Budaya Pop

Kritik Film: Lahir dari Perasaan, Didewasakan oleh Pengetahuan

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Pada 2014, kritikus film Hikmat Darmawan mengomentari 99 Cahaya di Langit Eropa (2013) dengan esai sepanjang 4 ribu kata di filmindonesia.or.id. Film drama religi ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Hanum Rais dan Rangga Almahendra. Terinspirasi dari pengalaman keduanya tinggal di Eropa, karakter Hanum dan Rangga dalam film diceritakan menemukan jejak-jejak Islam di Eropa yang dibawa oleh bangsa Turki.

Hikmat bicara cukup keras. Menurutnya, film tersebut memotret Eropa dengan sudut pandang turis yang stereotipikal, karakter orang-orang non-Islam digambarkan bersifat satu dimensi—antara otoritatif, menggoda, atau konyol—dan orang yang tercerahkan oleh agama Islam otomatis akan berpindah agama dan memakai jilbab/hijab (bagi perempuan). Hikmat Darmawan menilai film ini lahir dari sebuah “nalar kekalahan”: ada keinginan untuk menaklukkan kepercayaan lain, bukannya hidup berdampingan dalam keberagaman.

Menariknya, kritik ini diprotes balik. Bukan oleh pembuat film, melainkan penulis dan karakter di buku itu sendiri: Rangga Almahendra. Ia menganggap Hikmat Darmawan sedang resah akan semakin populernya penggunaan hijab/jilbab di kalangan perempuan muslim dan bertambahnya popularitas film Islami di Indonesia. Ia menyimpulkan Hikmat terjangkit virus Islamofobia.

Hingga 2020 kini, kasus pembuat film yang tak terima filmnya dikritik masih bermunculan. Contohlah Aulia Adam dan ulasannya tentang Pretty Boys (2019) di Tirto, film tentang dua laki-laki yang mesti berpura-pura jadi transgender untuk bisa tampil di TV.

Aulia Adam mengganggap film ini tidak sensitif terhadap transgender sebagai kelompok minoritas. Kritik ini tidak diterima oleh pemainnya sendiri, Desta Mahendra, yang menganggap Aulia mengkritik “di luar konteks dan esensi” film. “Kami harus bertanya apakah Aulia Adam sudah melakukan riset lebih dalam tentang film ini sebelum menulis?” katanya di Twitter.

Begitu pula dengan kritik film Cinta Itu Buta (2019) direspons oleh pemainnya, Dodit Mulyanto, “Aku nggak pernah kritik mediamu. Berani-beraninya kamu pandang negatif filmku.” Atau host Cine Crib yang diancam akan diperkarakan ke ranah hukum karena ulasannya dianggap “merusak industri film Indonesia”.

Adrian Jonathan Pasaribu, kritikus film dan pendiri Cinema Poetica, mengatakan terbukanya dialog antara pengkritik dan pembuat film sebenarnya adalah sebuah pertanda sehat. “Buatku sih filmmaker punya hak untuk menjelaskan karyanya, sama halnya publik juga punya hak untuk mengkritik film yang mereka tonton,” kata Adrian kepada Asumsi.co (7/1).

“Ini baru mengkhawatirkan ketika ada aksi-aksi legal seperti yang diterima Cine Crib. Itu buatku baru konyol, kekanak-kanakkan, bahkan dangkal. Pola pikir kritik-bikin-film-nggak-laku menyederhanakan sekali kompleksitas relasi sosial-politik-ekonomi di perfilman. Seolah masyarakat tidak berdaya dalam memilih tontonan dan hanya mengekor pendapat segelintir orang,” lanjutnya.

Namun, tak dimungkiri pula “kritik” kerap dimaknai secara sempit. Kritik dinilai mesti membangun, turut menyodorkan solusi. “Pernyataan ‘kalau kritik harus membangun’ itu kan sebenarnya sangat kontradiktif: kamu membongkar sesuatu, tapi kamu harus membangun lagi itu,” tutur Adrian yang sempat mengungkapkannya di acara bincang publik Kinosaurus.

Alhasil, tak sedikit pembuat film yang balas merespons, “memangnya kamu bisa bikin film?” ketika mendapat kritik dari penonton—seolah-olah ada kewajiban untuk memberikan solusi. Penonton juga dianggap tak boleh punya bagasi kemampuan dan pemahaman yang berbeda dalam menyampaikan pendapatnya.

Aulia Adam, kritikus film di Tirto, mengungkapkan bahwa reaksi-reaksi tidak terima dikritik tak hanya datang dari pembuat film, tetapi juga penggemar film. “Pernah beberapa kali di-mention produser, aktor, atau sutradaranya, terus diserbu fans mereka. Fans biasanya lebih ekstrem: memaki-maki lewat email atau dm [direct message], bahkan saya pernah dapat death threat,” kata Aulia.

Menurutnya, tak semua pembuat film merespons kritiknya secara negatif. Bahkan ada pula pembuat film yang berterima kasih karena telah mengulas filmnya secara detail. Namun, ia tak memungkiri banyak pembuat film yang punya tabiat tak suka dikritik.

