General

Mungkinkah Kongres Luar Biasa Partai Demokrat Menggeser SBY?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Partai Demokrat dilanda kisruh internal tentang isu Kongres Luar Biasa (KLB). Wacana itu muncul dari kader-kader senior Demokrat yang tergabung dalam Gerakan Moral Penyelamatan Partai Demokrat (GMPPD). Hal ini jadi sorotan lantaran lantaran dianggap bertujuan menggeser posisi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara halus.

Politikus senior Demokrat yang tergabung dalam GMPDD antara lain anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Max Sopacua, pendiri Demokrat Ahmad Mubarok, dan tokoh-tokoh lain seperti Ahmad Jaya dan Ishak. Salah satu keberatan mereka ialah hasil Pemilu Legislatif 2019, di mana Demokrat hanya mendapatkan 7,7% suara dan menempati peringkat ketujuh.

Walaupun melewati ambang batas parlemen, capaian itu membuat Demokrat menempati posisi terendah sejak menjadi peserta Pemilu 2004. Maka dari itu, GMPPD menilai perlu adanya introspeksi dan evaluasi menyeluruh. “GMPPD mendorong pelaksanaan Kongres Luar Biasa Partai Demokrat selambatnya 9 September 2019 demi mengembalikan kejayaan partai pada 2024,” kata Max dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (13/06) seperti dilansir Antara.

Lazimnya, kongres partai berlambang bintang mercy itu diselenggarakan per lima tahun, sehingga yang terdekat ialah 2020. Namun, GMPPD menganggap kongres melalui KLB perlu disegerakan demi menyelamatkan partai.

Max mengatakan jika KLB jadi digelar, posisi ketua umum partai bisa diwariskan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra SBY. AHY dinilai memiliki kemampuan untuk melanjutkan kepemimpinan ayahnya. “Kalau KLB tidak perlu susah-susah, Pak SBY tinggal menyerahkan kepada Mas Agus Harimurti Yudhoyono,” ujar Max.

Pengurus Demokrat Daerah Tolak KLB

Upaya para kader senior untuk mempercepat kongres Demokrat tak berjalan mulus. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto mengatakan dorongan untuk menggelar KLB merupakan bentuk masukan dari kader partai. “DPP (Dewan Pimpinan Pusat) pasti akan melaksanakan rapat, melaksanakan fungsi-fungsinya, dan tentunya masukan itu pasti ditanggapi,” kata Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/06), seperti dilansir dari Antara.

Agus melanjutkan: “Dalam hal ini, ditanggapi tidak harus berarti memenuhi yang diminta. Bisa saja yang lain. Tapi apa-apa yang disampaikan kader pasti ditanggapi oleh DPP.”

Tentang kritik terhadap penurunan elektabilitas partai, Agus pun mengakuinya. Hal itu juga akan dibahas di DPP.

Namun, di sisi lain, wacana KLB tak dipandang serius oleh para pengurus Demokrat di daerah. Misalnya saja DPD Partai Demokrat Provinsi DKI Jakarta yang secara tegas menolak usul penyelenggaraan KLB.

Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta Taufiqurrahman mengatakan, naik atau turunnya perolehan suara partai dalam pertarungan pemilu merupakan hal yang biasa. Maka, proses evaluasi usai Pemilu pun harus dijalankan, namun tidak perlu melalui KLB. Pelaksanaan KLB, lanjut Taufiqurrahman, baru bisa dilakukan kalau ada kejadian luar biasa dan ada angka minimum suara DPC dan DPD Demokrat di seluruh Indonesia.

Ada pula DPD bersama Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat di Nusa Tenggara Barat yang menolak KLB. “Sangat prihatin dan menyesalkan dinamika yang terjadi akibat proklamasi GMPPD di tengah suasana duka dan berkabungnya seluruh keluarga besar Partai Demokrat atas wafatnya Ibu Ani Yudhoyono,” kata Ketua DPD Partai Demokrat NTB TGH Mahally Fikri di Mataram.

Mahally menganggap tidak ada dasar untuk menggelar KLB sesuai dengan konstitusi dan peraturan organisasi (PO) Partai Demokrat. Menurutnya, jika KLB terlaksana di luar ketentuan yang diatur AD/ART partai, hal itu bakal jadi preseden buruk bagi partai itu ke depan. “KLB yang dilaksanakan di luar aturan pada hakikatnya makar atau pemberontakan pada pemimpin yang sah,” ujarnya.

Lama Memimpin, SBY Tak Mendongkrak Elektabilitas Demokrat

SBY memang telah lama memimpin Demokrat. Pada Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang diadakan di Bali tanggal 30 Maret 2013, SBY ditetapkan sebagai ketua umum Demokrat, menggantikan Anas Urbaningrum. Ia juga memilih Syarief Hasan sebagai Ketua Harian DPP Demokrat.

Pada periode itu, Syarief juga menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM di Kabinet Indonesia Bersatu II era SBY. Sementara, Marzuki Alie ditunjuk sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi yang sebelumnya dijabat Anas Urbaningrum. Adapun Ketua Harian Dewan Pembina dijabat oleh E.E. Mangindaan, yang saat itu menjabat Menteri Perhubungan.

Namun, dalam dua pemilu terakhir, yakni 2014 dan 2019, perolehan suara Demokrat justru mengalami penurunan. Padahal, nama besar SBY sempat sangat berpengaruh bagi masyarakat Indonesia. Setelah SBY tak lagi menjabat sebagai presiden, Demokrat pun kesulitan mendongkrak elektabilitasnya.

Sebetulnya, Demokrat sudah memasang ancang-ancang untuk melakukan suksesi kepemimpinan dengan menaruh AHY di panggung politik berskala besar. AHY bahkan langsung dijadikan calon gubernur DKI Jakarta, meski akhirnya kalah. Langkah AHY tak berhenti. Putra sulung SBY itu kemudian ditunjuk sebagai ketua Komando Tugas Bersama (Kogasma) yang mengemban tugas menjalin komunikasi politik dengan partai-partai lain menjelang Pemilu 2019.

Berkat pergerakan dan keaktifannya di panggung politik jelang Pemilu 2019, nama AHY pun sempat mondar-mandir dalam bursa bakal calon wakil presiden. Oleh sejumlah lembaga survei, ia disebut-sebut layak mendampingi Jokowi atau Prabowo, meski akhirnya urung ikut serta.

Sampai hari ini, AHY dianggap paling potensial untuk meneruskan estafet kepemimpinan sang ayah, terutama menjelang Pemilu 2024.

Share: Mungkinkah Kongres Luar Biasa Partai Demokrat Menggeser SBY?