Budaya Pop

Lomba 17-an, Ironi dalam Merayakan Kemerdekaan

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

“Merdeka!”, merupakan kata yang selalu digaungkan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia ketika merayakan pesta kemerdekaan Indonesia. Selain kata tersebut yang terkadang maknanya justru berbelok seiring terlalu seringnya digunakan dalam kampanye politik, hal lain yang juga berkaitan dengan kemerdekaan adalah lomba-lomba yang biasa dikenal dengan istilah “lomba 17-an”. Hadiahnya pun unik-unik, mulai dari sepeda hingga televisi. Namun ternyata, terdapat makna filosofis yang cukup dalam di balik beberapa perlombaan yang dimainkan. Balap karung, makan kerupuk sampai panjat pinang, ternyata memilik makna filosofisnya tersendiri. Apa saja filosofi dibalik perlombaan-perlombaan tersebut? Ini dia jawabannya:

1. Balap Karung

Lomba pertama yang seringkali dikaitkan dengan makna filosofis yang cukup dalam adalah balap karung. Karung goni yang digunakan dalam balap karung dianggap melambangkan kesulitan warga Indonesia mendapatkan pakaian di zaman pendudukan Jepang. Sehingga akhirnya, warga Indonesia pun harus menggunakan karung goni sebagai gantinya.

2. Lomba Makan Kerupuk

Perlombaan kedua yang mengandung makna filosofis lainnya adalah lomba makan kerupuk. Serupa dengan lomba balap karung, lomba ini ‘terinspirasi’ dari masa Indonesia masih dalam keterpurukan ekonomi. Namun berbeda dengan lomba balap karung, lomba makan kerupuk mengambil makna filosofis dari kondisi ekonomi Indonesia yang masih buruk ketika baru merdeka. Lomba makan kerupuk berangkat dari keadaaan warga Indonesia yang kala itu ‘hanya’ bisa memakan kerupuk sebagai lauk, karena tidak ada akses untuk lauk pauk yang lebih sehat seperti ayam dan daging.

3. Lomba Panjat Pinang

Panjat pinang dapat dikatakan sebagai lomba yang paling kontroversial di antara permainan lain. Sejarahnya, panjat pinang diadakan oleh warga Belanda yang tinggal di Indonesia ketika mereka sedang mengadakan hajatan. Mereka akan mengundang warga Indonesia untuk bermain panjat pinang dengan hadiah yang diletakkan di atas pohon dan rintangan berupa oli yang dilumeri di batang pohon pinang. Warga Indonesia yang bermain pun akan menjadi bahan tertawaan tamu-tamu Belanda yang datang ke acara tersebut.

Permainan yang Populer di era Orde Lama

Ketika Indonesia merdeka dan terbebas dari tekanan Belanda pada masa 1950-an, permainan-permainan ini pun mulai dipopulerkan. Masyarakat Indonesia yang pada kala itu berusaha untuk kembali mengingat-ngingat sulitnya masa penjajahan menciptakan permainan-permainan tersebut. Berangkat dari inisiatif masyarakat di kampung-kampung Jakarta, permainan ini pun tersebar sampai ke seluruh Indonesia. Sehingga kini, perlombaan 17-an ini pun menjadi hal yang identik dengan perayaan kemerdekaan.

Bersatu Karena Masa Lalu, Bercerai Ketika Ingin Maju

Jika kita ingin melihat perlombaan-perlombaan ini sebagai peninggalan dari masa lalu yang identik dengan kebudayaan Indonesia, tentu perlombaan ini menjadi suatu hal yang perlu dilestarikan. Namun sayangnya, mari kita tarik jauh konteks perlombaan-perlombaan ini dari budaya Indonesia dan sedikit melihat secara lebih umum. Maka kita akan mendapatkan fakta bahwa warga Indonesia lebih suka meromantisasi sesuatu di masa lalu, baik itu masa penjajahan atau rezim tertentu.

Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya perlu klarifikasi bahwa saya tidak sama sekali bertentangan dengan adanya perlombaan ini karena ini bagian dari kebudayaan dan sebuah peninggalan sejarah. Kebudayaan dan sejarah merupakan sesuatu yang penting untuk dilestarikan. Tetapi saya ingin mencoba untuk mengajak berpikir dengan akal sehat untuk memikirkan kembali makna yang tersirat dari perlombaan-perlombaan ini.

Lomba makan kerupuk, balap karung, dan panjat pinang memiliki satu kesamaan: meromantisasi masa sulit Indonesia dan menjadikannya bagian dari peninggalan sejarah. “Oh, Indonesia pernah mengalami masa sulit! Maka kita harus mengingatnya dengan perlombaan,” katanya. Tetapi, apakah penting?

Jika kita balik logikanya, perjuangan yang dilakukan untuk merdeka tidak berangkat dari sekadar “agar kita di masa depan bisa diingat dengan perlombaan”. Jauh lebih daripada itu, harapan para pejuang kemerdekaan tentu adalah melihat Indonesia sejahtera. Tapi orang Indonesia lebih memilih untuk meromantisasi masa lalu dan tidak memperjuangkan hal yang esensial: bersatu dan membuat Indonesia lebih maju dan sejahtera.

Di sini ironisnya. Masyarakat Indonesia lebih ingin bersatu karena romantisasi masa lalu. Ketika mengadakan perlombaan 17-an, semua orang akan berpartisipasi tanpa melihat latar belakang dari masing-masing warga. Orang Indonesia akan tertawa dan bermain bersama, meskipun warna kulit, agama, dan rasnya berbeda. Tetapi ketika memperjuangkan yang lebih penting dan esensial seperti kesetaraan, rasa toleransi, dan kemajuan ekonomi, semua orang merasa dirinya paling benar sendiri dan tidak berusaha untuk duduk bersama dan mendengar satu sama lain. Setiap orang yakin pilihan presidennya, ideologinya, dan partainya lah yang paling benar. Kebal dan bebal.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengucapkan selamat hari raya kemerdekaan untuk Indonesia yang ke-73. Selamat memainkan perlombaan 17-an, saya pun mungkin akan turut serta menonton perlombaan yang diadakan di sekitar tempat tinggal. Satu hal yang penting, jangan lupakan bahwa bangsa ini tidak akan maju dengan hanya sekadar meromantisasi masa lalu. Lebih daripada itu, Indonesia butuh rakyatnya untuk terus membangun negara ini secara bersama-sama.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Share: Lomba 17-an, Ironi dalam Merayakan Kemerdekaan