Isu Terkini

Masjid Indonesia di Era Milenial: Tergerus atau Berinovasi?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta menggelar seminar dan peluncuran buku berjudul ‘Masjid di Era Milenial: Arah Baru Literasi Keagamaan’. Dalam kesempatan itu disebutkan bahwa masjid harusnya punya peranan penting dalam literasi keagamaan. Meski berdiri kokoh melewati berbagai perkembangan zaman, masjid semestinya tak hanya sekedar jadi tempat ibadah tapi juga tempat berinteraksi, silahturahmi, sampai berbagi ilmu.

Direktur CSRC UIN Jakarta Irfan Abubakar mengatakan seminar yang diadakan ini bertujuan mempublikasi hasil studi tentang masjid di Indonesia dan perannya dalam peningkatan literasi keagamaan. Menurut Irfan, literasi keagamaan dari berbagai pihak di dalam masjid justru masih rendah.

“Dalam studi tersebut ditemukan bahwa kualitas literasi keagamaan para Takmir (pengurus), Khatib, dan Imam masjid, masih rendah,” kata Irfan pada acara yang berlangsung di Hotel Grandhika Iskandarsyah, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Februari 2019.

Irfan mengatakan literasi keagamaan dalam hal ini bukan sebatas pemahaman tentang ajaran ideal Islam yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi. “Tapi juga meliputi wawasan tentang bagaimana ajaran Islam diterapkan dalam konteks sosial-historis yang berubah,” ucapnya.

Menurut Irfan, dengan literasi keagamaan yang baik, seorang Muslim akan memiliki komitmen sosial yang tinggi, terbuka dan toleran terhadap perbedaan, serta selalu bersikap positif terhadap kemajuan dan masa depan peradaban. “Kami mendorong pemerintah menghadirkan sebuah kebijakan guna menfasilitasi stakeholders masjid meningkatkan kualitas literasi keagamaannya,” ujarnya.

Masjid di Era Modern Alami Penggerusan Fungsi

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Jajang Jahroni selaku editor menjelaskan isi yang terkandung dalam buku. Menurut Jajang, fungsi masjid sangat sentral bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Menurutnya, masjid tidak hanya sebatas bangunan untuk ibadah, tetapi juga sebagai institusi atau lembaga masyarakat yang perannya perlu ditingkatkan.

“Revitalisasi masjid tentu perlu dilakukan. Masjid sebagai organisasi yang harus menerapkan asas-asas organisasi modern. Selain penguatan SDM dan ekonomi masjid, kelompok pemikiran inklusif, moderat juga harus aktif di Masjid. Agar paham-paham radikal tidak mudah masuk,” kata Jajang saat ditemui Asumsi.co usai acara.

Namun, Jajang mengatakan bahwa peran masjid sebagai lembaga keislaman di era modern saat ini justru tengah mengalami penggerusan fungsi. Menurut jajang, sulitnya masjid mengambil peran penting dalam masyarakat tak lepas dari kekuatan modernisasi yang juga didukung keberadaan sistem pemerintahan yang juga masih mengurusi urusan keagamaan.

“Di era modern, masjid mengalami penurunan peran karena watak negara modern yang memonopoli dan mengurusi hampir seluruh urusan publik, termasuk lembaga keagamaan,” ucap Jajang.

Menurutnya, masjid tak hanya mengalami penurunan dalam hal manajemen saja, melainkan juga tergerus eksistensinya dan cuma dijadikan sebagai tempat beribadah semata. Padahal, lebih dari itu, masjid harusnya bisa jadi tempat untuk berbagi ilmu.

Kondisi itu tentu berbanding terbalik dengan peran masjid sebelum era modernisasi, di mana masjid menjadi pusat transmisi ilmu, bahkan penunjang ekonomi masyarakat di sekitarnya. “Masjid yang sebelumnya berperan penting bagi umat, terus mengalami penurunan dan terpinggirkan,” ujarnya.

Masjid Bisa Berinovasi Ikuti Perkembangan Zaman

Jajang mengatakan memang masih banyak masjid di Indonesia yang belum mengalami perkembangan yang berarti, bahkan masih jauh dari kriteria masjid yang ideal. Ia pun menawarkan solusi bahwa harus perubahan manajemen masjid, baik dari peningkatan program, menajemen pendanaan, dan penguatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Selain itu, menurut Jajang, peran negara yang kini mulai mengintervensi masjid juga harus dikurangi. “Ya masjid harus membenahi manajemennya, harus punya dana keuangan yang bagus, SDM yang juga bagus. Jadi masjid dikelola secara profesional, dalam arti petugas-petugas yang ada di mesjid, seperti imam bisa mendapat gaji yang cukup,” kata Jajang.

