Isu Terkini

Mirisnya Kondisi Jaminan Hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Anak-anak masih jadi sasaran dan korban dalam berbagai kasus hukum. Mulai dari korban salah tangkap, pelajar anak yang jadi korban kekerasan saat aksi 23-24 September 2019, dan berbagai kasus lainnya. Sampai hari ini, penjara memang masih menghantui dan mengancam anak.

20 November adalah hari peringatan 30 tahun deklarasi hak-hak asasi anak, yang kemudian dituangkan di dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Namun, 30 tahun pasca deklarasinya, penghormatan, pemenuhan, dan promosi terhadap hak anak di Indonesia masih minim, utamanya hak anak yang berkonflik dengan hukum. Berdasarkan catatan UNICEF, dalam 30 tahun peringatan deklarasi hak-hak anak, anak di seluruh dunia masih terus menghadapi ancaman, baik yang sudah lama ada maupun ancaman-ancaman baru yang terus menerus hadir.

Sudah banyak perkembangan, namun anak-anak yang paling miskin masih terus menghadapi permasalahan yang sama dan tidak merasakan kemajuan tersebut. Pada Juli 2013 lalu, enam anak-anak pengamen Cipulir yakni Andro Supriyanto, Nurdin Prianto, Fikri Pribadi, Fatahillah, Arga atau Ucok, dan Pau menjadi korban salah tangkap oleh Unit Kejahatan dengan Kekerasan (Jatanras) Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.

Mereka dituduh sebagai pelaku pembunuhan terhadap seorang pengamen bernama Dicky di kolong jembatan Cipulir ketika itu. Kepastian mereka korban salah tangkap usai Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya menyatakan Andro cs tidak terbukti bersalah dalam pembunuhan Dicky.

Singkat cerita, akhirnya terbukti di persidangan bahwa korban yang tewas bukanlah pengamen, dan mereka bukanlah pembunuh korban. Setelah melalui persidangan yang panjang dan diwarnai salah putus, mereka kemudian dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

Namun, mereka total sudah mendekam di penjara selama tiga tahun atas perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan. Belum lagi perlakuan penyiksaan yang mereka terima dari kepolisian dengan cara disetrum, dipukuli, ditendang, dan berbagai cara penyiksaan lainnya. Untuk cerita lebih lengkap, silahkan klik link ini.

Belum lagi kasus-kasus kekerasan dan penangkapan terhadap pelajar anak STM yang ikut terlibat dalam aksi mengemukakan pendapat pada 23-24 September 2019 lalu di sekitar Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Bahkan ada korban meninggal dunia, salah satunya adalah Akbar Alamsyah, yang meninggal dunia pada Kamis, (10/10/19). Ia mengembuskan napas terakhir setelah koma selama 15 hari di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

Padahal, dalam Pasal 40 Konvensi Hak Anak, dinyatakan bahwa negara harus mengakui hak setiap anak yang diduga, dituduh, atau diputus telah melakukan tindak pidana akan diperlakukan dengan konsisten. Tidak hanya itu, Pasal 40 juga menjamin hak-hak anak dalam peradilan pidana. Hak inilah yang kemudian oleh Pemerintah Indonesia kemudian dituangkan di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.

Pemenuhan Hak Anak Belum Terealisasi

Tahun 2019 juga menandai lima Tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Artinya, jika merujuk pada undang-undang ini, waktu transisi dan persiapan sudah habis dan ketentuan-ketentuan dalam UU SPPA harus sudah berlaku secara efektif.

Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan ICJR, pemenuhan hak-hak anak, khususnya anak yang berkonflik dengan hukum, masihlah belum terimplementasi dengan baik.

“ICJR menemukan, UU SPPA dalam implementasinya masih menghadapi permasalahan baik dalam masalah kesiapan regulasi teknis pelaksana, SDM, sarana dan prasarana, juga mengalami permasalahan dalam tataran implementasi secara umum,” kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju dalam keterangan resmi yang diterima Asumsi.co, Rabu (20/11/19).

Dampaknya, hak-hak anak yang dijamin di dalam Konvensi Hak Anak, diadopsi dalam UU Perlindungan Anak, serta UU SPPA, menjadi tidak terpenuhi dan bahkan dalam derajat tertentu dilanggar karena adanya kesewenang-wenangan yang terjadi. Ketentuan UU SPPA yang berusaha untuk membendung adanya pelanggaran hak anak yang berkonflik dengan hukum, ternyata masih tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal.

“Sebagai contoh, dalam hal pendampingan hukum, dalam penelitian yang dilakukan ICJR terhadap putusan anak di DKI Jakarta tahun 2016-2018, ditemukan bahwa pendampingan hukum terhadap anak masih belum diberikan secara merata di seluruh tingkatan. Padahal, UU SPPA mewajibkan pendampingan hukum terhadap anak di setiap tingkatan.

ICJR membeberkan data dari 304 kasus, pendampingan oleh kuasa hukum di persidangan ditemukan sebanyak 94,1%, sedangkan di tingkat penyidikan hanya 3,9% dan 5,3% di tingkat penuntutan. Padahal, pendampingan terhadap anak di proses awal peradilan pidana sangatlah krusial untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak yang lain, seperti hak untuk tidak mendapatkan penyiksaan serta hak untuk diadili dengan kompeten, imparsial, dan beralasan nantinya.

Penjara Masih Jadi Momok bagi Anak

Tak hanya itu saja, di Indonesia kecenderungan terhadap penahanan dan pemenjaraan anak masih sangat tinggi. Padahal, Konvensi Hak Anak dalam Pasal 37(b) menegaskan bahwa penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan terhadap anak harus dilakukan sebagai upaya terakhir dan sebisa mungkin dilakukan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.

Sayangnya, penelitian ICJR menunjukkan bahwa penahanan dilakukan pada 93,75% anak. Tidak hanya itu, penahanan ini dalam beberapa kasus juga ditemukan melebihi waktu yang diperbolehkan oleh UU SPPA. Masalah penahanan sewenang-wenang ini nampaknya belum akan berakhir karena UU SPPA masih bertumpu pada KUHAP yang secara prinsip masih minim mekanisme pengawasan dan kontrol dari pengadilan untuk kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum atau judicial scrutiny.

Angka putusan penjara terhadap anak pun masih mencapai 86%. Padahal, UU SPPA telah menyediakan berbagai macam bentuk alternatif pidana non-pemenjaraan seperti peringatan dan pengembalian pada orang tua. Pemenjaraan bukan hanya populer dijatuhkan oleh Hakim, Jaksa pun memiliki kecenderungan untuk menuntut anak dengan pidana penjara, terbukti dengan ditemukannya 80% tuntutan jaksa berupa penjara pada penelitian ICJR.

“Hal-hal di atas, menunjukkan bahwa memasuki 30 tahun peringatan Deklarasi Hak Anak, yang kemudian dituangkan dalam Konvensi Hak Anak dan telah diratifikasi oleh Indonesia, negara ini masih belum dapat memberikan perlindungan dan jaminan yang maksimal terhadap anak, yang salah satunya adalah anak yang berkonflik dengan hukum,” kata Anggara.

Berdasarkan hal tersebut, ICJR merekomendasikan pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan UU SPPA dan segera melakukan perbaikan dan melengkapi hal-hal yang belum tersedia.

Aparat penegak hukum juga harus memerhatikan dengan baik-baik bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak-anak, yang oleh karena itu tetap harus dihormati haknya, terlepas dari tuduhan yang dikenakan padanya, dan diperlakukan dengan memerhatikan posisinya sebagai anak.

Share: Mirisnya Kondisi Jaminan Hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum