Isu Terkini

Meluruskan Pemahaman soal Coast Guard Cina, ZEE, dan Kedaulatan Indonesia di Natuna

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Hubungan diplomatik Indonesia dengan Cina memanas dalam beberapa hari terakhir. Pemantiknya: kapal Cina memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Masyarakat dan pemerintah Indonesia lekas bereaksi. Pada Senin (30/12/19) dan Kamis (02/01/20), protes terhadap “illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing” dan pelanggaran kedaulatan oleh coast guard Cina di perairan Natuna dilayangkan secara resmi.

“Sehubungan dengan pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina pada 31 Desember 2019, Indonesia kembali menegaskan penolakannya atas klaim historis Cina atas ZEEI,” kata keterangan resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia, Rabu (01/01).

Klaim Cina atas ZEEI di Perairan Natuna

Klaim historis Cina atas ZEEI, bahwa nelayan Cina telah lama beraktivitas di perairan natuna, kata Kemenlu, bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Argumen itu, menurut Kemenlu RI, telah dibahas dan dimentahkan oleh keputusan SCS (Laut Cina Selatan) Tribunal 2016.

Indonesia juga menolak istilah “relevant waters” yang diklaim oleh Cina karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Sekadar informasi, United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB merupakan lembaga yang menetapkan batas ZEE.

Maka, Indonesia pun mendesak Cina untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaim Cina di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982. Kemudian, berdasarkan UNCLOS 1982, Kemenlu menegaskan Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan Cina, sehingga tak relevan kalau mesti ada dialog mengenai delimitasi batas maritim.

Indonesia pun tidak akan pernah mengakui nine dash-line karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan 2016 lalu. Nine dash-line Cina adalah garis yang digambar di peta pemerintah Cina, di mana negeri tirai bambu mengklaim wilayah Laut Cina Selatan, dari Kepulauan Paracel (yang diduduki Cina tapi diklaim Vietnam dan Taiwan) hingga Kepulauan Spratly yang disengketakan dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.

“Cina adalah salah satu mitra strategis Indonesia di kawasan. Menjadi kewajiban kedua belah pihak untuk terus meningkatkan hubungan yang saling menghormati dan membangun kerja sama yang saling menguntungkan,” tulis Kemenlu.

Meski begitu, di awal tahun ini, Cina tetap melanggar. Kepala Dinas Penerangan Koarmada I Letnan Kolonel Laut (P) Fajar Tri Rohadi, pada Jumat (03/01), menyebut kehadiran Coast Guard Cina menimbulkan reaksi dari KRI-KRI yang beroperasi di perairan tersebut.

“Pada 30 Desember 2019 KRI Tjiptadi-381 saat melaksanakan patroli sektor di perbatasan ZEEI Laut Natuna Utara tepatnya pada posisi 05 06 20 U 109 15 80 T mendeteksi 1 kontak kapal di radar pada posisi 05 14 14 U 109 22 44 T jarak 11.5 NM menuju selatan dengan kecepatan 3 knots,” kata Fajar.

Fajar mengatakan bahwa setelah didekati pada jarak 1 NM, kontak tersebut adalah Cina Coast Guard dengan nomor lambung 4301 (CCG 4301) yang sedang mengawal beberapa kapal ikan Cina melakukan aktivitas perikanan.

Melihat situasi itu, komunikasi pun dilakukan. KRI Tjiptadi-381 lalu mengusir kapal-kapal nelayan yang menangkap ikan secara ilegal. KRI Tjiptadi-381 mencegah kapal CCG 4301 untuk tidak mengawal kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF) lantaran posisinya berada di perairan ZEEI.

“Koarmada I tetap berkomitmen melaksanakan tugas pokok dan tetap berpegang pada prosedur, dengan tujuan menjaga kedaulatan wilayah dan keamanan di kawasan sekaligus menjaga stabilitas di wilayah perbatasaan,” ucapnya.

Terkait pelanggaran kapal Cina di perairan Natuna, Presiden Joko Widodo menyampaikan sikap. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menegaskan tidak ada tawar-menawar soal kedaulatan.

“Saya kira statemen yang disampaikan sudah sangat baik bahwa tidak ada yang namanya tawar-menawar mengenai kedaulatan, mengenai teritorial negara kita,” tegas Presiden Jokowi saat memberikan pengantar pada Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Senin (06/01) siang.

Cina Tak Masuk ke Wilayah Kedaulatan Indonesia

Terkait pelanggaran Cina atas ZEEI di perairan Natuna, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana meluruskan perihal isu tersebut agar tak ada yang salah kaprah. Menurut Hikmahanto, di kalangan masyarakat dan berbagai media, persepsi yang muncul adalah Coast Guard Cina memasuki wilayah kedaulatan Indonesia, padahal persepsi demikian tidak benar.

“Sejumlah kejadian menunjukkan Coast Guard Cina dan kapal-kapal nelayan Cina memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna Utara. Untuk diketahui keberadaan ZEE tidak berada di Laut Teritorial, melainkan berada di Laut Lepas (High Seas),” kata Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya kepada Asumsi.co, Senin (06/01/20).

Lebih lanjut, Hikmahanto menjelaskan bahwa di Laut Lepas tidak dikenal konsep kedaulatan negara dan karenanya negara tidak boleh melakukan penegakan kedaulatan. Dalam konsep ZEE, sumber daya alam diperuntukkan secara eksklusif bagi negara pantai.

“Inilah yang disebut sebagai hak berdaulat atau sovereign right. Dalam konteks yang dipermasalahkan di Natuna Utara adalah hak berdaulat berupa ZEE dan sama sekali bukan kedaulatan. Oleh karenanya situasi di Natuna Utara bukanlah situasi akan ‘perang’ karena ada pelanggaran atas kedaulatan Indonesia.”

Kalaupun ada pelibatan kapal-kapal dan personil TNI AL, lanjut Hikmahanto, pelibatan tersebut dalam rangka penegakan hukum. Untuk diketahui berdasarkan Pasal 9 Ayat (2) UU TNI, TNI AL selain bertugas untuk menegakkan kedaulatan, diberi tugas untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional, salah satunya adalah ZEE.

Share: Meluruskan Pemahaman soal Coast Guard Cina, ZEE, dan Kedaulatan Indonesia di Natuna