Isu Terkini

Sidney Jones: MIT Tanam Benih Negara Islam di Poso

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Empat orang terbunuh, enam rumah hangus, dan puluhan warga mengungsi. Brutalitas kelompok teror Mujahidin Indonesia Timur (MIT) kembali memakan korban. Akhir pekan lalu, di tengah pandemi, begundal-begundal ini menyerang warga Lemba Tongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Pelaku, diperkirakan berjumlah delapan orang, berhasil menghilang. Aparat keamanan berupaya melacak jejak mereka.

MIT tidak dibangun dalam semalam. Satu dekade mereka menyemai bibit-bibit teror di Poso.

Asumsi menghubungi Sidney Jones, Direktur IPAC, organisasi nirlaba yang fokus pada isu terorisme, untuk mengetahui kiprah MIT. Berikut petikannya:

Bagaimana Mujahidin Indonesia Timur (MIT) berdiri?

Kelahiran MIT tidak bisa dilepaskan dari kiprah Santoso—alias Abu Wardah Asy Ayarqi—yang lebih senang jika bisa memimpin sendiri satu kelompok.

Sebelumnya, dia merupakan anggota Jamaah Islamiyah (JI). Dia keluar karena tidak cocok dengan organisasi tersebut. Pada 2010, dia bergabung dengan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang didirikan Abu Bakar Ba’asyir. Di JAT, dia menjabat sebagai ketua bagian askari, atau kelompok tentara JAT, di daerah Poso dan Sulawesi Tengah.

Di JAT juga Santoso juga tidak begitu senang dengan struktur organisasinya. Maka, pada 2012, Santoso memisahkan diri dan mendirikan MIT. Dari situlah dia mulai bergerak atas namanya sendiri.

Setelah ISIS terbentuk dan [konsep negara] khilafah diumumkan pada 2014, dia menjadi orang Indonesia pertama yang bergabung dengan ISIS sekaligus berbaiat ke Abu Bakr al-Baghdadi. Semenjak itu, MIT perlahan mulai dicap sebagai organisasi [teror] yang berafiliasi dengan ISIS.

MIT berkembang, dan sampai pada puncaknya [mereka] memiliki 40 hingga 45 anggota. Namun, beberapa operasi [yang dipimpin] tentara juga mulai dilakukan untuk melawan MIT. Anggota MIT pun [dari operasi itu] banyak yang tewas dan ditangkap. Jadilah [anggota] mereka tinggal sedikit, apalagi pada 2016 Santoso tewas.

Akan tetapi, setelah gempa dan tsunami di Palu, secara pelan-pelan, MIT merekrut orang-orang baru, seolah [mereka menjadi] relawan kemanusiaan. Yang direkrut ada dari Jawa Barat, Bima (Nusa Tenggara Barat), dan daerah lain di luar Poso. MIT pun membesar lagi, dengan keanggotaan sekitar 15 sampai 20 orang.

Munculnya MIT ini lalu mendorong pemerintah untuk melakukan perlawanan. Lewat [Operasi] Tinombala, anggota MIT dikejar lagi dan banyak yang tewas sehingga jumlah mereka menjadi kecil dan sedikit sekali. Mungkin tinggal sekitar 5 sampai 6 orang.

Yang menarik, ada satu pemimpin baru, bukan Ali Kalora, yang sebelumnya menggantikan Santoso. Dia adalah Baroq—alias Amham Mubaroq—dari Bima. Dia muncul sebagai pemimpin yang sedikit lebih karismatik daripada Ali Kalora. Berkaca dari peristiwa sepanjang 2020, dia muncul sebagai pemimpin di dua aksi yang terjadi pada Maret dan Agustus, di mana korban [tewas] juga dibacok.

Berarti, pada intinya, MIT lahir karena ketidakpuasan Santoso atas pengelolaan dan kepemimpinan di kelompok-kelompok yang diikutinya?

Ya, tapi, ada beberapa faktor lainnya juga yang memengaruhi. Misalnya, di daerah Poso ada suatu kelompok kecil yang masih merasa tidak puas dengan apa yang terjadi pascakonflik Poso dan ketika Perjanjian Malino—yang menyelesaikan konflik sektarian mematikan antara kelompok Islam dan Kristiani di Maluku—diteken pada 2001. Ada dari mereka yang ingin balas dendam. Orang-orang ini kemudian berkumpul dan ingin berjihad di daerah Poso.

