Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI berencana untuk tetap melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislatif di Pemilu 2019, meskipun wacana ini tidak disetujui oleh DPR RI. KPU rencananya akan mengatur hal ini dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang pencalonan anggota DPR dan DPRD Pemilu 2019.
Hal ini ditegaskan oleh Komisioner KPU Wahyu Setiawan, yang menjelaskan bahwa forum tertinggi KPU dalam pengambilan keputusan adalah rapat pleno KPU. Dalam rapat pleno, KPU telah memutuskan untuk tetap mencantumkan larangan tersebut dalam rancangan PKPU.
“Perlu diketahui bahwa forum tertinggi di KPU itu pengambilan keputusan tetap di pleno. Sehingga suara kelembagaan yang paling tinggi,” kata Wahyu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 16 April.
Baca Juga: Bawaslu Tak Setuju Mantan Napi Korupsi Dilarang Nyaleg, KPU Beri Tanggapan
Wahyu mengatakan bahwa proses dan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kemendagri, Bawaslu dan Komisi II tidaklah mengikat, namun sebagai bentuk kesepakatan. KPU juga sekadar diwajibkan untuk hadir dalam RDP membahas PKPU tanpa harus menuruti rekomendasi yang muncul dari para anggota komisi.
“Jangan berpikir RDP ini mencari kesepakatan. Itu kan harus menghormati masing-masing lembaga. Jadi kalau pertanyaannya, bagaimana kalau rapat konsultasi tidak ada titik temu? Ya kami akan kembali kepada tugas masing-masing,” ujarnya.
Untuk itu, Wahyu menyarankan kepada pihak-pihak yang tidak setuju dengan larangan tersebut mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung di kemudian hari. Tentu jika KPU benar-benar mencantumkan larangan eks koruptor menjadi caleg dalam PKPU.
Baca Juga: Wapres JK: Koruptor Bisa Jadi Caleg, Tapi Ada Syaratnya!
“Misalnya, jika kita berandai-andai memaksakan itu, maka silakan bagi pihak-pihak yang tidak sependapat dengan KPU soal aturan tersebut, bisa mengajukan uji materi melalui Mahkamah Agung,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali mengakui bahwa KPU memiliki kewenangan untuk menafsirkan undang-undang dan menuangkannya ke dalam PKPU. Itu artinya, KPU berwenang mencantumkan aturan larangan mantan napi korupsi jadi caleg.
Terlebih, KPU juga tetap bisa mencantumkan larangan tersebut meski Komisi II DPR tidak setuju. Meski begitu, tetap ada risiko yang harus ditanggung.
“Kalau mau bikin sendiri, silakan. Tanpa harus konsultasi. Tapi itu pasti akan digugat orang,” kata Zainudin.
Amali sendiri mengaku menyetujui usulan aturan soal pelarangan mantan napi korupsi menjadi caleg. Menurut Zainudin, syaratnya adalah implementasinya tidak melanggar UU yang ada.
Zainudin juga menyarankan agar KPU kembali kepada UU dalam merancang peraturan berikut larangan-larangan di dalamnya. Apabila dalam UU tidak ada larangan bagi mantan napi korupsi menjadi caleg, maka sebaiknya KPU tidak perlu memuat larangan itu dalam PKPU.
“Saya pribadi prinsipnya setuju tapi kita juga tidak mau menabrak undang-undang. Kalau UU mengatakan mereka boleh apalagi ada keputusan MK, sehingga tidak bisa kita buat norma untuk melarang kecuali kalau UU nya kita ubah,” ujarnya.