Isu Terkini

‘Memanusiakan’ Mereka yang Hidup dari Balik Jeruji

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Terungkapnya kehidupan mewah para narapidana kasus korupsi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Jawa Barat, sebenarnya bukanlah hal baru. Lapas-lapas lain juga pernah diberitakan mengenai “fasilitas-fasilitas khusus” yang diterima narapidana-narapidana di dalam. Tapi memanglah Lapas Sukamiskin menjadi “kasus khusus” karena para koruptor ditahan di situ.

Dari berita yang beredar luas, bisa kita lihat bagaimana para narapidana kasus koruptor tersebut memiliki sofa, alat olahraga, hingga alat-alat elektronik di dalam selnya. Pro-kontra dari publik terhadap hal tersebut tidak terhindarkan. Namun sebenarnya, pantaskah mereka menikmati “kemewahan” tersebut? Pantaskah mereka “dimanusiakan” selama masa tahanannya di dalam sana?

Memahami Gerakan untuk Memanusiakan Narapidana

Gerakan memanusiakan narapidana merupakan sesuatu yang dikampanyekan dengan basis hak asasi manusia seseorang. Terlepas dari kriminalitas yang ia lakukan, seseorang harus tetap dapat diperlakukan secara manusiawi dalam proses hukum yang berlaku. Alasannya, untuk kriminalitasnya sendiri, tentu hukum yang berlaku secara normatif menjadi sebuah punishment yang dianggap sesuai di negara tersebut. Tidak memanusiakan narapidana justru dapat menjadi sesuatu yang berada pada zona abu-abu.

Seseorang yang masuk lapas pun tidak serta merta kehilangan esensinya sebagai seorang manusia. Mengutip dari salah satu artikel The Harvard Crimson, Thomas Matt Osborne, berbicara dalam Humanizing the Prisons, menekankan pentingnya melihat seseorang yang melakukan tindakan kriminal tidak berbeda dari seseorang yang ada di luar penjara. Seseorang yang dipenjara, menurut Osborne, hanya berbeda karena ia adalah seseorang yang ‘tertangkap’. Osborne pun menyatakan bahwa perlakuan yang tidak manusiawi ketika seseorang menjadi narapidana tidak secara efektif membuat seseorang jera untuk masuk penjara. Justru, ia merasa bahwa perlakuan tidak manusiawi ini membuat seorang mantan narapidana yang kembali ke masyarakat menjadi membenci masyarakat. Alih-alih menjadi orang yang lebih baik, besar kemungkinan kebencian tersebut mengakibatkan mantan narapidana yang keluar justru masuk kembali ke lapas.

Lalu, seperti apa seharusnya memanusiakan narapidana? Tentu yang pertama adalah memastikan bahwa di dalamnya, manusia tidak diperlakukan berbeda dengan manusia yang tidak sedang menjalani lapas. Secara spesifik, menurut saya, seorang narapidana harus mendapatkan tempat tidur yang baik, toilet yang higienis, dan makanan yang sehat. Beberapa tambahan lain adalah adanya kesempatan untuk bertemu dengan keluarga di bawah pengamanan yang ketat dan adanya kegiatan-kegiatan ekstra seperti olah raga atau kesenian yang dilakukan. Dengan begitu, seseorang dapat siap ketika menyelesaikan masa hukumannya dan harus kembali ke masyarakat.

Kondisi Lapas di Indonesia

Berbicara tentang memanusiakan manusia di dalam sebuah lapas merupakan satu hal. Namun, berbicara tentang memanusiakan manusia di lapas Indonesia merupakan hal yang lain lagi. Mengapa? Karena jangankan berbicara memanusiakan narapidana secara merata, masih banyak lapas di Indonesia yang belum taat aturan dan justru melakukan pelanggaran. Di satu sisi, terdapat dugaan adanya pungutan ratusan juta untuk para narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin mendapatkan kemewahan di kamar lapasnya. Sedangkan di sisi lain, ada lapas yang melanggar aturan karena tidak manusiawi. Salah satu contohnya adalah Lapas Kelas II A Paledang, Bogor, Jawa Barat. Dalam lapas tersebut, satu kamar yang seharusnya diisi 15 orang, diisi sampai 40 orang. Tentu menjadi pertanyaan dan keheranan kita semua ketika ada satu lapas yang begitu mewah, sedangkan ada lapas yang justru begitu tidak manusiawi, namun sama-sama memiliki satu kesamaan: pelanggaran aturan.

Jadi, Pantaskah? Bagaimana Seharusnya?

Kita semua sama-sama manusia, maka dari itu memanusiakan manusia seharusnya tidak dilihat secara kondisional, termasuk untuk orang-orang yang ada di dalam Lapas. Merupakan sebuah urgensi untuk dapat memanusiakan para narapidana, karena sejatinya, lapas harus bekerja sesuai namanya, yaitu lembaga yang memasyarakatkan para narapidana. Hal-hal esensial seperti toilet, kamar tidur, dan makanan yang disediakan harus dapat sesuai dengan standar kesehatan yang baik. Namun, Memanusiakan manusia bukan berarti memberikan fasilitas mewah dengan televisi dan sofa empuk dalam penjara. Memanusiakan manusia bukan berarti memberikan keleluasaan untuk seseorang keluar masuk penjara. Terlebih ketika hal tersebut dilakukan berdasarkan kekuasaan dan hanya untuk orang tertentu saja, sedangkan yang miskin dan tak berdaya justru semakin sengsara.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: ‘Memanusiakan’ Mereka yang Hidup dari Balik Jeruji