“Enggak ada pakem bagaimana mengkritik yang responsible. Tapi mudah untuk membedakan mana yang kritik dan mana yang sekadar impresi. Semua orang bisa kasih impresi, dan filmmaker jangan baper kalau dapat impresi jelek. Wajar kalau impresi itu kadang-kadang jadi noise, karena film itu produk yg dibeli kayak kucing dalam karung,” ujar Aulia.

Antara Dikritik dan Mengkritik

Pemaknaan kritik yang sempit sebenarnya tak hanya berdampak kepada bagaimana yang dikritik bereaksi, tetapi juga pola pikir si pengkritik—melahirkan generasi yang gagap berargumentasi. Tak hanya pembuat film yang jadi sulit menerima kritik yang pedas, penulis kritik pun kerap sulit keluar dari penilaian-penilaian sebatas impresi.

“Aku pribadi melihat kritik film di Indonesia masih terlalu berkutat pada kesan-kesan. Parade kata sifat macam ‘asyik’, ‘segar, dan ‘membosankan’. Kesan-kesan macam itu menurutku baru titik berangkat. Ini mesti dikembangkan lagi sampai ke evaluasi tentang film dari segi estetis hingga politis,” kata Adrian.

Kritik memang sudah pasti bersifat subjektif, setiap orang punya pemahaman dan standar kelayakan masing-masing. Pertanyaannya, apakah standar tersebut memuat argumentasi yang logis dan bisa dipertanggung jawabkan?

“Kritik tak harus memuat solusi, tetapi minimal berlandas pada standar kelayakan tertentu. Sebaik dan sejelas apa standar kelayakan itu bisa dikomunikasikan? Di sinilah peran pengetahuan atau pemahaman atas audio, visual, dan narasi film. Kritik lahir dari perasaan, tapi didewasakan oleh pengetahuan. Semakin berwawasan seorang pengkritik film, semakin jelas juga apa sasaran dan landasan kritiknya,” lanjutnya.

Kegagapan dalam berpendapat dan menerima pendapat tak bisa sepenuhnya disalahkan ke individu. Joko Anwar di Twitter berpendapat bahwa berkomentar negatif tentang sebuah film sama saja dengan “membakar jembatan” untuk berjejaring dan meniti karier di industri perfilman Indonesia. Tandanya, tak sedikit pihak yang akan marah jika karyanya mendapat komentar negatif. Jika melihat skala lebih besar, institusi, lembaga, dan negara pun alergi untuk dikritik.

Kritik dari masyarakat kepada institusi atau pihak pemegang kuasa seringkali dimaknai sebagai “pencemaran nama baik” dan dapat dijerat hukum. Baiq Nuril dijerat UU ITE setelah dirinya menyebarkan bukti rekaman suara telepon atasan yang melecehkan dirinya. Ia sebagai korban kekerasan seksual malah balik dituntut oleh hukum. Tak lama ini, pilot maskapai Garuda juga menuduh seorang penumpang telah menghina Garuda. Si penumpang sempat ditahan di lounge attendant Bandara I Gusti Ngurah Rai.

Ada pula RKUHP yang kembali menghidupkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. Pasal warisan kolonial ini dinilai membahayakan kerja-kerja jurnalistik dan kebebasan berekspresi masyarakat.

Padahal, kritik tidak untuk diposisikan sebagai musuh—baik itu musuh negara maupun perfilman. “Adanya kritik film membuka ruang diskusi. Bukan cuma buat si pembuat film, tapi juga buat penonton film dan pembaca kritik. Kritik film bukan musuh film, bahkan seharusnya jadi melengkapi pengalaman menonton film,” tutur Aulia.

Di skala industri perfilman, pekerjaan rumahnya adalah membongkar perspektif orang Indonesia yang masih terpaku pada standar “kritik yang membangun”, “narasi yang mesti punya pesan moral”, hingga minimnya edukasi yang mengasah kemampuan membaca audiovisual.

“Perspektif terhadap medium audiovisual itu dibentuk secara gado-gado oleh keseharian kita. Oleh standar kritis-tapi-santun yang diceramahkan generasi terhadahulu, larangan lembaga sensor, batasan ‘budaya Timur’, capaian-capaian populer yang diglorifikasi pasar dan perangkat kapitalis pada umumnya, dan patokan-patokan serba semu yang dihadirkan media bahkan kreator kontennya sendiri. Rumit,” kata Adrian.

Upaya membongkar stigma ini tak akan bisa dilakukan tanpa kesadaran dan perubahan sikap dari pemerintah dan sistem pendidikan. “PR untuk membongkar stigma itu panjang sekali. Sebab, stigmanya sudah mengakar di mana-mana, baik di pelaku kritik sendiri, pembuat film, media, lembaga pendidikan, hingga pemerintah,” lanjutnya.

Share: Kritik Film: Lahir dari Perasaan, Didewasakan oleh Pengetahuan