Budaya Pop

Mengungkap Hilangnya Lagu Anak-Anak dan Peluang Bisnis di Industri Musik

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Sejalan dengan canggihnya teknologi, bisa dibilang anak-anak Indonesia kini makin bebas mempraktekan apapun yang dilihat dan didengarnya. Termasuk istilah ‘kids jaman now’ yang makin booming di jagat media sosial (medsos). Fenomena anak-anak yang sejatinya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) tapi udah main medsos berbasis dubbing seperti Musically dan Tik Tok menjadi enggak asing lagi. Bahkan entah udah ngerti atau belum, mereka lebih suka menyanyikan lagu untuk orang dewasa bertema percintaan.

Mungkin di antara kalian pernah ngeliat sekumpulan anak-anak yang kompak nyanyi lagu berjudul Merindukanmu milik Dash Uciha? Atau, enggak sengaja liat di Instagram ada video anak-anak yang nge-dubbing lagu-lagu galau? Atau mungkin, kalian pernah menyaksikan secara langsung bagaimana bangganya ibu-ibu ketika anak balitanya joget sambil dengerin lagu dangdut?

Fenomena tersebut tentu membuat kita jadi bertanya-tanya, ke manakah lagu-lagu anak saat ini? Di tahun 1990-an, lagu anak cukup populer dan punya tempat tersendiri di media. Bahkan dulu, ada persaingan seru antar penyanyi cilik yang punya karakteristiknya masing-masing. Jenis lagunya pun sangat beragam. Mulai dari lagu yang mengenalkan tentang kebersihan tubuh, tentang kedisiplinan, keberagaman, sampai tema nasionalispun juga ada.

Para ‘kids jaman old’ mana yang enggak ingat sama Chiquita Meidy dengan albumnya Kuku Ku dan Gigi Gigi yang eksis di tahun 1994. Ada juga penyanyi cilik bernama Maissy yang bahkan punya program televisi bernama Ci Luk Baa, acara di SCTV pada tahun 1997 yang ditempatkan khusus untuk menampilkan lagu-lagu anak. Yang lainnya juga ada, seperti Joshua Suherman dan grup penyanyi cilik Trio Kwek Kwek.

Semua punya karakternya masing-masing, dengan tema lagu yang bermacam-macam pula. Seperti lagu Cindy Cenora berjudul Aku Cinta Rupiah dan Krismon, yang bisa bilang jadi lagu penyemangat waktu zaman krisis moneter akhir 1990an silam. Kedua lagunya punya lirik yang sederhana. Aku Cinta Rupiah hanya bercertia tentang anak Indonesia yang mau jajan mestinya pakai mata uang Rupiah. Begitu juga dengan Krismon, lirik lagunya cuman tentang anak yang mau minta dibeliin sesuatu oleh orang tua, tapi enggak dibolehin karena di zaman itu semua barang serba mahal.

Dewasa ini, kita bisa menyadari bahwa lagu anak bisa jadi bukti sejarah. Dengan lagu berjudul Aku Cinta Rupiah, kita bisa ingat, bahwa dulu Indonesia pernah mengalami krisis kepercayaan terhadap Rupiah. Sedangkan Krismon mengingatkan kita bahwa Indonesia di tahun 1998 pernah terjadi krisis ekonomi yang paling parah sepanjang Orde Baru, yang ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar dan pendapatan per kapita yang juga menurun drastis.

Fungsi Lagu Anak-Anak

Balik lagi ke persoalan kids jaman now yang suka dengerin lagu-lagu dewasa. Para orang tua, atau justru kita sebagai penonton, mungkin menanggapi fenomena itu sebagai kesalahan anak-anak. Tapi tunggu dulu, apakah anak-anak yang dewasa sebelum waktunya itu adalah kesalahan mereka sendiri?

Nyatanya, ketidakhadiran lagu-lagu anak, dan media yang hanya fokus kepada persoalan dewasa, ngebuat anak-anak kehilangan role models atau sosok yang bisa mereka jadikan panutan. Hal ini diakui oleh psikolog anak Reneta Kristiani, M.Psi.

