General

Membaca Perbedaan Gestur Usai Vonis: Buni Yani Beringas, Ahok Santun

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Status hukum Buni Yani akhirnya jelas sudah. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepada Buni Yani yang terbukti bersalah melakukan pelanggaran Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Selasa (14/11/2017).

“Menyatakan terdakwa Buni Yani terbukti secara sah bersalah melakukan mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik,” kata Ketua Majelis Hakim, M Sapto.

Buni Yani terbukti menyebarkan video dengan durasi 30 detik yang berisi potongan pidato Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang kala itu masih berstatus Gubernur DKI Jakarta. Sementara video asli pidato Ahok sendiri berdurasi cukup panjang yakni 1 jam 48 menit 33 detik. Dalam video yang bernuansa SARA itu, Buni Yani menghilangkan kata ‘pakai’ dalam transkripannya, sehingga kalimat pidato yang disampaikan Ahok pun mengalami perubahan makna yang sangat drastis. Potongan video tersebutlah yang akhirnya menjebloskan Ahok ke dalam bui karena dianggap melakukan penistaan agama.

Buni sendiri mengubah isi potongan video itu di kediamannya yang berada di Cilodong, Depok, Kamis (06/10/2016) pukul 00.28 WIB. Sementara itu, video versi asli pidato Ahok dengan durasi panjang diunggah Diskominfomas DKI Jakarta di akun Youtube resmi Pemprov DKI Jakarta, Rabu (28/09/2016). Vonis hakim sendiri sebenarnya lebih rendah dari tuntutan Jaksa dengan dua tahun penjara dan denda sebesar 100 juta rupiah subsider tiga bulan kurungan.

Namun, bukan soal vonis hakim yang menjadi fokus penulis dalam perjalanan panjang kasus Buni Yani. Yang menarik adalah ekspresi atau respons Buni Yani baik saat persidangan tengah berlangsung maupun setelah vonis dijatuhkan. Lalu, bagaimana jika dibandingkan dengan respons Ahok ketika dijatuhi vonis? Mari simak perbedaan gestur kedua sosok tersebut.

Buni Yani yang Berapi-api

Buni Yani sempat membuat heboh saat dirinya melontarkan kalimat yang cukup menohok di tengah-tengah persidangan. Situasi itu terjadi lantaran Buni Yani sudah terlanjur emosi karena Jaksa Penuntut Umum  (JPU) dinilai memojokkannya, padahal Buni Yani sendiri sudah menegaskan bahwa dirinya tidak pernah memotong atau mengedit video pidato Ahok.

“Kalau saudara ingin memastikan kalau betul-betul saya yang memotong (video). Kalau saya memotong video itu, taruh Al Quran, saya bersumpah langsung, saya dilaknat Allah saat ini juga. Tapi kalau saya tidak melakukan (memotong atau mengedit video) kalian yang dilaknat Allah,” kata Buni Yani.

Tak cukup sampai di situ, ekspresi Buni Yani kembali memuncak setelah hakim menjatuhi vonis. Spontan Buni Yani langsung berangkat dari kursinya dan meneriakkan takbir dengan lantang sambil mengepalkan tangan kanan melayang di udara.

Teori Albert Mehrabian

Menarik melihat respon Buni Yani yang begitu ekspresif dari sudut pandang hukum “7%-38%-55%” yang dipopulerkan Profesor Albert Mehrabian, Guru Besar Emeritus Psikologi dari Universitas of California, Los Angeles (UCLA). Mehrabian menyoroti pentingnya hubungan antara pesan verbal dan non-verbal.

Mehrabian menyebut ada tiga unsur dalam komunikasi langsung yang kemudian dibagi rata dalam masing-masing persentase di atas yakni tulisan atau kata-kata (verbal), intonasi suara (vokal), dan bahasa tubuh (visual). Ketiga unsur tersebut, masih menurut Mehrabian, memiliki tanggung jawab masing-masing yang berbeda-beda dari cara seseorang dalam menyampaikan pesan. Kata-kata berperan sebanyak 7%, intonasi suara berperan 38%, dan bahasa tubuh berperan sebesar 55%.

Jadi sederhananya, publik atau penerima pesan atau pendengar, lebih percaya pada bentuk komunikasi non-verbal yakni dari intonasi suara (38%) dan bahasa tubuh (55%), ketimbang dari kata-kata (7%). Memang, suara dan ekspresi tubuh memiliki pengaruh besar terhadap pendengar, sedangkan pilihan kalimat atau kata-kata tidak terlalu berpengaruh.

Orang-orang akan mengingat intonasi suara Buni Yani yang tinggi serta bahasa tubuh yang ekspresif ketimbang kata-kata yang diucapkannya.

Ahok dan Sikap Hormatnya

Lalu, bagaimana dengan Ahok? Jika dilihat kembali saat dijatuhi vonis hukuman, Ahok yang dikenal sebagai sosok yang kerap berkata kasar, justru memberi respons dengan berdiri dan membungkukkan setengah badannya dan menundukkan kepala. Gestur Ahok secara sederhana menunjukkan bahwa dirinya menghormati vonis hakim meski dengan berat hati.

Dalam teori Mehrabian, publik mau tidak mau hanya bisa menilai sikap Ahok lewat bahasa tubuh (55%). Beruntungnya, Ahok menunjukkan bahasa tubuh yang positif dan orang-orang pun langsung bisa membuat asumsi tentang sikap Ahok dari gestur tubuhnya saat mendengat vonis hakim. Bukan tidak mungkin Ahok dinilai berjiwa ksatria lantaran tidak merespons berlebihan secara emosional atas keputusan hakim tersebut.

Sederhananya, orang-orang (mungkin) akan menilai Buni Yani terlalu berlebihan dan tidak bisa terima dengan vonis hakim meski dirinya terbukti bersalah. Publik akan mengingat 93% (38%+53%) intonasi suara dan bahasa tubuh Buni Yani yang begitu ekspresif dan menggebu-gebu. Pesan yang ingin disampaikan tentu sangat jelas bahwa Anda tidak pernah memiliki kesempatan kedua untuk membuat kesan pertama terlihat lebih baik. Apa pun itu yang sudah terlanjur Anda lakukan dan katakan, orang-orang di sekitar akan langsung memberikan asumsi dan memberikan penilaian saat mereka melihat sikap Anda pertama kali.

Share: Membaca Perbedaan Gestur Usai Vonis: Buni Yani Beringas, Ahok Santun