Isu Terkini

Laporan Amnesty: Tenaga Kesehatan Global Tertular COVID-19, Dibungkam, dan Diserang

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

“Para otoritas memaksa dokter untuk memilih antara mati atau masuk penjara,” kata seorang dokter di Mesir.

Mari hentikan romantisasi terhadap tenaga kesehatan. Bukan untuk mengecilkan kontribusi mereka, melainkan agar kita menyadari bahwa mereka adalah pekerja-pekerja yang nasibnya berada di ujung tanduk. Mula-mula, jelas, mereka berisiko jauh lebih besar terpapar COVID-19 dibandingkan orang lain. Laporan Amnesty International berjudul “Exposed, Silenced, Attacked: Failures to Protect Health and Essential Workers During The COVID-19 Pandemic” menemukan bahwa setidaknya 3.000 tenaga kesehatan meninggal dunia akibat COVID-19 di seluruh dunia.

Hingga saat ini, tak ada pelacakan sistematik yang dapat menentukan secara pasti jumlah tenaga kesehatan dan pekerja esensial yang tertular COVID-19 dan meninggal di seluruh dunia, tetapi ada sejumlah estimasi yang dapat memberikan gambaran. International Council of Nurses, contohnya, menemukan lebih dari 230 ribu tenaga kesehatan di seluruh dunia terkena virus, dan lebih dari 600 perawat meninggal.

Angka 3.000 yang didapatkan Amnesty International diambil dari data 79 negara di dunia, tetapi angka ini diperkirakan hanya puncak gunung es dari jumlah sebenarnya. Sebab, data dari setiap negara punya cara perhitungan yang berbeda dan kerap tidak mewakili seluruh populasi negara. Negara-negara dengan jumlah kematian tenaga kesehatan tertinggi adalah Rusia sebanyak 545 tenaga kesehatan, Inggris sebanyak 540, Amerika Serikat sebanyak 507, Brasil sebanyak 351, Meksiko sebanyak 248, Italia sebanyak 188, Mesir sebanyak 111, dan Iran sebanyak 91.

Hasil temuan dari sejumlah negara menunjukkan bahwa kematian tenaga kesehatan menyasar kelompok-kelompok minoritas secara tidak proporsional, termasuk di antaranya tenaga kesehatan kulit hitam, Asia, dan etnis minoritas di UK, pekerja sanitasi dari komunitas dalit di India, dan komunitas berbahasa Somali di Finlandia.

“Di tengah wabah COVID-19 yang kasusnya masih terus meningkat di seluruh dunia, kami mendesak pemerintah negara-negara untuk mulai lebih serius memperhatikan kesehatan dan perlindungan para tenaga kesehatan. Negara-negara yang tingkat penyebaran wabahnya belum signifikan jangan sampai melakukan kesalahan-kesalahan serupa,” ujar Peneliti dan Penasihat tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Amnesty International Sanhita Ambast.

APD Tak Memadai dan Upah Tak Layak

Di Indonesia, Amnesty mencatat setidaknya 89 tenaga kesehatan telah meninggal karena terinfeksi COVID-19, termasuk di antaranya adalah dokter, dokter gigi, dan perawat. Setidaknya terdapat 878 dokter dan perawat di seluruh penjuru Indonesia yang telah terpapar COVID-19, dan jumlah ini diperkirakan telah meningkat lebih banyak. Penyebab utamanya, para tenaga kesehatan ini kerap tak dilengkapi APD memadai dan mesti melayani pasien melebihi kapasitas mereka.

Tak hanya di Indonesia, di hampir seluruh 63 negara yang disurvei, para tenaga kesehatan melaporkan bahwa kebutuhan mereka akan APD tidak terpenuhi, termasuk di negara-negara dengan jumlah kasus COVID-19 yang tinggi, seperti India, Brazil, dan beberapa negara di Afrika. Mereka harus melakukan improvisasi demi melindungi diri, seperti hanya mengenakan jas hujan, kantong plastik sampah, atau sarung tangan seadanya, yang tetap berisiko membahayakan kesehatan dan keselamatan mereka. Bahkan, tak sedikit yang mesti membeli sendiri kebutuhan APD mereka.

Selain kurangnya pasokan APD, aturan pembatasan perdagangan juga memperparah kondisi ini. Sejak Juni 2020, 56 negara dan dua blok dagang (Uni Eropa dan Uni Ekonomi Eurasia) telah memberlakukkan pelarangan dan pembatasan ekspor APD beserta komponen-komponennya. “Di saat negara harus memastikan kecukupan APD untuk para tenaga kesehatan mereka, pembatasan pergadangan berisiko semakin memperburuk kurangnya APD di negara-negara yang bergantung pada impor. Padahal, pandemi COVID-19 adalah masalah global yang membutuhkan kerja sama global,” tutur Sanhita Ambast.

