Olahraga

Mengenal Tim Pengungsi Olimpiade Tokyo 2020, Korban Perang Saudara di Negaranya

Ikhwan Hardiman — Asumsi.co

featured image
International Olympic Comittee

Olimpiade Tokyo 2020 disebut-sebut menjadi pesta olahraga paling inklusif tahun ini. Selain porsi atlet perempuan yang lebih banyak dibandingkan sebelumnya, Olimpiade Tokyo juga membuka kesempatan bagi para atlet yang tidak mempunyai payung organisasi olahraga.

Atlet yang di negaranya terlibat konflik atau masalah-masalah lain, kini bergabung ke dalam Olympic Refugee Team atau Tim Pengungsi Olimpiade. Mereka bersatu di dalam satu kubu tanpa sekat latar belakang negara, suku, dan sebagainya. 

Ini merupakan yang kedua kalinya Olympic Refugee Team berlaga di pesta olahraga empat tahunan itu sejak Olimpiade Rio 2016 lalu. Dalam edisi Olimpiade Tokyo, anggota tim Pengungsi meningkat hampir tiga kali lipat dari 10 menjadi 29 orang yang berasal dari 11 negara dan berlatih di 13 negara berbeda. Selain itu, untuk pertama kali juga Tim Pengungsi membentuk kubu Paralympic Team dalam Paralimpiade Tokyo 2020. 

Alasan Pembentukan Tim Pengungsi

Dalam data Rescue.org, terdapat 65 juta jiwa kehilangan tempat tinggal akibat konflik, bencana alam dan persoalan lain di berbagai negara dunia. Hal tersebut membuat setidaknya ada 1 juta pengungsi yang masuk ke Eropa dari wilayah rawan konflik seperti Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah. 

Alhasil, Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengumumkan bahwa Olimpiade Rio 2016 akan menjadi ajang pertama yang mengakui pengungsi sebagai peserta turnamen. Di tahun yang sama, mereka menggelontorkan dana 1,9 juta dollar AS untuk membentuk tim ini. Dana tersebut disumbangkan kepada lembaga-lembaga internasional untuk melatih para atlet agar bisa bertanding di Brasil. 

Pembentukan Tim Pengungsi ini dilakukan untuk menyampaikan pesan kepada dunia tentang inklusivitas dan harapan para atlet yang terhalang masalah eksternal agar tetap bisa berlaga di pentas internasional. 

“Pembentukan tim pengungsi ini mengirim pesan inklusif kepada seluruh jutaan pengungsi di seluruh dunia, 10 atlet yang berkompetisi di Rio de Janeiro datang dari Suriah, Sudan Selatan, Republik Demokratik Kongo, dan Etiopia,” demikian pernyataan IOC, sebelum Olimpiade Rio 2016 berlangsung. 

Kembali Dibentuk pada Olimpiade Tokyo 2020

Meski tak meraih medali sama sekali di Olimpiade Rio 2016, IOC kembali membentuk tim tersebut dengan alasan yang sama. Melalui program seleksi bertajuk Olympic Scholarships for Refugee Athletes, terpilih 29 orang dari Suriah,  Republik Demokratik Kongo, Sudan Selatan, Eritrea, Venezuela, Iran, Afghanistan, dan Kamerun. Mayoritas atlet yang diseleksi merupakan korban perang saudara sehingga tidak mungkin kembali ke negaranya untuk berlatih. 

Mereka akan berlaga di 12 cabang olahraga seperti atletik, badminton, tinju, canoe, balap sepeda, judo, karate, taekwondo, menembak, berenang, angkat beban, dan gulat. 

Cerita Hidup Para Atlet Pengungsi

Atlet pengungsi yang berlaga di Olimpiade Tokyo 2020 memiliki cerita hidup yang beragam. Dari angkat beban, ada atlet bernama Cyrille Tchatchet II. Konflik yang terjadi di Kamerun memaksanya mengungsi ke Inggris pada 2014 lalu ketika usianya masih 19 tahun.

Berpindah tempat tidak serta-merta memperbaiki kehidupannya karena ia terpaksa menggelandang dan tidur di jalanan. Depresi terus menghantui diri Cyrille hingga hampir memutuskan bunuh diri. Beruntung, ia membatalkan niatnya dengan menghubungi lembaga antibunuh diri di Inggris dan mendapat bantuan. Ia berhasil bertahan dengan meniti karier sebagai perawat di sebuah rumah sakit setempat.

Baca Juga: Olimpiade Tokyo Resmi Dibuka, Atlet Surfing Rio Waida Pakai Baju Adat Bali Saat Bawa Bendera Indonesia

“Ini adalah diri saya, seorang perawat di siang hari dan atlet angkat beban di malam hari. Saya belajar menjadi perawat berkat bantuan komunitas yang mendukung saya. Harapan tidak hanya memberi semangat untuk berjuang, tapi juga bisa memperkuat mental kita,” ujar Cyrille

Cerita lain dialami oleh atlet renang, Yusra Mardini. Sebelum dirinya terpilih mewakili tim pengungsi di Olimpiade Rio 2016, hidupnya sempat mengenaskan. Yusra dan adik perempuannya pernah terombang-ambing selama tiga jam di perahu bersama para pengungsi lain yang berusaha melarikan diri dari konflik Suriah. Ia terdampar di pantai Yunani, kemudian hijrah ke Jerman hingga saat ini. 

Yusra kembali mewakili Tim Pengungsi di Olimpiade Tokyo dengan membawa visi yang sama bagi seluruh orang yang mengalami nasib seperti dirinya. 

“Mimpi saya adalah kedamaian tidak ada pengungsi lagi di dunia. Saya berharap perang segera berakhir dan manusia berdiri dengan hak yang sama. Mungkin sulit, tapi itulah mimpi saya,” ujarnya. 

Share: Mengenal Tim Pengungsi Olimpiade Tokyo 2020, Korban Perang Saudara di Negaranya