Isu Terkini

Makan Hoaks Berujung Kehilangan Nyawa, Mengapa Kabar Palsu Begitu Digemari?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Termometer infrared atau yang biasa disebut thermo gun diklaim oleh seorang ahli ekonomi di Indonesia berbahaya bagi manusia. Hasil wawancara bersama mantan Direktur Utama TVRI Helmy Yahya yang diunggah di Youtube menceritakan kisahnya menolak untuk dicek suhunya dengan termometer infrared setiap pergi ke tempat umum, dengan alasan “kita tidak tahu dampak kerusakan pada struktur otak. Saya nggak mau.” Ia kemudian mengklaim termometer ini biasa dipakai untuk memeriksa kabel panas, sehingga berbahaya untuk ditembakkan ke kepala manusia.

Potongan video ini ramai beredar di media sosial, hingga menjadi rujukan pengguna-pengguna internet lain untuk mengklaim bahaya penggunaan termometer infrared. Seorang pengguna Youtube, contohnya, membuat video yang isinya menyebutkan termometer ini bisa merusak otak. Ia juga mengajak orang-orang untuk menolak dicek suhunya ketika pergi ke mal, rumah sakit, dan tempat-tempat umum lain.

“Arahkan ke tempat lain, misalnya tangan. Karena itu dapat merusak otak,” katanya dalam video.

Tak sedikit orang yang langsung percaya klaim tersebut. Seorang pengguna media sosial lain membagikan kisahnya yang menolak untuk dicek suhunya ketika berkunjung ke klinik kulit. Ia menyatakan, “Aku punya hak untuk menolak. Ini tubuhku,” dan mengajak orang lain untuk “use your human rights. Jangan mau nganut-nganut aja sama aturan yang kita sendiri nggak tahu this really works or not.”

Masalah Struktural Penyebaran Disinformasi

Kalau mencari berita-berita yang akurat sebenarnya butuh usaha yang tak seberapa, mengapa disinformasi dan teori konspirasi masih begitu laku?

Dengan mencari tahu lewat Google saja, kita dengan mudahnya dapat mengetahui fungsi, cara kerja, dan keamanan termometer ini. Dengan mengetik “is infrared thermometer safe?”, contohnya, hadir informasi dari media dan platform cek fakta terpercaya: bahwa termometer ini menerima emisi radiasi dari tubuh manusia—bukan sebaliknya—sehingga tidak berbahaya bagi tubuh, otak, maupun mata. Hasil penelusuran fakta dari sejumlah media nasional pun telah secara jelas memaparkan fungsi dan keamanan termometer yang didasarkan dari pernyataan para ahli kesehatan.

Namun, dengan semakin banyaknya orang tinggal di rumah, tak sedikit yang menghabiskan waktu untuk mencari informasi tentang COVID-19 dan berujung menerima berita palsu. Sementara itu, berita yang awur-awuran dikatakan lebih cepat menyebar di media sosial dibandingkan berita yang akurat. World Health Organization (WHO) bahkan punya istilah untuk situasi ini, yang dinamakan sebagai infodemi: “Informasi yang terlalu berlimpah—beberapa akurat dan sebagian lainnya tidak—membuat semakin sulit untuk menemukan informasi yang terpercaya dan dapat diandalkan.”

Alih-alih menyalahkan orang yang termakan informasi palsu, studi “How to Counter Fake News? A Taxonomy of Anti-fake News Approaches” yang diterbitkan oleh Cambridge University menyebutkan bahwa hal ini perlu dilihat sebagai masalah struktural yang memerlukan tanggung jawab dari pembuat kebijakan maupun platform-platform media sosial yang membiarkan informasi palsu terus menyebar.

Facebook telah menyatakan bahwa pihak mereka “tidak membiarkan misinformasi yang berbahaya disebar dan telah menghapus ratusan ribu postingan tentang cara pengobatan palsu, klaim bahwa virus Corona tidak ada, dan bahwa virus ini bersumber dari 5G atau bahwa upaya jaga jarak tidaklah efektif.”