Selain APD, persoalan lain yang menimpa tenaga kesehatan termasuk upah yang tak layak, beban kerja yang bertambah signifikan, hingga konsekuensi terhadap kesehatan mental akibat tekanan kerja. Di Sudan Selatan, dokter yang terdaftar sebagai penerima upah dari pemerintah belum menerima hak mereka sejak Februari lalu. Di Guatemala, setidaknya terdapat 46 staf di fasilitas kesehatan yang tidak dibayar selama dua setengah bulan selama bekerja di rumah sakit rujukan COVID-19.

Hak Kebebasan Berekspresi Direpresi

Ketika tenaga kesehatan menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami ini, mereka justru dipecat dan ditangkap. Amnesty mengumpulkan laporan dari 31 negara di dunia yang tenaga kesehatannya melakukan aksi mogok kerja, ancaman mogok kerja, dan protes atas kondisi mereka. Sejumlah negara di antaranya justru melarang tenaga kesehatan mereka untuk bersuara dan berakhir direpresi jika tetap melakukannya.

Di Indonesia, misalnya, 109 tenaga kesehatan di RSUD Ogan Ilir, Sumatera Selatan, dipecat pada Mei lalu karena melakukan mogok kerja dan mempertanyakan transparansi insentif yang didapatkan saat menangani pasien COVID-19. Mereka hanya diupah Rp750.000 per bulan dan tak dilengkapi dengan alat pelindung diri yang memadai. Di Rusia, polisi menuduh endokrinologi Yulia Volkova telah menyebarkan hoaks terkait COVID-19 setelah ia mempublikasikan video di Twitter yang meminta agar para dokter mendapatkan APD.

Begitu pula di Malaysia di mana polisi membubarkan aksi damai tenaga kesehatan dan aktivis yang komplain tentang ketidakadilan yang mereka alami hingga kurangnya APD bagi tenaga kebersihan di rumah sakit. Polisi menangkap dan menahan lima aktivis yang ikut aksi tersebut dan mengklaim mereka telah “berkumpul tanpa izin”. Sementara itu, di Mesir, polisi menangkap dan menahan 9 tenaga kesehatan karena mengekspresikan persoalan terkait kesehatan dan mengkritik penanganan pandemi oleh pemerintah.

“Sangat tidak bisa diterima saat mengetahui bahwa justru pemerintah menghukum para tenaga kesehatan yang menyuarakan kekhawatiran mereka tentang kondisi pekerjaan yang memang mengancam nyawanya. Para tenaga kesehatan bekerja di garda terdepan. Merekalah yang pertama kali mengetahui apakah suatu kebijakan yang dibuat pemerintah dapat berfungsi dengan baik atau tidak,” ungkap Sanhita.

Persoalan tenaga kesehatan tak hanya sampai di situ. Mereka juga kerap menerima perlakuan diskriminatif dari masyarakat karena stigma negatif yang telah melekat. Sejumlah tenaga kesehatan diusir dari tempat tinggal mereka oleh warga setempat, jenazah tenaga kesehatan menerima penolakan saat akan dimakamkan, ada pula perawat yang disiram dengan klorin hingga cairan pemutih di sejumlah negara.

Untuk itu, Amnesty International memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah negara untuk memenuhi dan melindungi hak tenaga kesehatan yang mencakup hak kesehatan, kebebasan berekspresi, dan upah serta kompensasi yang layak. Negara juga diminta untuk menyelidiki kasus-kasus tenaga kesehatan dikriminalisasi karena menyuarakan masalah keselamatan, menyediakan skema pemulihan bagi mereka yang telah diperlakukan secara tak adil, dan mempekerjakan kembali mereka yang dipecat karena mengekspresikan keprihatinan mereka.

“Kami mendesak semua negara yang terkena dampak COVID-19 untuk melakukan tinjauan publik yang transparan dan independen terkait kesiapan dan strategi mereka dalam menghadapi pandemi ini. Segala strategi yang dilakukan harus tetap melindungi dan menjunjung hak asasi manusia,” kata Sanhita.

Share: Laporan Amnesty: Tenaga Kesehatan Global Tertular COVID-19, Dibungkam, dan Diserang