Isu Terkini

Kritik Penonton Liga Inggris untuk Mola TV

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Penonton Liga Inggris di Indonesia tengah berada dalam pilihan sulit. Musim terbaru sudah dimulai, tapi tidak ada solusi praktis untuk menonton pahlawan-pahlawan mereka berlaga. Hal ini disebabkan oleh skema yang merepotkan dari pemegang hak siar terbaru Liga Inggris di Indonesia, Mola TV. Pihak Mola TV mengharuskan pembayaran penuh sebesar Rp1 juta di awal, dan juga pembelian alat yang tidak mencakup layanan streaming di gawai pelanggan.

Mushoddiqullah, seorang pecinta Liga Inggris asal Ciputat, Tangerang Selatan, kaget saat tahu kalau biaya berlangganan Mola TV untuk siaran langsung Liga Inggris itu mencapai satu juta rupiah per bulan.

“Kelihatannya berat ya karena itu harus dibayar sejuta di awal. Kurang seru aja karena bayarnya nggak bisa dicicil kayak nexmedia waktu saya langganan itu. Lagipula cuma Liga Inggris yang disiarin, terlalu sedikit,” ucapnya.

Di tahun 2015, Odik berlangganan Nexmedia selama setahun demi bisa menyalurkan hobinya nonton bola, terutama klub kesayangannya, West Ham United. Odik harus merogoh kocek sebesar Rp99 ribu per bulan. Sebenarnya, harga langganan Mola TV yang berkisar Rp80 ribu per bulan jelas lebih murah. Namun, tidak adanya sistem pembayaran cicilan dinilai memberatkan pelanggan.

“Nexmedia terasa ringan soal bayaran untuk berlangganan. Apalagi kita bisa dapat akses untuk menyaksikan pertandingan-pertandingan dari liga lain juga seperti Liga Italia, Liga Jerman, sampai Liga Turki. Jadi nggak cuma Liga Inggris, saya juga bisa nonton Inter Milan dan Juventus bermain, Bayern Munchen dan Borussia Dortmund, hingga Besiktas setiap pekan,” kata Odik saat berbincang dengan Asumsi.co di Ciputat, Selasa (06/08).

Rusdan, penggemar Arsenal asal Bogor, yang mengaku lebih senang menyaksikan Liga Inggris lewat live streaming atau nobar bersama komunitas. Menurutnya di era yang sudah serba digital saat ini, segala informasi bisa didapat dan diakses dengan cepat, termasuk siaran-siaran pertandingan sepakbola. Dalam beberapa tahun terakhir, Rusdan yang memiliki sebuah kedai kopi ini merasa kesulitan mencari waktu untuk menyaksikan pertandingan sepakbola lewat televisi. Opsi yang paling sering ia pilih adalah mengakses siaran sepakbola lewat layanan gratis streaming, meski ia tahu bahwa itu ilegal.

“Kalau gue bayar satu juta rupiah untuk langganan Mola TV berat juga sih, nggak bisa dicicil juga misalnya bayar Rp100 ribu per bulan gitu. Apalagi kalo dihitung per pekan, itu artinya gue harus bayar Rp25 ribu, belum lagi misalnya tim gue Arsenal kalah, kan nyesek udah bayar mahal tapi tim kesayangan kalah, mending nobar big match deh sekalian, bisa bayar murah dan puas nontonnya meski kalah,” kata pria yang pernah kuliah di Boston, Amerika Serikat, itu.

Rusdan justru sepakat jika acara nobar komunitas harus dilakukan dengan seizin agau berdasarkan kesepakatan penyelenggara dengan pemegang hak siar resmi, dalam hal ini Mola TV. Menurutnya, itu adil bagi kedua belah pihak lantaran sama-sama mendapat pemasukan dari acara nobar itu. Namun, apabila ada keterlibatan pihak kepolisian, ia beda sikap.

“Kalau soal pihak kepolisian memantau atau razia acara-acara nobar bola yang tanpa izin pemilik hak siar itu, gue kurang setuju, sih. Ngapain juga perkara happy-happy dan fun kayak nonton bola ini harus diurus seserius itu sampai melibatkan polisi. Harusnya, kesepakatan antara penyelenggara nobar dengan pemegang hak siar sudah cukup. Si penyelenggara nobar bayar lisensi atau hak siarnya, terus penyelenggara juga narikin tiket nonton dari suporter kayak kita ini, ya nggak masalah sih kita bayar juga, toh selama ini juga selalu kayak gitu.”

