General

Survey CSRC: di Tahun Politik, Millennial Muslim Indonesia Toleran dan Moderat

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Lembaga riset Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) kemarin (23 Februari) merilis penemuannya soal peran anak muda Muslim di Indonesia dalam menghadapi tahun politik 2018-2019. Dalam riset yang bertajuk “Arah dan Corak Keberagaman Kaum Muda Muslim di Indonesia” itu, ditemukan bahwa secara umum sikap dan perilaku kaum muda muslim generasi millennial saat ini bisa dikategorikan moderat, meski dalam waktu yang sama tren konservatisme juga menguat.

Artinya, sebagian besar anak-anak muda muslim ‘zaman now’ bisa dibilang punya tendensi toleransi yang cukup tinggi.

Selain anak millennial yang cenderung toleran, fakta-fakta menarik apakah yang berhasil dihimpun CSRC?

Dua kelompok penting dari kaum muda muslim di tahun politik

Setidaknya ada dua kelompok penting dari kaum muda muslim yang bisa memberikan pengaruh di tahun politik. Mereka adalah kaum yang menjunjung toleransi komunal dan satu lagi toleransi kewargaan.

Toleransi komunal sebagian besar didukung oleh aktivis rohis, LDK, atau dakwah di kampus, sementara toleransi kewargaan didukung aktivis pergerakan kemahasiswaan Islam yang mapan seperti HMI, PMII, dan IMM.

Sebagai tambahan, toleransi kewargaan juga bisa didukung oleh anak-anak muda yang condong nasionalis seperti GMNI, Pemuda Pancasila, hingga KNPI. Meski begitu, keduanya dinilai bisa menjadi bagian penting dari berjalan mulusnya pesta demokrasi.

“Bahwa memang ada penguatan identitas komunal seperti keberadaan basis-basis ideologis LDK, anak rohis atau ormas-ormas dakwah, juga ada penguatan identitas kewargaan seperti anak HMI, PMII, dan IMM,” kata Direktur CSRC, Irfan Abubakar kepada Asumsi.co di Menteng, Jakarta, Jumat 23 Februari.

Kaum toleransi komunal memang tak bisa menegosiasikan persoalan yang menyangkut akidah. Namun jangan salah sangka, mereka tetap punya rasa toleransi meski dalam wilayah tertentu misalnya seperti toleransi soal ekonomi.

“Mereka ini kan kesadaran politiknya sangat kuat untuk ikut juga mengambil peran. Sehingga kadang-kadang mereka bisa saja memanfaatkan isu-isu tertentu ketimbang meng-counternya.

“Mereka juga bisa saja membiarkan kondisi politik yang tengah terjadi sambil melihat situasi. Jadi dalam kontestasi politik, mereka akan wait and see dan kemudian mengambil peran.”

Satu lagi soal kaum toleransi komunal adalah bahwa mereka juga tak bisa bernegosiasi soal pilihan pemimpin. Lantaran berpegang teguh dengan akidah sehingga mengharuskan mereka memilih pemimpin muslim ketimbang pemimpin non-muslim.

Menurut Irfan, basis anak muda yang komunal itu memang mendapatkan ruang yang jelas untuk menjaga agamanya lewat mobilisasi. Namun, lanjut Irfan, kalau tidak ada kasus yang sekuat kasus Ahok yang sifatnya membelah, hal itu tak akan terjadi dan situasinya akan biasa-biasa saja.

“Mereka ini kan sebenarnya kelompok sadar dengan kondisi politik yang terjadi. Harapan itu sebenarnya ada pada anak-anak HMI, PMII, dan IMM yang harusnya kritis terhadap mobilisasi sentimen agama dan politik identitas.”

Situasi politik DKI tak akan terulang lagi

Kisruh dan tingginya tensi politik di Pilkada DKI Jakarta 2017 kemarin diyakini tak akan terulang di Pemilu 2019 nanti. Irfan Abubakar yakin bahwa tak ada isu yang terlalu besar lagi yang bisa dimainkan untuk memecah belah kaum muda muslim.

“Tetapi, untuk kondisi politik seperti Pilkada DKI, hal itu diyakini tak akan terulang lagi di Pemilu 2019. Karena tensi panas politik seperti yang terjadi di DKI itu memang butuh isu besar yang bisa mem-provoke,” terang Irfan.

“Kalau tidak ada isu yang clear cut bisa membelah masyarakat, kondisi seperti di DKI itu tak akan terjadi lagi. Istilah-istilah seperti muslim munafik misalnya, tentu bisa sangat mungkin dimainkan, namun masih dalam tahap yang bisa diatasi.”

Jadi, kekhawatiran banyak pihak akan munculnya tensi tinggi politik seperti di DKI, mestinya mulai dihilangkan. Menurut Irfan, yang terpenting adalah menghindari penggunaan politik identitas dalam kampanye.

Sejalan dengan itu, Dosen Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Chaider S. Bamualim, mengungkapkan bahwa situasi jelang Pemilu 2019 memang tak sekeras seperti situasi di Pilkada DKI Jakarta 2017, meski tetap ada ‘kerikil’ yang menghadang.

“Kaum muda muslim ini harusnya bisa kritis serta check and balance dengan situasi politik yang ada dan soal informasi yang didapat. Jadi tidak gampang memercayai fitnah-fitnah,” kata Chadider S. Bamualim kepada Asumsi.co, Jumat 23 Februari.

Menurut Chaider, isu politik identitas kemungkinan akan tetap ada, terlebih model drama semacam kasus Ahok. Namun, Chaider meyakini bahwa isu tersebut tak akan terlalu membuat gaduh dan akan bisa diatasi.

“Situasi politik nanti itu akan tergantung dengan formasi kandidat calon presiden dan wakil presidennya. Jadi bagusnya pasangan calon itu bisa mix up antara sosok nasionalis dengan tokoh agamis, itu penting untuk meminimalisir konflik.” tandasnya.

Share: Survey CSRC: di Tahun Politik, Millennial Muslim Indonesia Toleran dan Moderat