Isu Terkini

(Mispersepsi) Konservatif dalam Spektrum Perpolitikan Indonesia

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Arus konservatif di perpolitikan Indonesia belakangan ini sedang meningkat tajam. Hal ini bisa dilihat dari mobilisasi massa yang mendukung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno ketika maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017 kemarin. Namun, apakah mobilisasi massa tersebut merupakan arus konservatif dalam politik dan sudah sesuai dengan esensi dari spektrum ideologi konservatif itu sendiri?

Memahami spektrum konservatif dalam politik sebenarnya merupakan suatu hal menarik, mengingat spektrum ideologi politik ini belum begitu tenar di kalangan anak muda. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Higher Education Policy Institute dan Youthsight pada 2017 kemarin, ditemukan fakta bahwa 68% anak muda Inggris akan memilih Partai Buruh yang notabene berada di spektrum liberal. Bahkan, ada sebuah kalimat pengandaian yang cukup terkenal menyatakan bahwa:

“If you are not a liberal at 25, you have no heart. If you are not a conservative at 35, you have no brain.”

Kalimat di atas memiliki makna bahwa semakin tua seseorang, barulah dia akan memiliki kemungkinan menjadi seorang konservatif. Kalimat ini juga menandai bahwa keterbatasan anak muda di spektrum konservatif sebenarnya sudah diketahui banyak orang.

Di Indonesia sendiri, mispersepsi konservatif dan definisi yang terlalu sempit membuat banyak orang hanya mengaitkan konservatif dengan sikap-sikap intoleransi dan primordialisme. Padahal, banyak hal lain yang dapat dipelajari dari spektrum konservatif ini, khususnya dari sektor politik dan ekonominya. Mari telaah lebih dalam apa saja yang dapat dipahami dari nilai-nilai konservatif ini.

Esensi Konservatif dalam Politik dan Ekonomi

Ketika mendengar kata konservatif dalam perpolitikan Indonesia, banyak orang yang langsung bersikap tidak acuh. Banyak yang beranggapan bahwa orang-orang konservatif itu usang dan pemahamannya tidak mengadopsi perkembangan zaman. Di sisi lain, kini spektrum liberal semakin banyak diminati, dengan mengusung kata ‘progresif’ dan mengedepankan anak muda sebagai jargonnya. Rasanya, progresif dan anak muda merupakan hal positif yang menjadi antitesis dari konservatif itu sendiri.

Namun yang banyak tidak diketahui adalah spektrum konservatif tidak selalu berkaitan dengan primordialisme dan intoleransi. Terdapat esensi politik dan ekonomi yang sebenarnya perlu dipahami, terutama jika ingin melakukan perlawanan narasi secara sehat terhadap sisi liberal, alih-alih hanya melakukan perlawanan narasi dengan isu dan omong kosong belaka.

Dari segi politik, definisi dari konservatif itu sendiri adalah mengusung peran pemerintah yang terbatas dan minimal di masyarakat. Maksudnya, konservatif meyakini bahwa negara tidak perlu hadir terlalu banyak mengurus hajat hidup individu. Peran pemerintah lebih hanya untuk menegakkan hukum ke dalam dan menjaga kedaulatan negara. Sisanya, konservatif percaya bahwa manusia dengan rasionalitasnya akan bergerak sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Intervensi yang terlalu banyak dalam kehidupan masyarakat justru akan mendistorsi rasionalitas dan membuat kondisi yang tidak efisien. Intervensi pemerintah seperti lembaga formal dan subsidi/regulasi yang terlalu besar dapat mengurangi insentif untuk masyarakat bertindak sesuai rasionalitasnya. Hal ini akan saya elaborasi lebih lanjut.

Sedikit Intervensi, Meningkatkan Efisiensi

Dalam satu spektrum konservatif, terdapat beberapa posisi politik yang juga seringkali berseberangan. Namun, setiap posisi konservatif cenderung setuju mengenai konsep pemerintah terbatas dan minimal. Hal ini berangkat dari gagasan John Locke dalam teori kontrak sosial. Bahwa secara alamiah, manusia merupakan seseorang yang rasional. Namun, berbeda dengan Hobbes, Locke percaya bahwa sifat alamiah manusia yang rasional dapat membuat mereka menyelesaikan konflik secara beradab dan pemerintah hanya perlu hadir untuk menegakkan hukum agar seluruh proses interaksi ini tetap berada dalam kaidah moralitas.

Salah satu preskripsi kebijakan dari konsep pemerintah terbatas ini adalah adanya reduksi jumlah lembaga pemerintah hingga tersisa yang benar-benar penting saja, seperti Polisi dan Tentara. Lembaga-lembaga seperti Lembaga Sensor Nasional atau BUMN yang menyediakan transportasi menurut posisi konservatif merupakan lembaga yang justru dapat mengurangi efisiensi. Alasannya, hadirnya pemerintah di ruang-ruang tersebut justru membuat kompetisi tidak tercipta. Jika kompetisi tidak tercipta, efisiensi (kualitas yang lebih baik, harga yang lebih murah) tidak akan tercapai.

Bagaimana mencapai kompetisi? Kompetisi tersebut hanya dapat dicapai melalui pasar sempurna yang dibuka untuk seluruh swasta. Dari sinilah gagasan seperti swastanisasi BUMN biasanya hadir. Jika kompetisi hadir, maka inovasi akan muncul, karena setiap pihak swasta dalam kompetisi pasar sempurna akan berlomba-lomba untuk memberikan jasa terbaik. Sebab, jika tidak memberikan jasa terbaik, swasta-swasta tersebut pasti akan merugi. Ini alasannya konservatif senang dengan pihak swasta. Kompetisi antar swasta dapat menciptakan inovasi yang lebih efisien.

Selain mereduksi institusi pemerintah, berdasarkan think tank neoliberal Adam Smith Institute, konservatif juga percaya pada tarif pajak yang datar dan rendah demi pertumbuhan ekonomi. Alur logikanya seperti ini. Konservatif percaya bahwa rasionalitas masyarakat dapat menciptakan equilibriumnya sendiri dan intervensi pemerintah hanya mengganggu proses tersebut. Pajak, sebagai pungutan oleh negara dari masyarakat, dapat mengganggu equilibrium tersebut. Terlalu besar pajak maka kemampuan untuk konsumsi dan menciptakan inovasi akan berkurang. Pertumbuhan ekonomi pun akan terhambat.

Tarif Pajak Rendah, Subsidi Terarah

Kemudian juga, pajak yang besar (jika diolah dengan benar) seharusnya menghasilkan subsidi yang besar. Konservatif percaya bahwa subsidi yang terlalu besar akan salah sasaran dan justru mengurangi insentif untuk pertumbuhan. Hal ini bukan berarti konservatif tidak percaya pada gagasan welfare policy. Contoh dari subsidi yang terlalu besar dan salah sasaran menurut pandangan konservatif adalah bagaimana sekolah negeri tidak memiliki fasilitas sebaik sekolah swasta. Adam Smith Institute menyarankan bahwa sebenarnya, subsidi pendidikan lebih baik digunakan dengan sistem voucer atau kupon. Alih-alih menciptakan seluruh sistem pendidikan yang membuat dana keluar terlalu besar, lebih baik biarkan sistem pendidikan dan sekolah diselenggarakan oleh swasta saja. Nantinya, subsidi diberikan melalui sistem kupon oleh pemerintah untuk membiayai seorang anak tersebut bersekolah di sekolah swasta.

Isolasionisme atau Keterbukaan?