“Anak itu kan modeling [mudah meniru] sekali ya dengan orang-orang di sekitarnya, dengan lingkungan di sekitarnya. Zaman sekarang, yang jadi role models-nya siapa? Kan enggak ada,” kata Reneta pada ASUMSI, 3 Maret.

Perempuan lulusan S2 Profesi Klinis Anak Psikologi Universitas Indonesia ini pun bilang, kehadiran lagu-lagu anak yang sangat jarang ditampilkan di media menjadi salah satu penyebab, mengapa anak-anak saat ini cenderung familiar dengan lagu yang diperuntukan untuk orang dewasa.

“Dulu kan ada tayangan-tayangan yang khusus untuk lagu anak, dan bisa terngiang-ngiang karena diputar terus. Sekarang di TV sendiri enggak ada, malah adanya lagu partai, dan sekarang anak-anak lebih hapal dengan lagu partai,” ujar Reneta yang juga merangkap jadi dosen Psikolog di UNIKA Atma Jaya.

Reneta yang merupakan seorang psikolog anak di Klinik Pelangi Cibubur dan Klinik Kancil di Duren Tiga ini mengungkapkan bahwa peran dan fungsi sebuah lagu lebih dari sekadar hiburan. Dengan lagu, anak lebih mudah memahami apa yang boleh dan enggak boleh dilakukan. Bahkan, kata dia, beberapa anak yang berkebutuhan khusus belajarnya dengan menggunakan lagu.

“Dan untuk beberapa anak berkebutuhan khusus tuh mereka memang belajarnya lewat lagu, lebih peka gitu belajar lewat lagu. Jadi, lagu itu besar sih manfaatnya,” ungkap Reneta.

Hilangnya Lagu Anak

Lagu anak yang terasa menghilang juga dirasakan oleh Ketua Yasayan Terang Anak Indonesia Sondang Kathrin Susanne.

“Benar. Saat ini kita kehilangan lagu anak-anak. Kalaupun ada lagu anak-anak, tidak booming dan tidak begitu terkenal di kancah permusikan,” kata perempuan yang akrab disapa dengan nama Susan itu pada ASUMSI, Februari lalu.

Menurut Susan, selain jarangnya lagu anak yang ditampilkan di  televisi, ada beberapa faktor lain juga yang menyebabkan berkurangnya jumlah lagu anak saat ini. Seperti interaksi antara orang tua dan anak dengan menggunakan lagu anak-anak yang intensitasnya makin berkurang. Sehingga minat anak terhadap lagu anak-anak pun semakin rendah.

Sekolah, kata Susan, juga jarang memanfaatkan lagu sebagai proses bahan pembelajaran. Padahal, bisa saja lagu anak-anak digunakan sebagai bahan ajar atau proses pemberian informasi.

“Semua kondisi di atas tentu akan membuat pihak produksi menjadi rugi dan enggan memproduksi lagu anak-anak lagi,“ tutur perempuan lulusan S2 Psikologi Perkembangan Universitas Indonesia itu.

Lebih jauh, Susan juga menggambarkan bagaimana efek samping dari anak-anak yang cenderung menyukai lagu orang dewasa, dan salah satunya ada identifikasi diri yang enggak sesuai dengan umur. Lagu dewasa yang dikagumi memiliki pengaruh yang cukup besar pada anak, mulai penampilan sampai tingkah laku.

Apalagi lagu dewasa yang mengandung lirik percintaan kekasih, patah hati, kesedihan putus cinta, dan perasaan jatuh cinta. Diksi seperti selingkuh, selimut tetangga, peluk, cium, dan sebagainya menjadi konsumsi yang bebas didengarkan anak-anak.

“Jika berlangsung lama, maka pemahaman yang salah ini akan terus melekat dalam pemikiran anak sebagai bentuk informasi dan akan tercermin dalam kosa kata serta perilaku moral anak. Dan pada waktu tertentu, menjadi bagian dari kepribadian anak,” ujar Susan.

