Persaingan merebut suara rakyat jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang masih menyisakan empat bulan lagi dipastikan akan semakin memanas. Meski pasangan Joko Widodo-Ma’ruf masih unggul dalam hal elektabilitas, namun pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno masih berpeluang mengejar. Apalagi, baru-baru ini, Erick Thohir menyebut elektabilitas Jokowi masih stagnan lantaran Ma’ruf belum kampanye.
Berdasarkan hasil survei terbaru dari LSI Denny JA yang dirilis di Jakarta Timur, Kamis, 6 Desember 2018 lalu, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf pada November 2018 mencapai 53,2%, sementara Prabowo-Sandi berada pada angka 31,2%. Dari hasil itu, Jokowi-Ma’ruf masih unggul 22% atas Prabowo-Sandi terutama pasca dua bulan sejak dimulainya masa kampanye Pilpres 2019.
Meski masih unggul 22%, suara Jokowi-Ma’ruf ternyata mengalami penurunan dari bulan sebelumnya yakni sebesar 4,5%. Menariknya, suara Prabowo-Sandi justru mengalami kenaikan sebesar 2,6%. Namun, secara keseluruhan, angka elektabilitas kedua pasangan justru relatif tak bergerak signifikan alias stagnan jika dibandingkan elektabilitas mereka sebelum masa kampanye dua bulan lalu.
Hasil itu pula yang membuat Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Erick Thohir, mengatakan, bahwa statisnya elektabilitas Jokowi-Ma’ruf disebabkan sang cawapres masih belum melakukan kampanye. Meski begitu, ia sendiri tak khawatir dengan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf saat ini.
“Kan Abah (panggilan akrab Ma’ruf Amin) belum bergerak, belum kampanye. Kalau nanti Abah kampanye, wuih,” kata Erick dalam acara Workshop Nasional TKN-TKD Jokowi-Ma’ruf, di Hotel Sahid, Jakarta, Jumat, 7 Desember 2018.
Erick mengungkapkan, selama ini yang dilakukan Ma’ruf seperti kunjungan ke sejumlah pesantren di beberapa provinsi bukanlah sebuah kampanye, melainkan sebatas silaturahmi saja, serta menguatkan basis terlebih dahulu. Kunjungan itu hanya sebatas lawatan seorang kiai ke para santrinya.
Baca Juga: Kampanye Ma’ruf Amin, Dari Pesantren ke Pesantren Kemudian Dilaporkan Ke Bawaslu
Menurut mantan bos klub sepakbola Inter Milan itu, yang dimaksud dengan kampanye adalah saat Ma’ruf nantinya pergi ke pasar dan mengajak masyarakat untuk memilihnya. “Silahturahmi sama kampanye beda. Kalau sudah datang ke pasar itu, baru. Ini baru check and balance,” ujar Erick.
Nada optimistis pun tetap diutarakan Erick terkait elektabilitas Jokowi-Ma’ruf yang masih stagnan. Pada Sabtu, 8 Desember 2018 lalu, Erick sekali lagi mengatakan bahwa sampai saat ini Ma’ruf memang masih belum bergerak untuk berkunjung ke daerah-daerah melakukan kampanye. “Ini nanti akan bergerak. Kan beliau jadi cawapres juga baru masuk kan,” kata Erick Thohir di Jakarta, Sabtu, 8 Desember 2018.
Erick pun semakin percaya diri jika elektabilitas pasangan Jokowi-Ma’ruf akan naik dalam beberapa bulan kemudian. Apalagi menurutnya, elektabilitas Jokowi yang menyentuh angka 53 persen sudah cukup baik, apalagi Ma’ruf belum melakukan safari menyapa masyarakat ke daerah-daerah. Nantinya, jika Ma’ruf sudah bergerak, maka elektabilitas Jokowi diyakini bisa berubah. “Jadi beliau belum bergerak saja nilainya 53 persen. Apalagi beliau bergerak,” ujarnya.
