Isu Terkini

Curhat Mahasiswi UIN Kalijaga dan UAD Yogyakarta yang Dilarang Bercadar

Dyah Ayu Pitaloka — Asumsi.co

featured image

“Kamu enggak punya teman cowok ya?

“Kalian [yang laki-laki] pernah lihat bentuknya enggak? Jangan-jangan dia jerawatan.”

“Wanita bercadar itu wanita terbelakang lho.”

E (bukan nama asli) mengingat dan mengulang sejumlah pernyataan dan pertanyaan yang diajukan oleh dosennya di kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, kepada Asumsi. Pernyataan-pernyataan tersebut beberapa dilakukan di ruang kelas, ketika proses belajar mengajar. Namun ada pula pernyataan yang dilempar dalam grup percakapan sebuah media sosial yang di dalamnya berisi teman-teman sekelas E.

Sikap itu dirasakan sejak semester lalu dan semakin gencar bersamaan dengan tersebarnya surat edaran tentang pembinaan mahasiswi bercadar oleh rektorat pada akhir Februari 2018 lalu. Surat tersebut juga ditemukan tersebar melalui media sosial.

Selain pertanyaan yang merisak, sebaliknya E juga mendapati sejumlah dosen lain yang memberikan motivasi untuk tetap bercadar.

“Kalian tidak perlu minder, kalian sudah benar. Tujuannya menutup aurat. Kalau misalnya ada pernyataan rektor, ya kita ikutin alurnya saja,” kata E menirukan ucapan sejumlah dosen yang memberinya motivasi ketika proses belajar mengajar di kelas.

Dijumpai di sebuah tempat di luar kampus pada Jumat, 9 Maret, E meminta namanya tidak dipublikasikan. Sebab mahasiwi berusia 21 tahun ini takut akan mendapatkan tekanan dan intimidasi dari dosen di kampus tempat dia belajar saat ini.

E mengingat, sejumlah pernyataan yang disampaikan oleh dosen yang semuanya laki-laki, kepada semua mahasiswanya di dalam kelas. Namun E merasa pesan itu ditujukan untuk dirinya karena hanya dia yang mengenakan cadar di dalam kelas itu. Hal itu tidak lantas membuat E berkecil hati. Dia meresponnya selayaknya mahasiswa yang sedang belajar di kelas.

“Saya mencoba aktif di kelas dengan bertanya dan menjawab tentang pelajaran. Saya juga memberikan penjelasan jika ada pernyataan yang tidak benar. Saya ini menutup aurat, bukan menutup dinding interaksi. Saya juga punya media sosial. Saya berteman dengan teman perempuan dan laki-laki,” kata E, mahasiswi bercadar yang mengaku nilai mata kuliahnya cukup baik itu.

Kecewa Tapi Pasrah

Setelah surat tentang pendataan dan pembinaan mahasiswa bercadar itu beredar, sekitar 38 mahasiswa bercadar penghuni grup percakapan media sosial mulai resah. E hanya mengenal beberapa mahasiwi di antara angota grup yang menurutnya kembali ramai setelah surat pembinaan itu beredar. Ada yang ketakutan, khawatir dikeluarkan, atau tidak tahu bagaimana harus melaporkan diri kepada kampus. Dampaknya, E menyebut ada dua kawannya yang memilih keluar, salah satunya pindah ke kampus lain. Satu teman lain kemudian memilih melepas cadar dan menggunakan masker ketika di kampus.

E sendiri pernah menanyakan tentang pendataan dan pembinaan kepada Kepala Program Studi (Kaprodi) di jurusannya dan tidak ada jawaban pasti tentang kapan dan bagaimana alurnya. Informasi tentang pembinaan bagi mahasiwi bercadar didapat dari sejumlah dosen di ruang kelas.

Menurutnya akan ada pembinaan selama tiga bulan yang dibagi menjadi beberapa pertemuan. Mahasiswi akan diundang oleh 15 ahli yang bertugas mewawancara mereka. Ada dua solusi bagi mahasiswi bercadar di akhir pembinaan.

“Pertama dikeluarkan bagi yang masih bercadar, kedua mengikuti kebijakan. Kalau saya memilih mengikuti kebijakan. Saya bisa pakai masker jika di kelas,” katanya.

