Budaya Pop

Menjelajah Seni Pertunjukan bersama Melati Suryodarmo

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

“Momen paling berharga sebuah karya seni adalah ketika karya tersebut sedang dibuat. Kita jarang melihat proses pembuatan dari sebuah lukisan — padahal melukisnya bisa dua tahun.”

Bagi Melati Suryodarmo, tubuh adalah kanvas bagi karya seninya. Melati mengejar ayam, memapah kaca berukuran 90 x 200 cm, hingga berdiri dan menggiling ratusan kilogram arang selama 12 jam. “Tidak untuk akting, tapi mengalami. Jadi tidak ada koreografi yang mengatur geraknya harus seperti apa,” kata Melati pada konferensi pers di Museum MACAN (26/2).

Pertanyaannya, mengalami apa?

Melati Suryodarmo lahir di Surakarta pada 1969. Kedua orang tuanya adalah seniman, tetapi keinginannya untuk belajar seni rupa justru sempat ditentang oleh ayahnya. Melati yang awalnya ingin berkuliah di Seni Rupa ITB kemudian memutuskan untuk mengambil jurusan Hubungan Internasional di Unpad. Terlepas dari itu, lahir dari keluarga penari dan teater membuat tidak asing dengan seni pertunjukan. Ia pun mendapatkan kesempatan melanjutkan studi di Jerman dan belajar tentang seni performans.

Di Jerman, ia bertemu dengan koreografer Jepang dan belajar tentang butoh, tari Jepang yang muncul pasca perang dunia di Jepang. Karya-karyanya banyak dibentuk dari pengalaman dan pengetahuannya tentang butoh, tradisi Jawa, dan pendidikannya di Eropa. Tak jarang pula pengalaman personal seperti rasa kehilangan, kesepian, kegagalan, relasinya dengan orang-orang terdekat mempengaruhi karyanya.

“Melihat seni performans itu, yang paling penting adalah memahami sebuah pengalaman, mengalami sebuah peristiwa, yang mana terjadi pada saat itu, di ruang itu, bersama tubuh yang melakukannya,” kata Melati.

Jejak karya-karya performans dan pengalaman Melati Suryodarmo itu akan ditampilkan sebagai pameran tunggal oleh Museum MACAN. Museum MACAN menyelenggarakan pameran bertajuk Why Let the Chicken Run? yang menampilkan 12 performans berdurasi beragam, dari 15 menit hingga 12 jam.

“Pameran ini terbentuk dari 20 tahun lebih perjalanan saya dalam berkesenian. Dalam periode tersebut, praktik seni performans telah menjadi bagian penting dari seni kontemporer. Saya merasa terhormat karena dapat menjadi bagian dari dialog global seputar seni performans, posisinya di dalam medan seni kontemporer, dan perannya dalam masyarakat,” tutur Melati.

Performans Sweet Dream Sweet (2003) 

Why Let the Chicken Run? yang menjadi tajuk pameran ini juga adalah judul dari salah satu karya paling awal Melati Suryodarmo. Di tengah penonton yang sibuk memerhatikan dan memotret aksinya, Melati melepas seekor ayam hitam. Ia kemudian mengejar dan berusaha menangkapnya.

Performans ini dibuat saat ia masih berkuliah di Jerman. Saat itu pula, Melati lewat performansnya mempertanyakan tentang cita-cita, proses mengejar sebuah mimpi, hingga perasaan ketika berhasil mencapainya. “Karya ini memiliki nilai sejarah yang sangat penting bagi Melati. Ketika itu tahun 2001, dia statusnya masih sebagai mahasiswa. Dan kebetulan karya itu juga merespons satu karya penting dalam sejarah seni performans yang dilakukan oleh Ana Mendieta. Jadi ada kaitan dengan sejarah performans dan ada juga kaitan dengan proses edukasi karena saat dia masih sebagai mahasiswa,” jelas kurator Museum MACAN Asep Topan (26/2).

Melati mengambil referensi dari karya performans seniman Kuba-Amerika Ana Mendieta, Death of a Chicken (1972). Dalam karya tersebut, Mendieta membunuh seekor ayam dan menyemburkan darahnya ke tubuh Mendieta. Karya tersebut dikatakan mengungkapkan perasaan terasing Mendieta dari tanah kelahiran dan warisan budayanya. Melati sebagai mahasiswa rantau pun terinspirasi dan merasa terhubung dengan karya tersebut.

Melati Suryodarmo juga melakukan performans berjudul The Black Ball yang ditampilkan pertama kali pada 2005. Performans dengan properti berupa bola karet, kursi, dan tempayan air ini dilakukan selama empat hari berturut-turut dengan durasi 8-10 jam setiap harinya. Melati duduk di kursi yang berjarak dua setengah meter di atas lantai. Dalam keheningan dan waktu yang terbilang panjang tersebut, Melati dikatakan mencoba untuk menyusun saat-saat sunyi yang ia alami semasa hidupnya — terutama di masa ketakutan dan kehilangan.

Karya ini juga jadi karya berdurasi terpanjang yang pernah ditampilkan oleh Melati. “Harus dilakukan selama 4 hari. Sangat ekstrem. Memerlukan ketahanan fisik, mental, dan konsentrasi performansnya,” tutur Asep.

Karya-karya lain Melati Suryodarmo adalah Exergie – Butter Dance (2000), di mana Melati menari di atas tumpukan mentega dan ia berkali-kali terpleset lalu jatuh. Ada pula The Promise (2002) — performans Melati mengenakan gaun merah, sambungan rambut panjang, dan hati sapi yang ia bawa di tangannya. Selain itu ada Ale Lino (2003) yang terinspirasi dari komunitas Bissu (sekelompok pendeta dengan gender cair yang dianggap setengah dewa) di wilayah Pangkep dan Bone, Sulawesi Selatan.

Saksi obyek dari Performans The Promise (2002)

Ada pula Sweet Dreams Sweet (2003) yang menampilkan 30 perempuan dengan seragam berwarna putih dan wajah tertutup berinteraksi dengan satu sama lain lewat gerakan, I Love You (2007) yang menampilkan Melati mengucapkan “I love you” berulang-ulang sambil memapah sebuah lempeng kaca selama tiga sampai enam jam, Kleidungsaffe (2006) yang berbicara soal lingkungan dan budaya konsumerisme, I’m A Ghost in My Own House (2012), Behind the Light (2016), Transaction of Hollows (2016), dan Eins un Eins (2016).

Selain seni performans, pameran Why Let the Chicken Run juga menampilkan fotografi, video performans, object witness—yaitu benda-benda yang pernah dipakai oleh Melati saat tampil, seperti kanvas putih berisi bercak-bercak tinta hitam yang jadi peninggalan performans Eins un Eins, kurungan ayam, baju atau kostumnya dalam berbagai performans, dan obyek-obyek lain.

Performans Kleidungsaffe (2006)

Bersandingan dengan pameran tunggal Melati Suryodarmo, ada pula penampilan video instalasi karya seniman Australia, Julian Rosefeldt. Bertajuk Julian Rosefeldt: Manifesto, terdapat 13 layar multimedia yang menampilkan aktor Cate Blanchett bermonolog dan mengangkat kembali manifesto para filsuf, seniman, arsitek, hingga pembuat film. Manifesto-manifesto tersebut termasuk Manifesto Komunis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Dada oleh Tristan Tzara, hingga golden rules of filmmaking oleh Jim Jarmusch.

Bagi Direktur Museum MACAN Aaron Seeto, seni performans dan video berkontribusi penting terhadap perkembangan seni kontemporer. “Seni performans dan seni video adalah pondasi dari praktik seni kontemporer. Kami dengan bangga menampilkan dua perupa penting ini untuk audiens Indonesia,” kata Aaron Seeto, Direktur Museum MACAN dalam rilis pers.

“Kami berharap dengan mengembangkan dan mepresentasikan gagasan para perupa yang berpengaruh dalam tataran global, kami dapat memperkuat dinamika medan seni Indonesia, juga membuka kesempatan bagi audiens untuk mengapresiasi beragam bentuk praktik kesenian dan berpartisipasi dalam dialog seni kontemporer dunia,” lanjutnya.

Pameran Why Let the Chicken Run? dan Julian Rosefeldt: Manifesto akan diselenggarakan pada 28 Februari – 31 Mei 2020 di Museum MACAN.

Share: Menjelajah Seni Pertunjukan bersama Melati Suryodarmo