Siapa yang Perlu Bertanggung Jawab?

Memang, harus ada sebuah usaha yang perlu dibangun untuk menghidupkan kembali kejayaan lagu anak-anak. Kerja sama antara pencipta lagu, para penggiat musik, pelaku usaha, dan juga media.

Dalam hal ini, Renata dan Susan memiliki pendapat yang senada, bahwa pemerintah juga perlu menggalakkan stasiun televisi swasta agar mau ngasih porsi untuk lagu-lagu anak. Pemerintah bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa membuat peraturan segmentasi program acara yang lebih pro kepada lagu-lagu anak.

Usaha lain yang diperlukan untuk melestarikan lagu anak juga bisa dari cara orang tua yang mau ngasih dan mengenalkan. Sekolah juga mestinya juga bisa memberikan edukasi melalui lagu-lagu anak. Karena, saat ini jenjang pendidikan di SD udah cenderung serius. Padahal, lagu anak-anak yang terdengar santai masih sarat dengan ilmu sosial, pendidikan, tata krama, dan lain sebagainya.

“Itu sih harus kerja sama dari berbagai pihak, enggak bisa cuma satu pihak aja. Tapi, ya kita bisa mulai dari lingkungan kita sendiri,” kata Reneta.

Peluang Bisnis

Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 258 juta jiwa pada tahun 2016, sepertiga di antaranya (32,24%) adalah anak-anak. Dengan jumlah itu, mestinya industri musik bisa mencari celah untuk menyediakan lagu anak-anak.

Itu menjadi kesempatan yang diambil oleh Trinity Optima Production, sebuah label rekaman yang memproduksi lagu anak berjudul Berani Bermimpi. Lagu yang dinyanyikan oleh gadis berusia 12 tahun bernama Adyla Rafa Naura Ayu itu menjadi salah satu soundtrack  film Naura & Genk Juara.

Naura menjadi salah satu contoh penyanyi anak-anak yang memanfaatkan perkembangan teknologi jadi sebuah kesempatan mencari peluang. Dikenalnya Naura pun berawal dari media sosial seperti YouTube dan Instagram.

Everthing about digital, iseng-iseng masukin YouTube, kemudian yang nonton banyak, dan dijadiin album. Promosi pun bener-bener digital, dari Instagram,” ungkap Simhala Avadana, yang bertugas sebagai A&R di Trinity Optima Production.

A&R ini singkatan dari Artist and Repertoire, yang menghubungkan antara talenta baru dengan label musik yang dinaungi. Pria yang akrab disapa dengan nama Mhala ini pun mengungkapkan bahwa mencari keuntungan dari lagu anak justru lebih mudah.

“Justru paling gampang, bisa digabungin ke produk ibu, konser, dongeng,” kata Mhala.

Sebagai penyanyi cilik pun, Naura bisa menjadi sebuah brand, dan lagu-lagunya bisa menjadi pengajaran yang baik untuk anak, sehingga orang tua bersedia membelikan CD maupun tiket konser. Keuntungannya pu, kata Mhala, bisa dua kali lipat dari lagu dewasa, karena kegiatan semacam konser anak, tentu membutuhkan lebih banyak tiket, untuk anak sekaligus ibu yang mendampingi.

“Konser dongeng [Naura] tiketnya selalu habis,” ungkap Mhala.

Menurut pria kelahiran Bandung, 1979 ini, kehadiran lagu anak-anak masih dibutuhkan. Dengan syarat, konten yang dibuat semenarik mungkin, dan memanfaatkan media sosial yang ada untuk promosi. Sosok penyanyi cilik ini pun enggak dipungkiri bisa mendatangkan keuntungan cukup besar. Bisa dari penjualan kaset album, konser, acara off air, sampai mengiklankan sebuah produk atau brand.

Jadi, lagu anak apa yang (pernah) menjadi favoritmu?

Share: Mengungkap Hilangnya Lagu Anak-Anak dan Peluang Bisnis di Industri Musik