Baru setelah ISIS diumumkan, mereka mulai mengangkat tujuan [jihad] yang lebih luas daripada Poso.

Perlu dicatat, sebelum berhubungan dengan ISIS, Santoso sendiri ada hubungan dengan Al-Qaeda. Dia juga berkorespondensi dengan Global Islamic Media Front—media dan corong propaganda kelompok ekstremis. Setiap peristiwa yang terjadi di Poso, dia kirim potongan videonya ke Al-Qaeda dan media itu, yang berlokasi di Pakistan.

Apa sebetulnya tujuan MIT?

Ada beberapa. Balas dendam atas apa yang terjadi di masa konflik, dengan menjadikan polisi sebagai musuh nomor satu. Lalu memakai Poso sebagai bibit [pembentukan] negara Islam di Indonesia. Ide [Santoso] adalah agar Poso bisa jadi pusat perjuangan negara Islam. Selain itu, tujuan mereka lainnya ialah mendukung khilafah yang dikampanyekan ISIS di Indonesia.

Bagaimana cara yang ditempuh MIT agar tujuan itu tercapai?

Saya kira, waktu mereka masih punya lebih banyak anggota, mereka mau membikin semacam kelompok di mana syariat Islam diterapkan secara penuh, di samping tetap melakukan praktik “jihad” yang mereka yakini. Namun, kenyataannya, mereka tidak pernah menguasai teritori yang lebih luas [demi merealisasikan tujuan itu].

Apakah pengaruh Santoso masih kuat sekalipun dia sudah meninggal?

Usai Santoso tewas, wewenang diserahkan ke Ali Kalora. Hanya, ternyata Ali Kalora tidak sepintar Santoso.

Dalam proses rekrutmen anggota, MIT biasanya melakukan pendekatan seperti apa?

Mereka memakai media sosial, dari Facebook hingga Telegram, untuk merekrut anggota. Itu sangat penting untuk yang tinggal di luar daerah Sulawesi.

Menarik…

Praktik rekrutmen dengan media sosial sebetulnya sudah lama dipakai. Dari tahun ke tahun, penggunaannya semakin variatif karena jenis media sosial [yang ada] juga lebih banyak. Tidak hanya Facebook, melainkan Telegram juga.

Apa yang hendak disampaikan MIT lewat peristiwa berdarah kemarin?

Kita tidak tahu pasti. Kita mesti menunggu hasil investigasi terlebih dahulu. Namun, ada beberapa kemungkinan yang sifatnya masih spekulasi. Pertama, mereka desperate karena terus-terusan dikejar tentara. Karena itu, mereka mencari target supaya dapat logistik berupa makanan dan sebagainya. Mungkin sebab itu juga yang dipilih adalah keluarga polisi.

Sedangkan yang kedua, mereka ingin memperlihatkan kepada publik bahwa mereka masih ada dan masih bisa bergerak. Terakhir, saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi mengingat korban kali ini [beragama] Kristen, ada kemungkinan di antara mereka yang ingin kembali memicu konflik Kristen dan Islam.

Sebetulnya, beberapa bulan lalu, istri Ali Kalora sudah ditangkap. Dan ini mungkin yang menarik juga bahwa mereka memanfaatkan perempuan sebagai kombatan, praktik yang dilakukan sejak sekitar empat tahun lalu. Sejauh ini, ada tiga perempuan yang ditangkap, termasuk istri Santoso. Sekarang, mereka semua sudah bebas.

Apakah kemunculan MIT kemarin memperlihatkan bahwa sel-sel teror yang berafiliasi dengan ISIS masih hidup?

Kelompok teror di Indonesia tidak hanya berafiliasi dengan ISIS. Mereka punya sejarah yang begitu lama. Kelompok di Poso, misalnya, punya hubungan dengan Darul Islam di Makassar, yang secara usia jauh lebih tua daripada [kelompok] Poso.

Darul Islam ini menginginkan perjuangan seperti zaman Kahar Muzakkar, pada 1950-an. Antara Poso dan Makassar cukup terlibat aktif dalam berbagai kerjasama. Gambaran serupa juga muncul pada kelompok teror atau yang pro-ISIS di Jawa Barat. Mereka mendukung konsep Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)—dicetuskan Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo.

Sel-sel teror Indonesia seperti punya kecenderungan untuk kembali ke sejarah zaman dulu.

Apa perbedaan antara kelompok teror di wilayah timur Indonesia seperti, misalnya, Sulawesi, dengan yang di Jawa?

Saya kira dari segi tujuan mereka sama: menerapkan syariat Islam, menganggap yang melarang hal itu sebagai musuh, dan mendukung khilafah secara global. Bedanya, kalau kita bicara tentang apa yang terjadi di Poso atau Ambon, ada latar belakang konflik: mereka melihat orang nonmuslim sebagai musuh.

Konflik berarti cukup berpengaruh juga, ya, dalam perkembangan kelompok teror di Indonesia.

Iya, dan ini yang menarik sekali.

Bagaimana kiprah Satuan Tugas (Satgas) Tinombala sejauh ini dalam melawan aksi-aksi teror?

Saya tidak tahu bagaimana persisnya. Tapi ketika kelompok teror masih ada, itu menandakan bahwa kerja mereka belum maksimal.

Masalah [kinerja Tinombala] memang muncul sejak tahun-tahun pertama operasi. Baik tentara maupun polisi tidak dibekali kemampuan bertahan atau berperang di hutan. Mereka hanya terlatih untuk melawan di lokasi yang tidak jauh dari jalan besar, sementara ciri khas dari [kelompok] Santoso sendiri adalah mereka betul-betul menguasai kawasan hutan di pesisir Poso. Mereka bisa pindah dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa ketahuan. Meski begitu, terlepas dari efektif atau tidaknya, kalau tidak ada mereka [Tinombala], saya rasa masalahnya akan jauh lebih besar.

Apakah hal itu menandakan kelompok Santoso lebih pintar ketimbang aparat keamanan kita?

Saya kira bukan soal lebih pintar, tapi [mereka] lebih tahu daerahnya.

Apa yang harus dilakukan agar aksi-aksi teror seperti kemarin dapat dihentikan?

Saya kira penting sekali, dan itu sudah dilakukan, bahwa pemerintah harus melakukan pendekatan secara terus menerus kepada mantan napi terorisme dari Poso dan Bima supaya mereka tidak kembali ke jaringan lama mereka. Mereka harus dipantau dari satu sisi dan didukung supaya punya sumber rezeki. Tujuannya adalah agar mereka tidak melihat kembali kelompok ekstremis sebagai satu keluarga.

Perkembangannya bagaimana?

Meski sudah berjalan, masalahnya proyek ini sering bergantung pada satu atau dua orang saja. Pernah ada satu kejadian di polres, saya lupa daerahnya, yang bagus sekali menerapkan program ini.

Mereka kenal dengan jaringan napiter dan konsisten membantu keluarga [mereka]. Namun, ketika kepala polisi itu dimutasikan, proyek—merujuk istilah pemerintah, ‘deradikalisasi’—jadi beku. Beruntungnya, di Poso sendiri banyak LSM [Lembaga Swadaya Masyarakat] yang aktif [membantu napiter atau mantan teroris]. Usaha mereka cukup baik.

Bagaimana dengan pelacakan aliran dana terhadap kelompok teror di Poso? Bisakah jadi cara untuk menutup gerak mereka?

Saya kira sudah ada usaha begitu. Namun, apa yang mereka lakukan tidaklah butuh banyak uang. Berapa, sih, yang diperlukan untuk bacok orang? Kelompok-kelompok teror itu tidak berjalan dengan operasi berskala besar. Operasi mereka kecil.

Ada anggapan umum bahwa terorisme tidak punya agama. Namun, kenyataannya, di Indonesia sendiri terorisme punya relasi kuat dengan—bagkan mengatasnamakan—Islam. Bagaimana Anda melihatnya?

Saya kira terorisme hampir [bisa] dikaitkan dengan ideologi apa saja. Di Filipina, kelompok komunis yang masih tersisa sering memakai taktik teror. Sementara di Amerika, ada gerakan white power yang pakai taktik teror juga terhadap kelompok minoritas. Terorisme memang tidak terkait agama tertentu saja.

Namun, yang jelas, ketika ada kelompok tertentu meyakini bahwa kebenaran hanya berasal dari mereka, di situlah bibit-bibit teror muncul.

Share: Sidney Jones: MIT Tanam Benih Negara Islam di Poso