Dia juga tidak keberatan ketika harus melepas cadar untuk kepentingan administratif, misalnya ketika hendak ujian dan untuk menghindari kecurangan. Demikian pula untuk foto pada dokumen pendidikannya seperti ijazah dan kartu mahasiswa.

“Asalkan pemeriksaan atau prosesnya dilakukan di ruang tertutup dan oleh sesama perempuan” katanya.

Sikap itu menurutnya sudah dibicarkan dengan orang tuanya di kampung halaman. Namun jika pakai masker pun dilarang, ia menyebut orang tuanya telah berpesan agar E membuka suara dan mempertanyakan kebijakan itu.

“Kalau pakai masker saja dilarang artinya semua di kelas juga dilarang pakai masker, entah itu karena sakit atau apa. Kami warga Indonesia. Adalah hak kami memakai cadar. Entah tujuannya karena ikut-ikutan, karena fashion, atau niat atau karena ingin dipandang istimewa di kampus. Ibu saya memakai cadar,” kata E yang memutuskan bercadar sejak Juni 2017 lalu.

Lepas Cadar Jika di Rumah

Berbeda dengan E, EF adalah mahasiwi bercadar di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta. EF bercadar sejak Desember 2017. Ia harus melepas cadar ketika pulang kampung karena permintaan orang tuanya sendiri.

Di kampus, EF merasa kampusnya tidak menyulitkannya dalam mengenakan cadar. Meskipun beberapa saat lalu dia dipanggil staf hubungan masyarakat (humas) di kampusnya untuk sejumlah pertanyaan.

“Pertama kampus mengklarifikasi bahwa UAD tidak melarang mahasiswi bercadar. Kemudian mereka menanyakan bagaimana tanggapan saya jika diminta melepas cadar untuk diperiksa ketika hendak ujian, kemudian diperbolehkan kembali memakai cadar setelah diperiksa, dan bagaimana tanggapan saya jika foto ijazah dan kartu mahasiswa dengan melepas cadar,” kata EF.

Dia menyatakan tidak masalah, asal prosedurnya dilakukan dengan sesuai.

“Diperiksa di ruangan tertutup dan dengan petugas perempuan. Kalau foto ijazah menurut saya kan fotonya tidak aneh-aneh, ya saya tidak keberatan,” ujarnya.

Kebijakan Berat Sebelah

Surat pendataan dan pembinaan mahasiswi bercadar UIN Kalijaga Yogyakarta. Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Asumsi

UIN Sunan Kalijaga tidak menampik keluarnya surat berperihal pembinaan pada mahasiswa bercadar. Sebelumnya, dalam konferensi pers di depan wartawan, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Yudian Wahyudi menyebut terdapat 42 mahasiswa bercadar yang tersebar di sejumlah fakultas. Jumlah tersebut adalah hasil pendataan sebelum pembinaan dilakukan. Sementara format pembinaan belum diketahui bentuk pastinya.

Salah satu calon anggota tim pembina atau konseling dari Fakultas Ilmu Dakwah Alimatul Qibtiyah mengatakan, belum ada format khusus tentang bentuk pembinaan yang akan dilakukan pada mahasiswi bercadar.

Akademisi yang memiliki latar belakang psikologi dan kajian perempuan itu berharap langkah ini direspon secara positif dan akan memberikan banyak masukan bagi mahasiswi bercadar. Utamanya tentang pengetahuan mereka terhadap perspektiv keberagaman.

“Di kampus kita tidak boleh satu sumber ilmu, kita harus menyampaikan pengetahuan, entah kita sebagai pribadi setuju atau tidak. Kita ingin melatih, apakah mereka yang bercadar sudah mempunyai perspektif beragam dalam melihat persoalan keislaman itu. Secara psikologis juga dilihat. Apa yang membuat mereka nyaman, apa alasannya,” kata Alimatul, Kamis, 8 Maret.

Menurutnya, terdapat sejumlah motivasi tentang mengapa perempuan bercadar. Mulai dari fashion, menutup bagian wajah yang tidak bagus atau sebaliknya, karena kesehatan, kehati-hatian, penafsiran ayat tertentu atau karena ideologi tertentu.

“Itu temuan dari penelitian yang pernah saya baca. Tujuan pembinaan mungkin agar ketika lulus dari UIN mereka memiliki pemahaman yang sesuai dengan profil keislaman di UIN, Islam yang inklusif, berkemajuan, Islam moderat progresif,” katanya.

