Budaya Pop

Melbourne dan Jakarta: Beda Kota, Beda Cara Menikmati Kopi

Dinda Sekar Paramitha — Asumsi.co

featured image

Makin hari, saya bisa ngeliat banyak kedai kopi, baik itu lokal atau merek internasional, makin menjamur di Jakarta, khususnya di daerah Jakarta Selatan atau pusat. Melihat hal ini, mungkin saya bisa bilang kalau memang ada market dari penikmat kopi itu sendiri karena enggak mungkin kalau para pebisnis kedai kopi membuka usahanya tanpa melihat adanya demand. Akhirnya, saya sedikit “terusik” untuk membahas hal tersebut karena saya melihat adanya perbedaan antara kedai kopi di luar negeri dengan di Jakarta. Perbedaan tersebut terletak pada guna kedai kopi tersebut dan perilaku para kustomernya.

Untuk membahas hal ini dengan lebih terperinci, saya akan coba menceritakan pengalaman saya mengunjungi beberapa kedai kopi di Melbourne, Australia, dan Jakarta. Kenapa Melbourne? Terlepas dari pengalaman saya, saya juga sering membaca di berbagai artikel yang menyebutkan bahwa Melbourne acap kali disebut sebagai salah satu ibukota kopi di dunia. Makanya saya memberanikan diri untuk membahas hal ini dalam tulisan saya.

Oke, saya akan coba mulai perbandingan ini dengan membahas Melbourne terlebih dahulu.

Melbourne, The Capital City of Coffee

Mungkin saya bisa katakan kalau Melbourne ini kota dengan seribu gang. Hebatnya, tiap gang tersebut terdapat café-café, toko-toko, atau bahkan studio yoga yang mungkin enggak sesuai dengan perkiraan orang-orang. Nah, juga ada banyak kedai kopi yang bisa ditemui di gang-gang tersebut. Awal-awal saya menemukan ragam kedai kopi di gang-gang itu, biasanya saya berpikir, “Kok tau aja sih ada tempat ini di gang kecil kayak gini?”. Ditambah lagi, kedai kopi di Melbourne banyak yang cenderung kecil-kecil ukurannya sehingga orang harus mengantri untuk memesan kopi. Makanya, kedai-kedai kopi di gang ini bisa ditemukan dengan cukup mudah karena biasanya di mana ada antrian, di situ ada kedai kopi enak.

Contoh saja Patricia Coffee Brewers yang masih terletak di salah satu gang di pusat kota. Mengambil konsep standing room, Patricia ini tempatnya memang berukuran sangat kecil dan tidak didapati bangku satu pun di dalamnya. Kalau pengunjung mau nongkrong di sana, mereka harus duduk di luar. Duduknya juga bukan di bangku-bangku gitu. Para penikmat kopi ini biasa duduk di atas bekas-bekas krat botol minuman. Atau, duduk di trotoar sebrang Patricia.

View this post on Instagram

A post shared by @vavayong on Jul 2, 2018 at 6:15pm PDT

Ini yang saya temukan berbeda dari banyak kedai kopi di Jakarta. Di Melbourne, banyak kedai kopi berukuran kecil karena banyak penikmat kopi di sana yang hanya membeli lalu pergi begitu kopinya jadi. Kalaupun mereka nongkrong di kedai kopi tersebut, biasanya akan langsung beranjak pergi setelah kopinya habis. Ada sih beberapa orang yang duduk dengan laptop mereka dan bekerja di sana. Tapi, sejauh pengamatan saya, sedikit banget yang seperti itu. Malah ada banyak orang yang memilih untuk beli kopi lalu duduk-duduk santai di taman terdekat.

Perbedaan berikutnya ada pada jam operasional kedai kopi di Melbourne. Kebanyakan kedai kopi yang saya temui hanya buka sampai jam 5 sore. Hanyalah Starbucks yang buka sampai malam hari. Keunikan ini enggak hanya terletak di jam operasionalnya yang relatif cepat, tapi juga pada hari operasional mereka. Ada beberapa kedai kopi yang tutup pada akhir pekan. Atau, mereka memilih untuk tutup pada hari tertentu yang akhirnya membuat kita harus mengecek waktu operasionalnya di Zomato (misalnya) sebelum datang ke sana.

