Isu Terkini

Mengenal UU MLA, Kerja Sama Indonesia-Swiss untuk Memberantas Korupsi

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Dana haram asal Indonesia yang tersembunyi di bank-bank Swiss tak lagi aman. DPR RI baru saja mengesahkan RUU “Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss (UU MLA).” Produk hukum teranyar ini diketok dalam rapat paripurna DPR pada Selasa, 14 Juli 2020.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU MLA Ahmad Sahroni menyatakan bahwa perjanjian ini dapat membantu upaya pemberantasan korupsi, dan membawa pulang aset hasil korupsi yang tersembunyi di Swiss. Selain itu, MLA juga digadang-gadang dapat digunakan dalam upaya “memberantas kejahatan perpajakan”, seperti penggelapan pajak.

Menurut Sahroni, UU MLA terdiri dari 39 pasal yang mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, membantu menghadirkan saksi, meminta dokumen, rekaman dan bukti, penanganan benda dan aset untuk tujuan penyitaan atau pengembalian aset, penyediaan informasi yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, hingga mencari lokasi serta data diri seseorang beserta asetnya.

Selain itu, perjanjian ini juga bakal menyederhanakan prosedur mutual legal assistance, atau hukum timbal balik. Gampangnya, upaya bersama antara pihak Indonesia dan Swiss dalam memberantas korupsi dan menarik kembali aset ilegal yang disembunyikan di Swiss akan bertambah efektif.

Apalagi, menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, perjanjian ini bersifat retroaktif. Artinya, seluruh kejahatan fiskal dan pencucian uang yang terjadi sebelum perjanjian ini ditetapkan tetap bisa ditindak berdasarkan UU MLA.

Menurut Sahroni, Swiss dipilih sebab ia pusat layanan keuangan terbesar di Eropa. Industri perbankannya yang tenar kerap menjadi pelarian individu yang “nakal” menyembunyikan aset atau pelaku tindak pidana korupsi yang ingin mengamankan uangnya.

Rekening terselubung di bank Swiss menjadi faktor kunci dalam skandal korupsi besar-besaran seperti kasus Bank Century atau korupsi dana Yayasan Supersemar. Pada 2010, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Hesham al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi 15 tahun penjara, sekaligus merampas barang bukti berupa dana 220 juta dollar di bank Swiss.

Adapun pada 1999, Time melaporkan bahwa mantan presiden Soeharto menyembunyikan harta Rp135 triliun hasil korupsi, termasuk dari Yayasan Supersemar. Salah satu tempat ia menyembunyikan harta tersebut adalah di rekening bank Swiss.

Kalau pun keberadaan rekening terselubung ini terbukti, belum tentu asetnya bisa dikembalikan. Pada 2009, misalnya, Mantan Direktur Utama Bank Mandiri Eduardus Cornelis William Neloe tersandung kasus pengucuran kredit dan ditetapkan pidana 10 tahun. Ketika ditelisik, ia rupanya memiliki aset sebanyak 5,2 juta dollar di Swiss.

Awalnya, pemerintah Indonesia berhasil meminta Swiss membekukan aset tersebut. Namun, Deutsche Bank membuka kembali aset tersebut. Sebab, pemerintah Swiss merasa pembekuan tersebut tak memiliki landasan hukum, meskipun Neloe sudah divonis bersalah.

Pola serupa terus berlanjut hingga kini. Ahmad Sahroni mengklaim bahwa bila UU MLA berjalan dengan baik, Indonesia bakal meraup Rp10 ribu triliun hasil pemajakan dana WNI di Swiss. Sepuluh. Ribu. Triliun. Rupiah.

UU MLA sudah digagas sejak era kepemimpinan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Pada 2007, SBY sempat bertemu dengan Presiden Konfederasi Swiss Micheline Calmy-Rey dan mencetuskan kemungkinan kerjasama tersebut. Namun, negosiasi berjalan alot. Swiss tak ingin mengurangi kerahasiaan industri bank mereka. Indonesia dua kali berunding dengan Swiss–pertama di Bali pada 2015, kemudian di Swiss pada 2017. Setelah sekian dekade digodok, baru 14 Juli 2020 lalu UU MLA akhirnya diresmikan.

Girang dengan peresmian UU ini, Menkumham Yasonna Laoly langsung ingin memulai prosedur pendataan dan pelacakan aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss. Tak tanggung-tanggung, ia ingin membentuk Tim Pelacakan Aset.

“Langkah selanjutnya tentu kami akan membentuk tim dan duduk bersama-sama dengan Bareskrim, Kejaksaan, KPK, serta Kementerian Luar Negeri untuk melakukan asset tracing,” kata Yasonna dalam keterangan tertulis, Selasa (14/7/2020).

Persoalannya, KPK tidak begitu bersemangat menyambut UU MLA. Malah, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango terang-terangan menyatakan bahwa UU tersebut “bukan hal yang penting.” Menurutnya, saat ini juga Indonesia lebih butuh aturan untuk mencegah pelarian uang korupsi dan pencucian uang. Singkatnya, bagi dia, kita sudah bikin obat tapi belum memikirkan pencegahan.

Menurut Pomolango, definisi tindak pidana korupsi dalam UU di Indonesia belum menyeluruh. Tindakan seperti peningkatan kekayaan secara tidak sah, memperdagangkan pengaruh, korupsi di sektor swasta, dan suap terhadap pejabat publik asing belum tercakup di sistem perundang-undangan Indonesia. Padahal, menurut Pomolango, keempat tindakan tersebut telah dianggap korupsi di dunia internasional.

Lebih jauh, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar, menilai Tim Pelacakan Aset bentukan Menkumham tidak diperlukan. Menurutnya, pelacakan dan pemburuan aset koruptor di luar negeri cukup dilakukan kejaksaan sebagai eksekutor perkara pidana.

“Kecuali hukum negara yang bersangkutan memperbolehkan jaksa melelang sendiri. Jadi tidak perlu ada tim pemburu. Buang-buang duit, kasihan negara sudah mau bangkrut,” katanya.

Apakah UU MLA sungguh-sungguh bisa mengembalikan puluhan triliun rupiah aset negara? Atau UU ini galak di atas kertas saja?

Share: Mengenal UU MLA, Kerja Sama Indonesia-Swiss untuk Memberantas Korupsi