General

Mengenal Fintech Syariah yang Ingin Dikembangkan Ma’ruf Amin

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01 Ma’ruf Amin berjanji akan mengembangkan ekonomi syariah jika terpilih di konstasi Pilpres 2019. Dalam turunannya, Ma’ruf juga ingin mendorong lembaga keuangan digital atau fintech yang berbasis syariah. Sebab, kata Ma’ruf, mayoritas penduduk di Indonesia merupakan orang Muslim yang membutuhkan wadah dalam menjalankan aturan agama Islam (syariat).

“Kalau saya terpilih, saya akan dorong secara keseluruhan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Supaya lebih berkembang untuk mendukung penguatan ekonomi syariah kita. Arahnya menuju kesejahteraan,” kata Ma’ruf di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu, 13 Februari 2019.

Ma’ruf juga membeberkan bahwa Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) tengah berusaha untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan dalam pengembangan fintech. Dalam hal ini, kecepatan dan kemudahan mendapatkan akses internet adalah salah satu kuncinya. Dengan adanya akses,masyarakat bisa memanfaatkannya untuk membangun usaha di bidang ekonomi.

Baca juga: Isi Go-Pay Lewat ‘Driver’, Sebuah Bentuk Membantu Sesama

“Jadi tidak terbentuk kantor. Dengan sistem yang dibangun pemerintah bisa permudah akses keuangan syariah. Itu akan kita dorong. Pak Menkominfo sudah siapkan infrastruktur (internet), tinggal kita memanfaatkannya. Jadi bagaimana umat diberdayakan agar punya akses. Jadi bottom up economic development. Bangun ekonomi bawah, ekonomi umat,” ujarnya.

Lebih lanjut Ma’ruf menjelaskan bahwa fintech yang berbasis syariah tentunya harus mengacu pada fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun lalu. Keduanya adalah fatwa mengenai uang elektronik syariah dan layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah. Maka dari itu, ia menegaskan bahwa sistem fintech tidak bertentangan dengan ekonomi syariah.

“Saya sampaikan bahwa penerapan fintech tidak bertentangan dengan ekonomi syariah. Penggunaan fintech diyakini bisa kembangkan teknologi khususnya di keuangan syariah,” ucap Ma’ruf.

Mengenal Fintech Secara Umum

Fintech adalah sebuah sebutan yang disingkat dari kata ‘financial’ dan ‘technology’, di mana artinya adalah sebuah inovasi di dalam bidang jasa keuangan. Beberapa contoh bisnis yang tergabung di dalam fintech yaitu pembayaran online, peminjaman uang (lending) secara peer to peer, transfer dana, investasi ritel, perencanaan keuangan (personal finance), proses jual beli saham, dan lainnya.

Penggunaan fintech yang saat ini paling terkenal mungkin sistem pembayaran menggunakan GoPay, sebuah sistem di aplikasi transportasi online yang membuat orang bisa melakukan transaksi tanpa uang secara fisik. Secara umum, Fintech merupakan inovasi di bidang jasa keuangan yang mana tidak perlu lagi menggunakan uang kertas. Dengan kata lain, keberadaan financial technology mengubah mata uang menjadi digital agar lebih efisien.

Baca juga: Semudah Menggenggam Handphone di Tangan, Ini Dia Tiga Aplikasi Yang Mempermudah Transaksi

Di Indonesia sendiri, perkembangan fintech sangat terlihat jelas. Bahkan, dalam 10 tahun terakhir, tercatat ada lebih dari 180 perusahaan yang mendaftarkan diri ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Walaupun begitu, baru ada sekitar 63 perusahaan saja yang tercatat secara resmi di Indonesia, sedangkan sisanya tengah mengajukan surat konfirmasi tersebut kepada OJK.

Fintech yang Berbasis Syariah

Sebagian besar fintech di Indonesia memang dengan azas secara konvensional (aturan yang umum). Namun, di tahun 2018 ini, mulai bermunculan beberapa fintech syariah yang menggunakan dasar-dasar dari aturan agama Islam. Tentu, perbedaanya berdasarkn dari aturan yang telah diatur sesuai dengan syariat.

Meski sama-sama ingin memberikan layanan keuangan, fintech syariah memiliki perbedaan dalam proses akad pembiayaan. Setidaknya ada tiga prinsip syariah yang harus dimiliki fintech, yaitu tidak boleh maisir (bertaruh), gharar (ketidakpastian), dan riba (jumlah bunga melewati ketetapan). Tentunya, dengan sistem fintech syariah, masyarakat lebih terlindungi dari jeratan bunga yang tinggi. Khususnya bagi mereka yang kesulitan melunasi utangnya karena nominal bunga lebih besar dari utang.

Sebab, semuanya telah diatur sesuai rujukan yang telah dibuat oleh Dewan Syariah Nasional. Hal itu tentunya berdasarkan keputsan dari MUI No.67/DSN-MUI/III/2008 yang mengatur tentang ketetapan apa saja yang harus diikuti lembaga teknologi keuangan terbaru di Indonesia. Terhitung hingga September 2018, baru ada 4 perusahaan teknologi keuangan syariah yang diresmikan oleh OJK.

Baca juga: Promo ‘Cashback’ di Banyak Penyedia Aplikasi Transaksi Online, Bikin Untung Apa Rugi?

Meski begitu, OJK belum memberikan regulasi pasti terhadap keberadaan perusahaan teknologi keuangan berbasis syariah. Sehingga, sebagai lembaga pengawas, aturan OJK untuk fintech konvensional dan syariah masih sama. Untuk penerapannya, fatwa dari Dewan Syariah Nasional MUI lah yang menjadi patokan.

Selain masalah riba (bunga), fintech syariah juga harus mengenal beberapa kesepatan dalam melakukan kerja sama. Seperti akad mudharabah, sebuah teknik kerja sama antara pemilik modal dan pengelola dana. Kedua pihak tersebut akan saling bertemu dan menentukan berapa besaran keuntungan yang akan dibagi secara adil. Namun, apabila ada kerugian, pemilik modal harus bertanggung jawab kecuali keteledoran yang dilakukan oleh pihak pengelola dana.

Kemudian, dikenal pula dengan istilah akad musyarakah, yaitu teknik kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang mana menggunakan sistem bagi rata. Dengan kata lain, si pemilik modal dan pengelola dana akan mendapatkan keuntungan yang sama sesuai dengan kesepakatan awal. Namun apabila ada kerugian, kedua pihak juga harus bertanggung jawab dengan beban yang sama.

Share: Mengenal Fintech Syariah yang Ingin Dikembangkan Ma’ruf Amin