Terkait hal ini, Ma’ruf disebut-sebut baru akan memulai aktif kegiatan kampanyenya pada Januari 2019 nanti. “Abah Januari. Coba tanya abah. Katanya Pak Erick abah udah kampanye atau belum, kata Pak Erick belum masih silahturahmi. Abah kampanye baru Januari. Coba saja tanya,” kata mantan Ketua INASGOC Asian Games 2018 itu.
Untuk meningkatkan elektabilitas paslon presiden-wakil presiden nomor urut 01 yang masih stagnan saat ini, tentu dibutuhkan kerja keras, terutama agar tak terkejar oleh sang lawan yakni pasangan Prabowo-Sandi. Maka dari itu, Pengamat Politik Ahmad Bakir Ihsan menyebut Ma’ruf harus menjalankan kampanye yang intens jika ingin mendongkrak suara Jokowi.
“Karena Ma’ruf Amin dianggap belum punya daya jual kuat, maka diperlukan kampanye yang lebih intens sehingga bisa membantu menguatkan elektabilitas Jokowi,” kata Bakir Ihsan kepada Asumsi.co, Kamis, 13 Desember 2018.
Menurut Bakir, kampanye yang intens dibutuhkan lantaran posisi Ma’ruf saat ini dinilai masih belum cukup kuat. Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyebut sebagian masyarakat masih menganggap Ma’ruf merupakan bagian dari gerakan 212. Sehingga dalam posisi ini, Ma’ruf harus mengambil peran penting agar semuanya jelas dan usaha untuk memenangkan dirinya dengan Jokowi pun akan semakin terbuka.
Baca Juga: Kenapa Ma’ruf Amin Jadi Pilihan Terbaik Jokowi di Pilpres 2019?
“Posisi Ma’ruf Amin satu sisi diharapkan bisa menutup celah serangan politik identitas yang diarahkan pada Jokowi, tapi di sisi lain orang masih menempatkan Ma’ruf Amin bagian dari gerakan 212, terutama terkait kesaksiannya terhadap kasus Ahok. Posisi ini menjadikan Ma’ruf Amin seperti mengambang di antara dua stigma yang paradoks, karenanya perlu kampanye yang intens untuk memperjelas posisinya,” ujarnya.
Memang benar bahwa Ma’ruf merupakan salah satu penggerak dan juga ketua dewan penasihat koperasi 212. Hal itu terjadi terutama saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu. Saat itu, Ma’ruf meneken pendapat dan sikap keagamaan MUI yang menyatakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menghina Alquran dan agama.
Perlu diketahui, gerakan 212 saat itu menolak Ahok menjadi gubenur DKI Jakarta. Tak hanya itu saja, gerakan 212 juga kerap mengkritik keras pemerintahan Jokowi. Namun, meski menjadi penggerak aksi 212, Ma’ruf sendiri saat itu tidak setuju dan melarang demo besar-besaran 212.
Bahkan, Ma’ruf pernah mengatakan bahwa dirinya yang kini menjadi cawapres Jokowi, siap merangkul ulama alumni 212 yang selama ini dinilai berseberangan dengan pemerintah. “Saya selalu merangkul mereka karena saya juga alumni 212, dulu kan saya yang menggerakkan aksi 212, cuma sesudah Ahok (dipenjara), saya selesai,” kata Kiai Ma’ruf di rumahnya, Jalan Lorong 27, Koja, Jakarta Utara, Kamis, 9 Agustus 2018.
Memang jelas pada akhirnya Ma’ruf berusaha menjalin komunikasi untuk tidak lagi membuat gerakan setelah Ahok ditahan, sayangnya hal itu justru diabaikan dan aksi 212 besar-besaran tetap berlangsung. “Mereka keterusan, makanya saya bilang sudah cukup selesai, mari kita membangun bangsa,” ujarnya.