Satu hal yang sering menjadi perdebatan dalam spektrum konservatif adalah mengenai kebijakan luar negeri. Apakah perlu negara untuk menjadi tertutup (yang biasanya digencarkan oleh nasionalis) atau lebih baik negara dibiarkan dalam keadaan terbuka. Nasionalis konservatif (seperti Donald Trump) percaya bahwa, kecuali keterbukaan (seperti perdagangan bebas dan imigran) tersebut menghasilkan keuntungan bagi negaranya, lebih baik perbatasan dan perdagangan diproteksi sekuat mungkin. Jika negara lain meletakan tarif impor untuk barang-barang dari negaranya, konservatif nasionalis akan melihat bahwa hal tersebut merupakan sebuah kecurangan dan tarif impor yang sama akan diberlakukan untuk negara tersebut. Contoh nyatanya adalah perang dagang yan sedang terjadi antara Tiongkok dan Amerika Serikat.

Di sisi lain, konservatif yang terbuka juga memiliki pandangannya sendiri. Posisi konservatif ini melihat bahwa hanya dengan menanggalkan hambatan-hambatan (baik tarif maupun non-tarif) secara global, efisiensi ekonomi dapat tercapai. Adam Smith Institute mengadvokasi hal ini. Dvalam satu daftar kebijakannya, think tank ini menyatakan pentingnya pengakuan timbal balik atas perjanjian perdagangan bebas, bukan harmonisasi aturan. Alasannya, pengakuan timbal balik ini dapat mereduksi hambatan non-tarif dengan lebih cepat. Selain itu, perdagangan bebas juga berarti bahwa secara global, keluar masuk barang, jasa, orang, dan modal dapat dilakukan dengan bebas hambatan.

Peran Gagasan Konservatif untuk Membangun Indonesia

Saya tidak melihat sama sekali bahwa seluruh preskripsi kebijakan konservatif ini dapat digunakan untuk membangun perekonomian dan politik Indonesia. Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki kondisi kontekstual masing-masing. Indonesia, sebagai negara berkembang, tentu tidak memiliki kemampuan ekonomi sehebat Inggris Raya atau Amerika Serikat. Namun, ada dua hal yang menurut saya cocok untuk diterapkan di Indonesia, terutama berangkat dari adanya permasalahan dari hal tersebut.

Pertama, terkait reduksi jumlah lembaga pemerintah yang terlalu banyak. Setiap lembaga didanai dengan anggaran negara. Jika lembaga ini terlihat tidak efektif secara performa, lebih baik dibubarkan atau direduksi jumlah anggotanya. Sebenarnya, terkait jumlah lembaga yang terlalu banyak ini juga disadari oleh Presiden Joko Widodo. Hingga tahun 2017, telah ada 20 lembaga negara yang dibubarkan. Di tahun 2016 sendiri, telah dibubarkan 9 lembaga negara. Ketika ditanya awak media, menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) kala itu, Asman Abnur, menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan efisiensi anggaran. Dari sini, terlihat bahwa sebenarnya memang lembaga pemerintah, terutama non-struktural, perlu terus dievaluasi keberadannya.

Kedua, meningkatkan peran swasta di transportasi umum. Menurut saya, tidak perlu BUMN dan BUMD, seperti PT Kereta Api Indonesia dan Transjakarta, “diswastanisasi”. Hanya saja, transportasi umum, yang menurut saya b  agian dari komoditas jasa, perlu ditingkatkan peran swastanya, agar mendapatkan logika efisiensinya. Kemitraan publik-swasta yang sekarang sedang digiatkan perlu terus dijalankan. Salah satu bukti bahwa pentingnya kompetisi adalah bagaimana bus kota, yang sekarang bentuknya masih sama dengan 30 tahun yang lalu, masih dapat beroperasi (dengan segala keterbatasannya). Seharusnya, ada perusahaan swasta yang dapat menantang pengelola-pengelola bus kota tersebut. Sehingga, tidak hanya bus kota swasta baru ini menjadi opsi baru transportasi umum di Jakarta, tetapi bus kota yang lama pun seharusnya dapat tersadar dan memperbaiki kualitas jasanya.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Share: (Mispersepsi) Konservatif dalam Spektrum Perpolitikan Indonesia