan suara di sejumlah TPS yang sudah ditentukan dan dalam hal ini penentuannya tidak bisa sembarangan dan semaunya. Memang ada metode dalam menentukan TPS yang akan dijadikan sebagai sampel.

Lalu, untuk mendapatkan tingkat kesalahan di bawah 1 persen, hitung cepat membutuhkan 1.200 sampel TPS. Angka tersebut merupakan turunan metodologis dari angka 190 juta pemilih yang tersebar di 813 ribu TPS di seluruh Indonesia. Namun sejumlah lembaga survei mengambil angka lebih dari itu.

Bahkan, ada lembaga survei yang mengambil 2.000 sampel, atau bahkan mencapai 6.000 sampel demi memperkuat hasil penghitungan suara sedekat mungkin dengan hasil KPU. Para peneliti melakukan pendataan saat di TPS pada formulir model C1-PPWP (Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden), lalu hasilnya disetor ke pusat data lembaga survei.

Nantinya, saat suara masuk dari seluruh sampel TPS sudah berada pada angka di atas 70 persen, maka biasanya pergerakan grafik alias perubahannya akan landai dan tidak signifikan. Dari sinilah kemudian sejumlah lembaga survei berani menyimpulkan siapa yang unggul dari sebuah pemilihan, meski selalu disertai “disclaimer” bahwa masyarakat tetap harus menunggu hasil resmi dari KPU, lantaran quick count memang bukanlah hasil resmi, melainkan hasil bayangan.

Sedangkan real count yang dilakukan KPU sendiri merupakan jenis penghitungan nyata dari formulir model C1 dan C1 Plano. Formulir Model C1-Plano terdiri terpisah, antara setiap hasil penghitungan kertas suara. Misalnya untuk Pemilihan Presiden, hasil penghitungan suara di sebuah TPS ditulis menggunakan formulir model C1 Plano-PPWP atau hasil rekapitulasi penghitungan suara total Pemilu Presiden dan Legislatif.

Sementara Formulir C1 merupakan catatan hasil penghitungan suara total dari seluruh jenis kertas suara. Jadi angka perolehan Pilpres, DPR, DPRD, dan DPD, ada di formulir model C1 ini. Di Pemilu 2019, hasil formulir-formulir penghitungan suara ini, setelah dari TPS langsung dilakukan rekapitulasi dari mulai tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga KPU Pusat (pada pemilu sebelumnya, dilakukan mulai dari tingkat Kelurahan).

Beda Hasil Quick Count dan Real Count Pasti Ada

Terkait hal itu, Kepala Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Syamsuddin Haris mengatakan bahwa dalam perhitungan hasil quick count dan real count, bisa saja hasilnya berbeda. Yang jelas, Prof Haris menegaskan bahwa hasil real count dari KPU lah yang harus ditunggu karena bisa dipercaya.

“Beda hasil real count dan quick count pasti ada, tapi relatif kecil atau tipis. Kenapa? Karena real count adalah hasil real/nyata pemilu di semua TPS, kata  sedangkan quick count berdasarkan hasil real/nyata pemilu di TPS yang menjadi sampel atau yang secara metodologis dianggap mewakili populasi (mewakili semua TPS),” kata Prof Haris saat dihubungi Asumsi.co, Senin, 29 April 2019.

Sementara sebelumnya, Direktur Riset Charta Politik Muslimin mengatakan bahwa perbedaan data antara real count Pilpres 2019 dari TPS di Bengkulu oleh KPU dan quick count lembaga survei, dinilai masih dalam rentang margin of error sebesar 1-2%. Menurut Muslimin, tidak ada masalah serius dari perbedaan hasil tersebut.

“Untuk kasus Bengkulu menurut kami meskipun kami di Charta terbilang tepat memberikan keunggulan pada 02 tidak ada masalah serius karena masih ada dalam rentang margin of error,” kata Muslimin di Jakarta, Minggu, 28 April 2019.

Muslimin mengatakan bahwa dalam prinsip statistik, semakin kecil Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebuah daerah seperti Bengkulu untuk potret hasil pemilu nasional, maka potensi salah pun bisa sangat besar.

“Katakan untuk tingkat nasional margin of error 1%, lalu ditarik ke daerah-daerah. Maka, angka margin of error-nya jadi besar karena sampel yang diambil seperti Bengkulu dengan DPT kecil pasti tidak banyak. Katakan hanya 15 TPS dari 2.000 TPS,” ujarnya.

Lalu, menurut Muslimin, dalam konteks ini, untuk memotret secara objektif kinerja lembaga quick count hanya berdasarkan hasil di Bengkulu sangat tidak beralasan. “Apalagi jika itu dipersoalkan untuk mempertanyakan hasil di tingkat nasional. Itu lagi pula masih dalam rentang margin of error,” ucapnya.

Share: Mungkinkah Real Count dan Quick Count Beda Hasil?