Budaya Pop

Mulan dan Pertempuran yang Tak Pernah Usai

Nicky Stephani — Asumsi.co

featured image

“Kamu sukanya princess yang mana?”

“Aku sukanya Mulan.”

Perbincangan masa kanak-kanak itu masih membekas di ingatan saya hingga saat ini. Ya, saya mengagumi Mulan. Saat tahu Disney hendak memproduksi film live action Mulan, saya girang setengah mati. Akhirnya jagoan favorit saya mendapat giliran untuk beraksi secara nyata.

Mulan memang seorang Disney princess, tetapi di mata saya ia seorang jagoan. Jauh sebelum Marvel dan DC memamerkan koleksi superhero mereka di layar lebar, hati saya sudah jatuh sejadi-jadinya kepada Mulan.

Saya masih ingat betul bagaimana Mulan versi animasi menghapus riasan wajahnya setelah ia gagal dalam perjodohan. Mulan yang menatap pantulan wajahnya pada genangan kolam membuat saya tersentuh. Terlebih karena momen ini diiringi lagu “Reflection” yang dinyanyikan oleh Lea Salonga (Christina Aguilera untuk versi lengkapnya).  Saya terseret kesedihan Mulan, yang merasa tak berguna karena gagal memenuhi ekspektasi keluarganya untuk lekas kawin, beranak, dan berbahagia.

Semua yang sudah menonton Mulan versi animasi dan/atau live action pasti sudah tahu alur kisah ini. Yang jelas, Mulan mengalami transformasi dari seseorang yang kebingungan menjadi tokoh yang jujur, berani, dan tangguh. Menyaksikan Mulan berarti mengikuti perjalanan seorang perempuan yang digilas patriarki menjadi perempuan yang utuh dan berdaya.

Mulan yang mengambil keputusan terjun ke medan perang menggantikan ayahnya menunjukkan kepada kita bahwa siapa pun bisa menentukan jalan hidupnya.

Meskipun bagi banyak orang Mulan adalah perempuan nekat, bagi saya ia adalah seseorang yang jujur dengan dirinya sendiri, dengan pikiran dan perasaannya. Ia bukan perempuan sembrono yang terjun ke medan perang tanpa pertimbangan. Ia memahami kondisi keluarganya dan mengetahui apa yang ia miliki untuk menangani kondisi tersebut.

Keberanian Mulan membuahkan berkah sekaligus musibah. Berkah karena ia bisa mengalahkan pasukan pemberontak Rouran di tengah padang salju. Musibah karena pada saat yang sama identitasnya sebagai perempuan terbongkar. Lalu, apakah lantas ia kabur? Tidak. Ia mengakui kebohongannya dan bersedia menerima hukuman apa pun, bahkan jika itu adalah hukuman mati. Ia siap menjalani konsekuensi dari pilihannya.

Kita pun melihat Mulan yang percaya diri saat bertempur dalam pasukan kecil melawan para dedengkot Rouran. Ketakutan jelas terpancar dari wajahnya, tapi bukankah takut adalah hal yang wajar dalam hidup manusia? Saya justru melihat bahwa Mulan bukannya takut karena merupakan satu-satunya perempuan yang bertempur, melainkan karena ia tidak mau mengecewakan dirinya sendiri. Bukan ekspektasi keluarga atau teman-teman prajuritnya yang ia coba penuhi. Janjinya kepada diri sendirilah yang membuatnya gemetar.

Dalam ketakutannya, Mulan melawan dan menang. Siapa yang mengira perempuan yang tangannya bergetar saat menuang teh dari poci ke cangkir adalah perempuan yang lihai menebaskan pedang dan jago memanah? Pada pertarungan terakhir, ia bertempur sebagai dirinya sendiri: seorang perempuan.

Saya tertawa geli saat seorang teman berkomentar “Mulan berantem tapi tetap cantik, rambut terurai dan pakai dress pula, bukan baju perang.” Perempuan masih mengutamakan penampilan dalam kondisi genting sekalipun, kata teman saya.

Kenapa, memangnya? Kalau Mulan mau bertarung dengan heels 17 cm, ia bisa melakukannya. Kalau Mulan mau memanjat atap kerajaan dengan rok mini, ia boleh melakukannya. Atau kalau Mulan mau bersalto dengan sanggul rambut setinggi nasi tumpeng, ia tetap bisa melakukannya. Bukan penampilannya yang mesti terus-terusan disoroti, melainkan perlawanannya tanpa mengesampingkan jati dirinya sebagai perempuan. Mulan bertempur sebagai dan dengan cara perempuan. Itu tidak sepatutnya kita abaikan.

Film Mulan versi live action menuai kontroversi di jagad maya. Berbagai kritik pun dilancarkan pada kisah yang sudah berusia 22 tahun itu (Mulan versi animasi tayang di bioskop tahun 1998). Bukan masalah. Setiap orang punya pemahaman dan penilaiannya masing-masing dalam hal apa pun, termasuk menikmati sebuah film. Tanpa membandingkan antara versi animasi dan live action-nya, kisah Mulan senantiasa memikat sekaligus menggugah hati saya.

Waktu berlalu dan para perempuan tetap saja mengemban banyak tuntutan. Perempuan harus menikah, perempuan tidak boleh berkelahi, perempuan harus menomorsatukan keluarga, dan ada banyak lagi keharusan lain yang ditaati begitu saja tanpa dipertanyakan. Setiap hari perempuan menghadapi pertempurannya: menunjukkan atau menyembunyikan jati dirinya, mengungkapkan atau menahan pendapatnya, mewujudkan mimpi atau mengalah demi “kebaikan bersama.”

Tak ada yang tahu kapan pertempuran ini akan berakhir. Yang saya tahu, perempuan tidak tinggal diam. Banyak yang sedang atau bahkan sudah mempertanyakan eksistensi dan mimpinya. Banyak pula yang kemudian merasa tidak nyaman karena menyadari bahwa bukan hal-hal “normal” yang ingin mereka jalani, lalu mengambil sikap dan berproses menuju pemenuhan dirinya sendiri. Hingga pada suatu waktu para perempuan itu bisa menunjukkan kepada dunia apa yang sesungguhnya ada dalam hati mereka dan kemudian bisa mencintai diri mereka apa adanya.

Kecintaan saya pada Mulan tidak akan pernah pudar. Ia akan selalu menjadi jagoan saya. Perjuangan Mulan adalah perjuangan saya sebagai seorang perempuan yang tak kunjung usai.

Nicky Stephani. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya. Suka mencermati dan menulis tema gender, seksualitas, dan budaya populer di waktu luangnya.

Share: Mulan dan Pertempuran yang Tak Pernah Usai