Jurnalis Bolasport.com Firzie Idris ikut mengkritisi sulitnya mendapat informasi, dari mulai cara berlangganan Matrix TV, keterangan rinci paket, dan lain-lain di Mola TV.

“Karena Mola TV kan tersedia dalam bentuk parabola, apps, dan streaming device. Banyak juga yang mempertanyakan kenapa dibanding pendahulunya kita justru dapat produk yang  mungkin terlihat inferior dengan harga yang lebih tinggi, terutama untuk sekarang ya sebelum liga dimulai,” kata Firzie saat berbincang dengan Asumsi.co, Senin (05/08).

Membayar dua kali lipat untuk tayangan yang secara teknis yang lebih rendah tentu tak menggembirakan. “Dalam artian bahwa kalau kita ingin menonton semua pertandingan yang ada lengkap, 10 pertandingan, kita hanya bisa menyaksikannya lewat set up box yang terhubung ke tv,” ujarnya.

Mayoritas pengguna internet di Indonesia, lanjut Firzie, sudah menggunakan atau berbasis mobile dengan gadget dalam genggaman. Streaming device yang ada di Indonesia saat ini seharusnya sudah bisa untuk melihat pertandingan di mana pun, jadi dalam artian melalui aplikasi fans sudah bisa menyaksikan pertandingan yang diinginkan. Sementara, jika hendak menonton pertandingan lewat mobile device, di Mola TV, ada urusan paket yang lain lagi.

“Kita bayar paket berlangganan senilai satu juta itu nggak bisa untuk menonton pertandingan-pertandingan lewat gadget atau smartphone kita karena mereka punya apps-nya sendiri. Nah apps-nya ini sendiri paketnya beda dengan yang kita beli dengan harga full di awal,” kata Firzie.

Kekurangan lainnya, di Mola TV tak ada tayangan liga-liga lain seperti Liga Spanyol atau Liga Italia. Padahal, tak sedikit penggemar Liga Inggris di Indonesia yang meminati liga-liga lain di Eropa.

Firzie juga menyoroti perihal rumitnya untuk menggelar nonton bareng alias nobar pertandingan sepakbola saat ini. Keluhan itu salah satunya datang dari seorang pemilik kafe di Jawa Tengah yang pernah menghubunginya. “Katanya harga untuk menggelar nobar dari Mola TV terbilang tinggi, yakni sekitar 10 juta rupiah per tahun untuk kafe dengan kapasitas di bawah 50 orang. Hal ini justru membuat banyak teman-teman komunitas sedikit ragu, yang biasanya menggelar gathering nasional sekaligus nonton bareng,” kata eks jurnalis Tabloid Bola ini.

Terkait adanya potensi hukuman bagi yang menonton siaran langsung sepakbola melalui streaming ilegal, Firzie melihat bahwa hal itu justru unik. Apalagi saat Mola TV menggelar tiga kali peluncuran untuk memperkenalkan produknya, di mana salah satu acaranya mereka mengajak dua orang Kombes dari Kabareskrim, bukan perwakilan penggemar sepak bola. Hal itu berbeda dengan beberapa tv lain yang sebelumnya juga pernah menggelar acara serupa sebagai pemegang hak siar Liga Inggris dan melibatkan para fans.

“Cerita masalah streaming ilegal itu sebenarnya sama seperti dunia penjualan jersey sepakbola. Bahwa sebenarnya kesadaran untuk membeli yang original, mendukung klub yang kita sukai, mendukung liga yang kita cintai, itu ada. Tapi mungkin belum cukup banyak.”

Seharusnya, lanjut Firzie, pemegang hak siar lebih menggandeng fans, mengedukasi mereka, memberi tahu bahwa streaming ilegal itu berbahaya, bisa saja data si pengguna diambil dan disalahgunakan, dan merugikan industri. Menurunya, edukasi yang seperti itu penting dilakukan para pemegang hak siar, bukan langsung mendatangkan polisi seperti kemarin sehingga berpotensi menjauhkan para penggemar.

“Orang kita tuh sebenarnya suka ‘ketengan.’ Bahasa marketing Mola juga kurang gereget dengan menyebut biaya berlangganan mereka itu satu juta dan dibayar di awal. Padahal kalau strategi pemasarannya sedikit diubah, misalnya berlangganan Mola TV hanya bayar Rp100 ribu per bulan dan bisa dicicil, kan bisa lebih menarik para fans untuk berlangganan karena terkesan tidak berat. Kalau bayar satu juta di awal kan kesannya kok buat dukung tim kesayangan sendiri harus bayar mahal banget.”

Share: Kritik Penonton Liga Inggris untuk Mola TV