Isu Terkini

Masker Scuba dan Buff Dilarang di KRL, Apa Alternatifnya?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) meminta para penumpang kereta rel listrik (KRL) tidak menggunakan masker scuba dan buff. Aturan baru terkait pencegahan penularan COVID-19 di dalam kereta itu diberlakukan karena keduanya dinilai tidak efektif meminimalisir risiko penularan virus.

“Hindari pemakaian masker scuba atau buff yang hanya lima persen efektif mencegah risiko terpapar akan debu, virus, dan bakteri,” ujar pihak KCI dikutip dari Instagram @commuterline. Dalam keterangan di media sosial pula, pihak KCI memaparkan tipe-tipe masker beserta efektivitasnya. Masker N95 dikatakan memiliki efektivitas 95-100%, masker bedah sebesar 80-95%, masker FFP1 sebesar 80-95%, dan masker kain bahan tiga lapis sebesar 50-70%. Sementara itu, masker scuba atau buff hanya memiliki efektivitas 0-5%.

Larangan penggunaan masker tipe ini di KRL juga didukung oleh Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19. Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menyampaikan bahwa bahan masker ini terlalu tipis. “Masker scuba atau buff adalah masker dengan satu lapisan saja dan terlalu tipis, sehingga kemungkinan untuk tembus, tidak bisa menyaring, lebih besar,” ujar Wiku lewat kanal Youtube Sekretariat Presiden (15/9). “Jadi disarankan menggunakan masker yang berkualitas.”

Wiku pun menyarankan masyarakat memakai masker bedah jika sedang sakit, dan masker kain berbahan katun tiga lapis bagi yang sedang tidak sakit. “Karena kemampuan filtrasi atau menyaring partikel akan lebih baik dengan jumlah lapisan yang lebih banyak.”

Epidemiolog Pandu Riono ikut mengamini. Ia berharap pelarangan yang diterapkan di KRL ini dapat juga diperluas di ruang-ruang publik lain. “Tidak memberikan efek yang maksimal,” ujar Pandu dikutip dari detik.com (15/9).

Efektivitas masker kain bergantung pada banyak faktor, seperti jumlah benang, jumlah lapisan, jenis kain, dan ketahanan air. Masker buff atau neck gaiter yang terbuat dari campuran poliester dan spandeks memang tidak efektif dalam menghalau droplet yang mengandung virus. Studi dari Duke University of North Carolina ini menemukan bahwa masker yang terbuat dari bahan ini justru dapat mempermudah penyebaran droplet dibandingkan dengan tidak memakai masker sama sekali.

Namun, lain halnya jika masker buff terbuat dari bahan yang lebih tebal dan tidak tembus pandang. Peneliti di bidang penyakit menular, Ravina Kullar, menyatakan bahwa masker buff yang terbuat dari katun dan berlapis tiga tetap efektif dalam menghalau penyebaran virus.

Hal yang sama juga berlaku bagi masker scuba yang dianggap tidak efektif karena umumnya terbuat dari campuran polyester dan spandeks yang tipis dan tidak berlapis. Peneliti Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eng Muhamad Nasir mengatakan bahwa masker berbahan scuba tidak memenuhi tiga pengujian kinerja utama masker: uji filtrasi bakteri, uji filtrasi partikulat, dan uji permeabilitas udara. Masker kain dengan bahan yang lentur seperti scuba memiliki permeabilitas udara yang tinggi ketika dipakai, masker ini rentan merenggang, sehingga kerapatan dan pori kain membesar. Akibatnya, peluang partikulat untuk menembus masker pun semakin besar.

Lagi-lagi, semua itu bergantung dari bahan yang digunakan.

“Saya merekomendasikan bahan yang benangnya cukup rapat hingga virus tidak bisa dengan mudah lewat. Jika cahaya matahari dapat menembus, maka kemungkinan besar masker itu tidak akan bekerja cukup baik dalam mencegah penyebaran virus,” ujar Kullar. “Dalam kebanyakan kasus, masker berbahan katun dengan kain berlapis bisa digunakan. Begitu pula dengan masker bedah—jika kamu bisa mendapatkannya.”

Share: Masker Scuba dan Buff Dilarang di KRL, Apa Alternatifnya?