Mira, transpuan asal Jakarta Utara, dituduh mencuri dan dibakar hidup-hidup oleh enam orang tidak dikenal pada 4 April lalu. Belakangan, polisi yang telah menangkap tiga tersangka mengatakan bahwa para pelaku tidak sengaja membakarnya. Tubuh Mira disiram bensin dengan alasan ingin menakut-nakuti korban agar mengaku. Ketika salah satu tersangka menyalakan korek, api pun langsung menyambar tubuh Mira.
Pernyataan ini berbeda dari kesaksian teman Mira yang melihat peristiwa tersebut. Menurutnya, Mira mula-mula diseret dari tempat tinggalnya ke pangkalan kontainer di wilayah Cilincing, Jakarta Utara. Di sana dia digebuki hingga babak belur dan tidak berdaya. Para pelaku memegangi Mira, menyiramkan bensin, lalu membakarnya. Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 01:30 WIB. Setelah api menguasai tubuh mira, para pelaku meninggalkan tempat kejadian.
Mira sempat berusaha menyelamatkan diri dan berjalan pulang. Namun, baru setengah jalan, Mira semaput. Beberapa warga yang melihat kondisi Mira langsung membawanya ke rumah sakit terdekat, tetapi nyawanya tidak tertolong. Pada pukul 11:00, Mira mengembuskan napas terakhir dengan luka bakar di 90% tubuhnya.
Tim advokasi kasus Mira yang berasal dari Yayasan Arus Pelangi, Yayasan Sanggar Swara, Yayasan Srikandi Sejati, LBH Masyarakat, dan Forum Bantuan Hukum untuk Kesetaraan mengecam keras pengeroyokan dan pembakaran terhadap Mira, yang berakar pada transfobia atau kebencian membabi buta terhadap transgender.
Menurut “Catatan Kelam 12 Tahun Persekusi LGBT di Indonesia” yang digarap oleh Yayasan Arus Pelangi, 88% korban tindak pidana adalah kelompok transpuan. Hukum yang berlaku di Indonesia pun tak kuasa melindungi, sebab banyak produk undang-undang dan kebijakan yang justru diskriminatif dan mengkriminalisasi komunitas LGBTQ.
“Propaganda kebencian yang dibangun serta kurangnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan terhadap kelompok LGBTQ di Indonesia oleh pemerintah Indonesia membuat masyarakat merasa punya legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok LGBTQ,” demikian catatan tersebut.
Tim advokasi juga mendesak pemerintah, aparat kepolisian, dan masyarakat untuk berhenti melekatkan stigma negatif sekaligus menghalangi tindakan kekerasan terhadap LGBTQ, khususnya transpuan. Berikut adalah lima poin desakan tim advokasi: