Isu Terkini

Kuota Internet Mahal Jadi Kendala Kuliah Daring saat Pandemi, Apa Solusi Pemerintah?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Mahalnya biaya kuota internet menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi tuntutan peringanan biaya kuliah pascasarjana di Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI) di tengah pandemi COVID-19.

Nyaris selama tiga bulan terakhir selama pandemi, para mahasiswa di Indonesia selama dipaksa harus belajar dari rumah dengan kondisi tarif internet yang masih mahal. Beban pun bertambah ketika pandemi juga menghantam sektor ekonomi, sehingga pendapatan dan pengeluaran justru berantakan tak karuan.

Biaya perkuliahan di kampus UGM pun tetap normal dan belum ada pemotongan, meski sudah ada audiensi antara Aliansi Mahasiswa Pascasarjana (Asmara) dengan pihak rektorat. Normalnya biaya kuliah itu tentu saja menyulitkan para mahasiswa di tengah kondisi pandemi, apalagi perkuliahan tidak berjalan normal.

Pada Jumat (15/5) lalu, Asmara UGM melakukan survei terhadap 1.969 mahasiswa pascasarjana UGM yang tersebar di 82 jurusan. Salah satu tujuan survei adalah memetakan sumber pendanaan mahasiswa pascasarjana yang hasilnya mematahkan kepercayaan umum bahwa mahasiswa pascasarjana berasal dari kalangan mampu.

“Yang membiayai perkuliahannya itu bukan dari beasiswa tempat kerjanya, melainkan dari freelance, dari kerja-kerja penelitian, kerja-kerja lepas seperti itu, yang artinya belum memiliki pekerjaan mapan dan bisa stabil ketika krisis ekonomi ini. Ada sebagian yang melanjutkan S2 karena merasa butuh upgrade keilmuan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak,” kata perwakilan Asmara UGM, Ramaditya, kepada Asumsi.co, Rabu (24/6).

Baca Juga: Sudah Audiensi ke Rektorat UGM, Biaya Kuliah Belum Dipotong

Apalagi, selama pandemi, skema belajar dari rumah dinilai membuat kampus dapat menghemat banyak biaya operasional. Pemakaian fasilitas umum seperti gedung, lampu, listrik, AC, internet, hingga air berkurang drastis dan semestinya membuat biaya operasional pun berkurang. Terlepas dari itu, UGM tetap memberlakukan biaya kuliah atau UKT secara normal.

“Bila sedari awal kampus melaksanakan proses KBM [Kegiatan Belajar Mengajar] secara daring, seharusnya mahasiswa dibebaskan dari UKT. Apalagi banyak dari mahasiswa yang kehilangan sumber pendapatan untuk membayar UKT, entah itu dari orang tua, dirinya, atau bahkan pihak beasiswa,” ujarnya.

Berapa Biaya Kuota Internet Mahasiswa Setiap Bulan?

Saat dihubungi Asumsi.co, Jumat (10/7), Ramaditya mengatakan bahwa kalau mau dirata-rata, setiap bulan masing-masing mahasiswa pascasarjana di sana menghabiskan setidaknya total 25 GB untuk kebutuhan kuliah daring saja. Ia pun menjelaskan dalam satu jam itu, kuliah daring bisa memakan kuota sampai 1 GB, namun besarannya tetap tergantung platform yang digunakan.

“Berdasarkan pengalaman kuliah daring kemarin, durasi kuliah rerata satu jam, biasanya bisa sampai dua jam kalau tatap muka. Kemudian, setiap mahasiswa bisa mengambil enam hingga delapan matakuliah pada tiap semester, sebutlah enam matakuliah semua,” kata Ramaditya.

Lalu, Ramaditya membeberkan dalam satu semester, setiap matakuliah itu menghabiskan 14 kali pertemuan, dikurangi lima pertemuan tatap muka karena sebelum pandemi COVID-19. Sehingga, pada semester genap kemarin itu, mahasiswa pascasarjana menghabiskan sembilan pertemuan secara daring.

Jadi, kalkulasinya begini:
1 GB x 6 mata kuliah = 6 GB
6 GB x 9 pertemuan daring = 54 GB

“Kira-kira segini kuota internet yang dihabiskan mahasiswa pascasarjana UGM. Jadi, sembilan pertemuan itu menghabiskan waktu 2,5 bulan. Jadi kalau sebulan, setiap mahasiswa harus menyiapkan 25 GB,” ucap Ramaditya.

Harga dan besaran kuota internet dari masing-masing provider pun berbeda dan banyak ragamnya. Berdasarkan harga per hari ini, kuota internet XL 30 GB berada pada harga Rp 120.000, sementara kuota internet 25 GB untuk Indosat seharga Rp 100.000, lalu kuota internet 27 GB dari Telkomsel dengan harga Rp. 152.000.

Sama halnya dengan Asmara UGM, Aliansi Mahasiswa Pascasarjana UI pun menuntut pihak Rektorat UI dan Kemendikbud untuk mengurangi BOP selama PJJ (pembelajaran jarak jauh) secara menyeluruh dan tanpa syarat. Nah, salah satu faktor yang melatarbelakangi tuntutan tersebut adalah peningkatan biaya perkuliahan yang ditanggung oleh mahasiswa secara mandiri, seperti penggunaan internet dan beban biaya listrik yang meningkat untuk menunjang kelas virtual.

Perwakilan Aliansi Mahasiswa Pascasarjana UI, Petrus Putut Pradhopo Wening mengatakan mengenai biaya yang dipakai untuk PJJ selama pandemi, pihaknya sempat melakukan penelitian kualitatif, wawancara ke beberapa mahasiswa. Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata untuk PJJ itu menghabiskan pulsa dalam sebulan sekitar Rp. 200.000 sampai Rp. 600.000, rata-rata berada di angka Rp. 200.000 hingga Rp. 400.000.

“Lalu juga ada kasus di mana mahasiswa harus menaikan kualitas wi-fi. Terkait menaikan kualitas wi-fi ini, yang bersangkutan menggunakan Indihome yang tadinya bayarannya Rp. 480.000, karena PJJ di-upgrade ke yang bayaranya Rp. 550.000 per bulan,” kata Petrus kepada Asumsi.co, Jumat (10/7)

Program Kemendikbud Atasi Masalah Akses Internet

Ternyata Kemendikbud memiliki program bantuan dana kepada perguruan tinggi selama menjalankan metode kuliah daring atau daring. Kemendikbud meminta dana itu juga digunakan perguruan tinggi untuk memberikan biaya pulsa kepada mahasiswa yang berkuliah daring.

Dari survei yang dilakukan Kemendikbud, biaya yang dikeluarkan mahasiswa itu berkisar dari Rp 10.000 sampai paling besar Rp 400.000. Angka itu didapat dari data 200.000 mahasiswa lebih.

“Dalam program kita untuk membantu biaya kuliah bagi mahasiswa, kami sudah berpesan di dalam pemanfaatan dana tersebut, kami minta ke perguruan tinggi yang menerima bantuan dana tersebut sebagian dikembalikan ke mahasiswa dalam bentuk pulsa,” kata Plt Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud, Nizam, dalam rapat dengan Komisi X DPR RI, Kamis (9/7).

Baca Juga: Mahasiswa S2 UI Tuntut Pengurangan Biaya Kuliah saat Pandemi COVID-19

Meski begitu, Nizam sendiri tak menyebutkan nominal bantuan yang diberikan Kemendikbud kepada perguruan tinggi yang menerima bantuan. Menurut Nizam, pihaknya juga berkoordinasi dengan penyedia layanan internet agar biaya internet untuk kuliah daring bisa ditekan.

“Jadi kami juga koordinasi dengan teman-teman internet provider agar biayanya bisa ditekan dengan cara semacam langganan di tingkat universitas, jadi itu bisa mendapatkan diskon yang cukup besar,” ucapnya.

Selain itu, Nizam menyebut Kemendikbud juga berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk infrastruktur jaringan internet, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) Indonesia. “Penguatan infrastruktur, kami berkoordinasi dengan Kominfo serta internet provider untuk menjangkau titik-titik blankspot, di daerah 3T terutama, dan meningkatkan stabilitas koneksi,” ujarnya.

Kemendikbud juga menggelar survei soal evaluasi pembelajaran daring atau belajar jarak jauh untuk mahasiswa. Hasilnya, sebesar 90 persen mahasiswa menyatakan lebih menyukai kuliah langsung dibandingkan kuliah daring.

“Meskipun tadi kita lihat ketercapaian pembelajaran cukup baik, tapi ketika kita tanya apakah memilih daring atau lebih memilih luring (luar jaringan), 90 persen mengatakan masih lebih baik luring. Jadi pertemuan langsung dengan dosen lebih bagus dibandingkan dengan melalui daring,” kata Nizam.

Survei Kemendikbud terkait pembelajaran daring dilakukan terhadap 230 ribu mahasiswa yang tersebar di 32 provinsi pada akhir Maret 2020. Adapun responden berasal dari mahasiswa dari tahun masuk kuliah 2015 hingga 2019. Namun, tak dijelaskan lebih lanjut soal metode survei maupun pemilihan responden.

“Yang mengatakan lebih suka daring adalah mereka yang memang sudah siap secara teknologi dan sarana-prasarananya,” ujarnya. Nizam mengatakan bahwa mahasiswa mengeluhkan soal koneksi internet selama kuliah daring.

Namun, dari survei tersebut, Nizam menyebut meski kuliah daring, materi pembelajaran bisa tersampaikan dengan baik, baik dari sisi materi pembelajarannya maupun alat pembelajarannya. “Faktor yang mendukung keberhasilan adalah selain kesiapan dosen adalah kesiapan mahasiswa. Yang menjadi masalah adalah koneksi internet yang buruk dan kekurangsiapan dosen di dalam menyiapkan modulnya.”

Lebih lanjut, Nizam mengatakan pihaknya akan terus melakukan perbaikan kuliah daring. Ia menyebut hal-hal yang masih harus ditingkatkan adalah mutu belajar hingga penggunaan teknologi yang efisien.

“Teknologi daring ini kita yakini masih banyak yang dapat dan harus kita tingkatkan. Karena ini bisa memperluas jangkauan dan meningkatkan mutu pendidikan karena mahasiswa bisa mengambil mata kuliah lintas perguruan tinggi. Aspek-aspek seperti bahan ajar, metode perkuliahan, dan kerja sama antara perguruan tinggi perlu kita dorong dan tingkatkan,” ujarnya.

Share: Kuota Internet Mahal Jadi Kendala Kuliah Daring saat Pandemi, Apa Solusi Pemerintah?