“Gimana caranya? Ya itu mesjid harus mendapatkan donasi dari jamaah. Yang jelas, negara enggak perlu intervensi karena jumlah masjid terlalu banyak di negeri ini. Jadi negara biar lah mengurus hal lain saja seperti urusan publik yang lebih luas.”

Nantinya menurut Jajang, masjid bisa berinovasi dengan menghadirkan membership atau keanggotaan. Setiap anggota, memberikan donasi misalkan untuk satu tahun itu nominalnya berapa ditentukan. Para anggota nya pun selain beribadah juga bisa mendapatkan pelajaran agama yang mendalam di situ.

seminar dan peluncuran buku berjudul ‘Masjid di Era Milenial: Arah Baru Literasi Keagamaan’ Hotel Grandhika Iskandarsyah, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Februari 2019. Foto: Ramadhan/Asumsi.co

“Jadi biarkan masjid itu mandiri dan masyarakat harus terlibat. Kemudian masjid juga harus merevetalisasi perannya itu. Jangan kayak sekarang, masjid hanya sekedar tempat salat saja. Harusnya bisa lebih dari itu sebagai tempat untuk berbagi ilmu yang bermanfaat.”

Lebih jauh, masjid juga harus bisa menjadi tonggak dalam mencegah berkembangnya paham-paham radikal, sikap intoleran, sampai yang berujung aksi terorisme. Maka dari itu, menurut Jajang, pentingnya pengelolaan masjid secara profesional dan bisa menampung semua kegiatan-kegiatan positif di semua lapisan masyarakat.

“Secara teknisnya, di dalam masjid tentu harus ada satu ruang khusus untuk shalat. Pada waktu yang sama, juga dibuka taklim sebagai sarana literasi dan disuksi bagi umat. Penyediaan ruang-ruang publik lain, misalnya halaman untuk olahraga, tempat festival, atau lainnya,” ujarnya.

“Jika manajemen masjid itu kurang baik, siapapun boleh masuk dengan bebas mengadain ta’lim meski tak jelas siapa yang mengadakan. Nah kalau sudah seperti itu, masjid pun jadi kecolongan. Apalagi tiba-tiba di dalam masjid ada  ustadz yang khotbah soal paham radikal, kan bahaya.”

Menurut Jajang, di era milenial seperti saat ini, masjid harus bisa menyerap aspirasi anak muda. Di samping tempat ibadah, masjid yang yang juga memiliki halaman dan pelataran luas sudah seharusnya bisa jadi tempat pergelaran seni dan olahraga. Jadi setelah salat di dalam ruangan masjid, orang-orang juga bisa beraktivitas di halaman masjid.

“Kan enggak jadi masalah, seperti Masjid Cut Meutia di Menteng Jakarta itu kan rutin mengadakan acara Ramadhan Jazz Festival, acara pentas musik jazz. Itu kan positif, dakwah dikemas lewat musik. Masjid harus menjadi tempat community center juga, yang jelas kegiatan yang positif.”

Generasi Milenial dan Masjid

Hal menarik diuangkapkan Irfan Amalee yang mewakili Peace Generation. Menurut Irfan, ada banyak sisi positif lain dari masjid. Misalnya saja, banyak contoh masjid yang melakukan pendekatan dengan gaya berbeda. Selain itu, masjid bahkan mampu menjadi magnet bagi generasi milenial jika menerapkan pendekatan santai dan tidak kaku.

“Masjid ini sekarang bahkan jadi tempat nongkrong. Mampu mengakomodir para milenial namun tetap terkontrol. Misalnya di Bandung ada masjid yang menyediakan WiFi gratis dan spot selfie, dengan catatan WiFi itu akan mati saat adzan tiba. Bahkan, Masjid jadi tempat kopdar bagi komunitas pemuda seperti yang dilakukan Ustadz Hanan Attaki, dan Ustadz Evie Effendi,” kata Irfan.

Tak hanya itu saja, inovasi juga sangat bisa dilakukan masjid agar bisa menarik milenial untuk melakukan kegiatan positif. Jika selama ini kalangan moderat membuat counter narasi untuk menghalau pemahaman radikal, maka sekarang bisa dengan alternatif narasi.

“Saya mengajak bukan meng-counter narasi tapi bikin alternatif narasi. Jadi bagaimana mengubah masjid sesuai dengan keinginan milenial. Tempat nongkrong buat anak muda. Tempat untuk berkolaborasi melakukan hal produktif dan positif yang pastinya,” ujarnya.

Irfan menyebut, masjid juga bisa menjadi creative hub agar melahirkan orang-orang kreatif dari kalangan muda. “Talent-talent-nya ngumpul di sana. Bikin production house agar broadcast kegiatan-kegiatan masjid lebih banyak, tersebar luas. Seberapa positifnya kegiatan tersebut jika masjid bisa mengakomodirnya dengan baik,” kata Irfan.

Share: Masjid Indonesia di Era Milenial: Tergerus atau Berinovasi?