Lanjut lagi, ada satu pilihan kopi yang enggak pernah ada di daftar menu tapi kita tetap bisa order, yaitu Magic Coffee. Kenapa magic? Karena kopi ini disajikan dengan menggabungkan formulasi antara double ristretto dan susu. Ristretto adalah sebagian pertama dari ekstraksi kopi yang menjadikannya lebih ‘murni’ dari espresso sekalipun. Jadi penampilannya serupa latte namun tidak begitu terasa susunya dan rasanya ya sesuai namanya, magic.

Terakhir, tidak pernah saya temui orang lokal Melbourne yang datang ke kedai kopi untuk berfoto-foto. Kembali ke pernyataan saya di atas, orang Melbourne biasanya ngopi karena mereka merasa bahwa ngopi adalah keharusan dan kebutuhan sehari-hari. Makanya enggak ada dari mereka yang berfoto di suatu kedai kopi. Nah, kalau saya menemui beberapa orang yang berswafoto di depan kedai kopi, biasanya mereka adalah turis. Dari hal ini, membawa opini  saya pada perbedaan gaya ngopi orang-orang Jakarta.

Jakarta: Nyaman Tempatnya, Bahagia Konsumennya

“Eh, kita besok ketemu di tempat ngopi aja, yuk! Lagi terkenal tuh di Instagram,” kata seorang teman di salah satu grup chat saya. Saya rasa percakapan sejenis ini bukan hanya terjadi pada grup saya. Mungkin bisa dikatakan kalau pembicaraan macam ini banyak dilontarkan dalam grup chat untuk janjian ketemuan dengan teman-temain lain.

Yes, di Jakarta, kedai kopi bisa dijadikan salah satu alternatif tempat ngumpul bareng teman-teman. Apalagi kalau kedai kopi tersebut bisa dikategorikan sebagai tempat yang Instagram-able, seperti memiliki warna dan desain menarik. Pasti akan ada banyak orang yang ke sana untuk foto-foto tiada henti, selain menikmati pesanan kopi mereka. Bahkan, enggak jarang spot tertentu jadi antrian untuk sekedar menambahkan post di Instagram.

Selain untuk ketemuan, berswafoto, dan nongkrong dengan teman-teman, kedai kopi di Jakarta juga banyak yang dijadikan tempat bekerja. Makanya salah satu pemandangan yang lazim dilihat di kedai kopi-kedai kopi Jakarta adalah orang-orang yang duduk sambil menyeruput kopi dan berhadapan dengan laptop, baik itu sendirian atau dengan temannya. Tak ayal, WiFi dan banyak colokan menjadi salah satu fasilitas wajib yang ada di banyak kedai kopi di Jakarta.

Yang menjadi perhatian saya terakhir adalah variasi pesanan dari orang-orang tersebut. Ada pendapat orang-orang yang mengatakan kalau ke kedai kopi itu, harusnya memesan kopi “sungguhan”, seperti Long Black, Latte, Espresso, dan lain sebagainya. Sementara itu, ada anak-anak Jakarta yang ke kedai kopi tapi malah memesan teh atau jus. Tidak ada yang salah dengan pesanan mereka. Hanya saja hal ini menjadi keunikan tersendiri di mana mereka nongkrong di tempat ngopi, tapi malah memesan minuman yang bukan kopi. Padahal, kembali pada kalimat di atas, banyak dari mereka yang ngajaknya ngopi bareng.

Tidak ada yang benar atau salah dengan gaya ngopi di Melbourne atau Jakarta. Justru saya melihatnya sebagai suatu keunikan dari masing-masing kota. Dan saya yakin, ada kenikmatan berbeda yang bisa dirasakan. Di Melbourne, mungkin kita bisa merasakan asyiknya ngopi sambil duduk-duduk di taman kota. Sedangkan di Jakarta, kita bisa merasakan nyamannya ngopi sambil kerja di suatu kedai kopi.

Dinda S Paramitha sempat belajar studi komunikasi media.

Share: Melbourne dan Jakarta: Beda Kota, Beda Cara Menikmati Kopi