Menurutnya, dalam kajian perempuan, kaum hawa memiliki hak untuk melepas atau menggunakan cadar ataupun jilbab. Namun lazimnya mereka akan mengikuti aturan yang ada jika masuk dalam sebuah komunitas tertentu. Pada kajian perempuan dan radikalisme, terdapat penemuan bahwa perempuan sering digunakan sebagai penggembira saja.

“Seperti di Aksi Monas 212 itu, sepertiga dari mereka adalah perempuan, tapi tidak ada satupun panggung substantif yang diberikan bagi perempuan,” katanya yang juga berada di lokasi pada saat itu untuk melakukan penelitian.

Sementara dalam pendekatan psikologis, terdapat kecenderungan untuk mempolitisir tubuh perempuan jika terjadi sebuah kepanikan.

“Tubuh perempuan digunakan sebagai simbol untuk menggerakkan. Kalangan cadaris banyak menggunakan tubuh perempuan untuk melanggengkan simbol-simbol yang mereka punya. Tetapi ini juga agar tidak terjebak pada sebuah kesimpulan bahwa mereka [mahasisiwi UIN bercadar] adalah bagian dari kelompok radikal,” katanya.

Pada pendekatan yang sama pula, menurutnya aturan pembinaan mahasiswi bercadar di UIN dirasa berat sebelah.

“Lalu timbul pertanyaan, kalau perempuan didata, bagaimana dengan laki-laki? Mendatanya pakai apa? Pakai jenggot atau celana pendek? Menurut saya ‘ndak adil juga itu,” katanya.

Tetapi dia berharap mahasisiwi bercadar memandang hal itu sebagai bentuk positif. Tidak menutup kemungkinan pembinaan akan dilakukan juga terhadap mahasiwa laki-laki.

“Bisa juga dari situ terurai relasinya [dengan laki-laki], kalau terbukti. Kalau tidak terbukti kan tidak terurai juga. Mungkin kita lebih positif saja, karena lebih ke pengaturan. Toh tidak ada ruginya kalau mereka punya ilmu banyak dan punya teman ngobrol,” imbuhnya.

Laki-laki Dilihat dari Gerakan

Sementara rektor Universitas Ahmad Dahlan Kasiyarno menjelaskan tujuan kebijakan terhadap mahasiswi bercadar ditempuh untuk kebutuhan administratif sekaligus upaya pembinaan.

“Lebih ke administratif, misalnya pemeriksaan lepas cadar ketika ujian di ruang tertutup dan oleh petugas perempuan untuk menghindari kecurangan. Juga larangan bercadar ketika magang mengajar karena akan mengganggu artikulasi suara pada proses belajar mengajar di kelas,” katanya pada konferensi pers Jumat, 9 Maret.

Sedangkan fungsi pembinaan dilakukan terkait tugas dan kewajiban UAD sebagai institusi yang memberikan pendidikan terhadap mahasiswanya.

“Jika ada pemahaman yang tidak sesuai dengan keyakinan Muhammadiyah tentang Islam, ya kita wajib memberikan masukan, agar antara mahasiswa dan dosen sama pemahaman ideologinya. Soal membuka cadar itu terserah mereka, bukan kita yang menganjurkan,” katanya.

Pembinaan itu tidak terbatas dilakukan pada mahasiswi bercadar dan perempuan. Mahasiswa laki-laki pun akan dibina jika terindikasi terlibat dalam gerakan yang tidak sesuai dengan keislaman Muhammadiyah.

“Laki-laki yang kelihatan gerakannya berbau radikal tentu akan terantisipasi para dekan dan dosen yang mengajar Al Islam,” katanya.

Meskipun langkah awal untuk menentukan siapa yang dibina tidak dilakukan berdasarkan penampilan tertentu, layaknya pada mahasiswi perempuan.

“Biasanya dilihat dari sisi gerakan, kumpulan mereka. Di UAD ini kan kita bangun sistem nonakademik, di masjid misalnya, sudah diatur sedemikian rupa. Jika ada di antara mahasiswa, mungkin di luar,” imbuhnya.

Share: Curhat Mahasiswi UIN Kalijaga dan UAD Yogyakarta yang Dilarang Bercadar