Isu Terkini

Masihkah Pancasila Relevan?

Kiki Esa Perdana — Asumsi.co

featured image

Masihkah Pancasila relevan? Pertanyaan itu terus muncul setiap peringatan Hari Kelahiran Pancasila yang jatuh pada 1 Juni.

Menurut survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada 2016, ada 25 persen siswa dan 21 persen guru yang menyatakan Pancasila tidak lagi relevan. Yang cukup mengejutkan dari survei lembaga yang dipimpin oleh Prof. Dr. Bambang Pranowo, seorang guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, ialah ditemukan 4 persen orang Indonesia menyatakan setuju terhadap kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Bukan itu saja. Dalam beberapa tahun terakhir muncul pula buku-buku pelajaran sekolah yang dianggap berbahaya. Misalnya, adanya beberapa jilid buku pelajaran siswa Taman Kanak-kanak (TK) berjudul Anak Islam Suka Membaca yang mengajarkan radikalisme dan memuat kata-kata “jihad”, “banta”’, dan “bom”. Tentu saja, hal-hal seperti ini merupakan “penemuan” mengejutkan yang belum diketahui oleh orang banyak.

Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana sebenarnya peran kurikulum dan lingkungan pendidikan dalam pendidikan sekolah di Indonesia hingga melahirkan angka tersebut. Memang benar, keluarga, dalam hal ini orangtua, berperan aktif untuk mengajarkan anaknya bagaimana untuk bisa bertoleransi di masyarakat. Namun tidak hanya orangtua atau keluarga saja, pendalaman pengajaran agama dan ilmu sosial yang lainnya di sekolah dibutuhkan untuk membuat si anak sadar akan betapa pentingnya toleransi itu.

Penanaman akan inti dari toleransi, sangat penting untuk dilakukan kepada anak sejak usia dini, baik dari pihak keluarga dan juga sekolah. Pemahaman tersebut sebaiknya dikenalkan dari sedini mungkin dengan keberagaman suku, warna kulit, bahasa, budaya, bangsa, hingga agama, yang kemudian akan memberikan dampak besar terhadap pola pikir mereka.

Fauzi Abdillah, seorang dosen dan peneliti pendidikan kewarganegaraan di Universitas Pendidikan Indonesia, saat dihubungi langsung oleh penulis, menambahkan mengenai hal ini. Ia mengatakan, “Jika kita hanya menggunakan paradigma bahwa pendidikan hanya di sekolah, ya enggak kelar persoalan kita, sedangkan pendidikan itu gerakan semesta, semua mendukung”.

Menurut UNESCO, toleransi itu merujuk pada sikap terbuka dan menghormati perbedaan yang ada di setiap diri manusia. Konsep awal toleransi digunakan untuk menghargai perbedaan ras dan agama yang ada. Namun saat ini penggunaannya kemudian meluas pada hal lain selain perbedaan ras dan agama.

Selain menghargai perbedaan, toleransi juga artinya mau belajar dari orang lain, menghargai setiap perbedaan yang ada, menjembatani setiap perbedaan budaya, hingga menumbuhkan persatuan dan memperkuat persaudaraan.

Jadi kenapa sebenarnya fenomena pernyataan mengenai Pancasila yang tidak lagi relevan dan dukungan pada kelompok teroris bisa muncul? Jika membahas alasan, tentunya banyak dan terlalu luas untuk dijabarkan, bisa dimulai dari media atau arus informasi yang muncul yang dikonsumsi hingga ke ruang keluarga sampai urusan ke pendidikan karakter yang menjadi program nasional di kurikulum.

Lalu bagaimana sebenarnya peran sekolah? Sekolah memang memiliki keterbatasan mulai dari waktu, aktivitas dan fasilitas. Namun sekolah juga memiliki fungsi penting dalam memperkenalkan sikap toleransi yang baik pada anak didiknya.

Fauzi menambahkan, “Sekolah perlu guru-guru yang memahami dan menjalankan nilai-nilai universal. Dalam hal ini, guru-guru perlu pengetahuan dan keterampilan yang mencukupi, sehingga mereka bisa berperan menjadi guru, juga bisa menghargai perbedaan.”

Kosep menghargai perbedaan ini pada akhirnya menjelaskan bahwa kita semua memang berbeda, namun bukan untuk dibeda-bedakan. Perbedaan dan keberagaman akan selalu ada dalam diri manusia, namun perbedaan dan keberagaman tersebut merupakan anugerah dari Tuhan yang patut kita hormati sebagai umat manusia. Bukankah kita berbeda tapi tetap satu?

Kiki Esa Perdana adalah dosen ilmu komunikasi. Ia sangat antusias dengan isu komunikasi politik dan budaya

Share: Masihkah Pancasila Relevan?