Hampir senada dengan Bakir, Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Zaenal A. Budiyono, menyebut aksi 212 masih membelenggu Ma’ruf Amin sehingga sedikit banyak berpengaruh terhadap stagnan-nya elektabilitas Jokowi. Meski begitu, kubu Jokowi-Ma’ruf memang tak perlu terlalu khawatir karena masih ada waktu untuk meningkatkan elektabilitas.
“Reuni 212 yang melibatkan jutaan umat beberapa waktu lalu juga bisa menjadi ukuran dinamisnya pilihan moslem voters di Indonesia. Meski tidak terkait politik langsung, namun bisa kita analisis bahwa sebagian besar tokoh dan massa yang hadir di Monas menginginkan perubahan,” kata Zaenal kepada Asumsi.co, Kamis, 13 Desember 2018.
Sehingga di sisi lain, lanjut Zaenal, Ma’ruf beberapa hari menjelang Reuni 212 berupaya membangun narasi bahwa reuni yang dimaksud tidak relevan lagi dengan realitas politik hari ini. “Dengan kata lain, Ma’ruf tidak mendukung Reuni tersebut. Faktanya reuni tetap berjalan dengan jumlah peserta massif. Fakta ini yang menurut saya menjadi kesimpulan TKN Jokowi bahwa suara pasangan mereka stagnan,” ujarnya.
Baca Juga: Pengakuan La Nyalla Sebar Isu Jokowi PKI dan Perubahan Situasi Politik Jelang Pilpres 2019
Menghadapi situasi seperti saat ini, Zaenal melihat kubu Jokowi-Ma’ruf memang harus berbenah jika memang ingin mendapatkan elektabilitas lebih tinggi sebelum benar-benar bertempur di Pilpres 2019. “Masa kampanye masih panjang, masih ada waktu untuk berbenah. Yang mendesak, perlu perubahan strategi kampanye dan untuk membangun image Ma’ruf agar lebih connect dengan dinamisnya behavioral pemilih muslim saat ini,” kata Dosen Ilmu Politik Universitas Al Azhar Indonesia itu.
Tanggung jawab untuk membangun elektabilitas tentu bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Ma’ruf. Menurut Zaenal, peran tim ahli di tim sukses serta Erick Thohir sendiri sebagai komandan, memang sangat menentukan. Apalagi, sebagai Cawapres, fokus Ma’ruf memang ke banyak hal, sehingga tim sukses lah yang harus menyiapkan semua strategi.
Zaenal pun yakin Ma’ruf punya posisi cukup penting untuk melengkapi Jokowi sebagai pasangan capres-cawapres, terutama posisinya di kalangan pemilih muslim. Namun lagi-lagi, lanjut Zaenal, jabatan dan peran Ma’ruf di MUI sebelumnya, tentu tak serta merta bisa memastikan sepenuhnya suara para pemilih muslim.
“Sebagai Ketua MUI dan ulama yang dihormati di NU, Kiai Maruf Amien (KMA) memiliki pengaruh signifikan. Ini juga yang saya kira menjadi pertimbangan Jokowi ketika meminangnya. Namun dalam politik faktor-faktor tersebut tidak selalu berbanding lurus.”
“Dinamisnya behavioral politik pemilih muslim menjadi tantangan tersendiri bagi TKN Jokowi-Maruf untuk mendongkrak perolehan suara mereka. Tak hanya di pemilih muslim secara umum, bahkan di NU sendiri tarik-menarik suara antar-kedua pasangan kian kencang. Indikatornya terlihat dari beberapa tokoh dengan latar belakang NU yang merapat ke Prabowo,” ucapnya.
Maka dari itu, pada akhirnya tetap saja Ma’ruf harus turun gunung melakukan kampanye sesegera mungkin untuk memastikan agar suara pemilihnya tak tergerus. Kampanye intens, kerja keras, dan strategi dari tim sukses dibutuhkan agar elektabilitas Jokowi-Ma’ruf bisa meningkat tajam dalam waktu empat bulan ke depan.