Isu Terkini

Larangan Foto dan Video di Pesawat Perlu Dikaji Kembali

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Garuda Indonesia baru saja mengeluarkan kebijakan yang mengimbau para penumpang tidak mengambil foto dan video di dalam pesawat. Aturan ini dikeluarkan dalam bentuk surat pengumuman resmi Garuda Indonesia pada hari Selasa (16/7) dengan nomor JKTDO/PE60001/2019, ditandatangani oleh Direktur Operasi Garuda Indonesia Capt Bambang Adisurya Angkasa.

Surat pengumuman menjelaskan bahwa larangan ini dikeluarkan demi menjaga privasi sesama penumpang dan awak kabin. Tak lupa, Garuda Indonesia menyertakan bahwa aturan ini sudah selaras dengan beberapa undang-undang di Indonesia.

Banyak pihak mengaitkan imbauan ini dengan pelaporan terhadap YouTuber Rius Vernandes dan Elwiyana Monica. Mereka dipolisikan dengan tuduhan pencemaran nama baik setelah menyebarkan foto menu Garuda Indonesia yang hanya ditulis di secarik kertas.

Kejadian ini seolah menjadi dinamika terbaru dari beberapa permasalahan yang dihadapi Garuda Indonesia beberapa waktu ke belakang. Rizal Ramli mengatakan bahwa setidaknya ada empat permasalahan Garuda yang terjadi belakangan ini. Pertama dan utama, Rizal Ramli merasa adanya pengangkatan direksi yang tidak berlandaskan kompetensi.

“Masalah utama Garuda, pengangkatan direksi tak berlandaskan kompetensi. Jumlah direksi terlalu banyak. Delapan orang hanya untuk akomodasi politik. Bukan untuk optimalisasi organisasi,” tutur Rizal di kawasan Tebet, Jakarta, Senin (25/6).

Permasalahan kedua yang juga dihadapi Garuda adalah pihak manajemen yang tidak berani mengambil keputusan terkait pembatalan atau reschedule pembelian pesawat. Ketiga, Rizal menyoroti manajemen rute yang dianggapnya kurang tepat. Hal ini mengakibatkan pemotongan biaya yang justru salah sasaran.

“Ini bahaya. Kalau yang dipotong anggaran training Garuda, ini penting sekali untuk bisnis penerbangan karena menyangkut safety. Kalau yang ini dipotong bahaya buat reputasi Garuda,” tuturnya.

Terakhir, Rizal menduga bahwa ada yang salah dalam pembelian logistik keperluan Garuda. Hal ini membuat Garuda harus membayar lebih mahal.

Pengamat Penerbangan: Kebijakan Garuda Perlu Ditinjau Kembali

Asumsi.co berbicara langsung dengan Alvin Lie, seorang pengamat penerbangan, pada Selasa (16/7). Menurutnya, keputusan Garuda berlebihan. Toh selama ini, gambar-gambar dari konsumen tentang pelayanan Garuda Indonesia justru dapat dipakai untuk mempromosikan maskapai.

Ia pun berkaca pada pengalamannya sendiri. “Selama dalam penerbangan, saya punya kebiasaan memotret makanan yg disajikan, kondisi toilet dan hal-hal lain yg diluar kelaziman, baik maupun buruk. Hal-hal yg baik saya gunakan untuk sampaikan pujian. Hal yg kurang semestinya, atau bahkan buruk, saya gunakan untuk kritik demi perbaikan,” ucapnya. “Sebaiknya manajemen Garuda meninjau kembali peraturan tersebut.”

Sesama Penumpang Harus Jaga Privasi

Perihal pengambilan gambar penumpang lain, Alvin meyakini bahwa hal tersebut sudah terpahami sebagai etiket yang harus dimiliki penumpang maskapai penerbangan.

“Kalau kita akan memotret yg terlihat wajah orang lain, seharusnya seijin yang bersangkutan. Apalagi jika untuk diunggah di media sosial atau dipublikasikan,” kata Alvin.

Alvin berharap, ke depannya Indonesia segera menerapkan Undang-Undang Perlindungan Hak Privasi dan Data Pribadi. Jika aturan ini berlaku, ia dapat dijadikan rujukan yang lebih kuat, tidak hanya oleh Garuda Indonesia, tetapi semua maskapai penerbangan di Indonesia.

Ekspansi Pesawat Besar-Besaran Tidak Diimbangi dengan Pemasaran yang Mumpuni

Pengamat pesawat Andre Rahadian mengutarakan bahwa penurunan kualitas layanan, seperti yang dialami oleh dua YouTuber asal Indonesia tersebut berangkat dari kebijakan Garuda Indonesia yang sedang berusaha memotong biaya operasionalnya. Ke depannya, ia juga memprediksi bahwa akan ada jarak antara ekspektasi publik tentang Garuda sebagai maskapai full-service dan kenyataan yang diterima konsumennya.

“Karena cost-cutting memang ada penurunan kualitas dari service, yang sebenarnya diharapkan orang atas full-service airline, jadi ada ekspektasi publik juga yang tetap tinggi karena pengalaman sebelumnya atau statement Garuda di awal pada saat bintang lima dan masuk sepuluh best airline dunia yang sekarang udah nggak lagi gitu,” ujar Andre ketika dihubungi Asumsi.co, Rabu (17/7).

Pemotongan biaya ini ditengarai sebagai usaha Garuda menutupi kerugian-kerugian pasca ekspansi layanan besar-besaran. Garuda, yang beberapa waktu lalu mengikuti tren maskapai penerbangan untuk melakukan ekspansi jumlah armada, tidak mampu mengisi kursi-kursi pesawat sesuai yang diharapkan.

“Itu kan lebih ke marketing ability, karena kita liat kalau misalnya penutupan rute London karena penumpang kurang, kita lihat Singapore SQ itu punya rute ke London sehari tiga kali ya, Emirates datang ke Indonesia sehari tiga, empat kali, untuk bawa penumpang ke Eropa,” ujar Andre.

Menurut Andre, Garuda ke depannya harus mampu memiliki jajaran direksi yang memang paham betul soal bisnis maskapai penerbangan. Hal ini penting demi keberlangsungan maskapai penerbangan itu sendiri.

“Tapi bahwa banyak yang bukan dari airlines, iya mungkin, karena bisnis ini kan unique ya, terutama kalau misalnya direktur pelayanan, direktur niaga, itu harus orang airlines, karena kalau nggak, nggak ngerti bisnis airline yang sangat tipis margin-nya. Kalau direktur keuangan, direktur utama itu bebas lah dari mana aja, tapi ada beberapa jabatan direksi yang memang harusnya orang airline,” ucapnya.

Share: Larangan Foto dan Video di Pesawat Perlu Dikaji Kembali