Youtube pun menyatakan bahwa pihaknya tidak mengizinkan konten yang mempromosikan informasi berbahaya tentang obat-obatan yang diklaim dapat menyembuhkan COVID-19 dan memiliki sejumlah kebijakan dengan misinformasi COVID-19. Terlepas dari itu, video ataupun konten-konten disinformasi dalam bentuk lain masih dapat ditemukan di platform-platform ini dan menyebar luas di masyarakat.

“Salah satu akar masalah dari penyebaran disinformasi adalah fakta bahwa perusahaan seperti Facebook dan Google telah mengambil alih dan memonopoli pasar iklan daring. Hasilnya, model bisnis pay-as-you-go yang membuat pengiklan hanya perlu membayar ketika halaman mereka dilihat atau diklik jadi marak. Ini membuat perusahaan-perusahaan teknologi ini tidak mendapatkan untung dari menyebarkan informasi yang akurat dan jadi penegak kebenaran di internet,” ujar peneliti dalam studi Cambridge.

Disinformasi Mengorbankan Nyawa Manusia

Bukan Indonesia saja yang jadi sarang penyebaran disinformasi tentang termometer infrared. Beberapa hari sebelumnya, disinformasi serupa sempat tersebar di Afrika Timur—menyebutkan bahwa radiasi yang diemisi oleh termometer ini dapat membunuh neuron dan merusak otak. Sama seperti disinformasi yang menyebar di Indonesia, pesan yang disebarkan lewat media sosial dan group chat ini juga mengimbau agar orang menolak untuk mengarahkan termometer ke kepala.

“Berkeraslah agar termometer diarahkan ke tangan, karena mereka akan mengambil untung dari konsekuensi kesehatan yang akan kamu derita. Mereka berani-beraninya bermain dengan kesehatan kita tanpa menginformasikan bahaya yang disebabkan temperatur ini.” Berita palsu ini telah diklarifikasi oleh platform cek fakta PesaCheck yang menyebutnya “menyesatkan” sekaligus menyertakan informasi yang lebih akurat dari sejumlah ahli kesehatan.

Isu ini juga sempat tersebar di negara Lituania—dengan postingan yang mengklaim termometer berbahaya bagi “mata ketiga” manusia tersebar lewat Facebook. Berdasarkan sejumlah tradisi, “mata ketiga” dipercaya terletak di tengah-tengah dahi dan diasosiasikan dengan kesadaran batin yang lebih tinggi. Postingan-postingan di Lituania itu mencurigai termometer dapat merusak “mata ketiga” dan membuat orang tak bisa lagi bermeditasi dan mencapai kesadaran tinggi.

Begitu pula di Meksiko dan Argentina—yang mana disinformasi ini disebarkan lewat pesan rantai di WhatsApp dan video di Youtube. Sejumlah media lokal dan platform cek fakta pun secara sigap mengklarifikasinya.

Sebelumnya, menyebar pula teori-teori konspirasi lain—salah satunya mempertanyakan keberadaan dan bahaya COVID-19. Bahkan, disinformasi ini disebarkan oleh figur publik yang punya banyak pengikut di media sosial, seperti oleh JRX SID, Young Lex, dan lainnya.

Dampak dari penyebaran berita palsu tak main-main. Rumor palsu tentang COVID-19 memicu terjadinya serangan massa di India dan keracunan massal di Iran. Lebih dari 70 tiang telepon di UK dirusak akibat teori konspirasi yang mengklaim teknologi 5G sebagai biang kerok penyebaran virus. Di Amerika Serikat, sepasang kekasih mengira cairan pembersih akuarium dapat dijadikan obat untuk mencegah tertular virus. Donald Trump yang mendorong orang-orang untuk mengkonsumsi hidroklorokuin tanpa resep dokter telah memicu overdosis dan keracunan—tak hanya di Amerika tetapi juga negara-negara lain.

Teori konspirasi dan disinformasi juga membuat orang lengah dan tidak melakukan upaya-upaya pencegahan—tak sedikit yang baru ke rumah sakit ketika kondisi mereka sudah kelewat parah. “Kami kehilangan banyak nyawa karena misinformasi. Mereka datang terlambat dan kami hanya bisa melihat mereka mati di depan kami,” ujar Fernando, dokter yang menangani pasien COVID-19 di New York, dikutip dari BBC.

Share: Makan Hoaks Berujung Kehilangan Nyawa, Mengapa Kabar Palsu Begitu Digemari?