General

Kotak Kardus KPU: Risiko Kerusakan di Tengah Penghematan

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Pemilu serentak 2019 yang bakalan dilaksanain tanggal 17 April 2019 nanti jelas butuh persiapan matang. Berbagai perhitungan harus dilakukan, salah satunya upaya menekan biaya yang harus dikeluarkan. Baru-baru ini, perbincangan kotak surat suara dari kardus sedang menghangat. Namun topik ini jadi pembahasan masyarakat sebab sudah terbukti bahwa ditemukan banyak kotak surat suara kardus yang terkena air dan kemudian jadi rusak. Di Bantul, ada 70 kotak suara berbahan kardus milik Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Bantul, Yogyakarta, rusak akibat banjir. Sedangkan pada tanggal 11 Desember 2018 yang lalu, kejadiannya lebih parah. Sebanyak 2.065 unit kotak suara rusak akibat bencana banjir yang terjadi di Badung, Bali.

Kondisi yang mengkhawatirkan ini membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat angkat suara. Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan masyarakat baru boleh protes ketika kotak suara tersebut rusak ketika terisi dengan surat-suarat suara. Apabila kerusakan terjadi di luar kontrol manusia, seharusnnya jangan dipermasalahkan. “Kalau kotak suara ini menjalankan fungsinya sebagai kotak suara lalu gampang rusak, maka orang boleh mempersoalkan. Tetapi kalau kotak suara ini rusak bukan karena menjalankan fungsi sebagai kotak suara, maka siapapun tak bisa menghindar,” ungkap Arief, ketika ditemui di Kantor KPU, Senin (17/12) yang lalu.

Terkait kerusakan ini, KPU Pusat pun berjanji akan menggantikan kotak suara yang rusak ini jika memang sudah ada laporan resminya. “Ya, saya belum terima report-nya itu. Tapi, memang ada gangguan karena ada bencana banjir. Kalau memang rusak sebab banjir ya kami ganti. Kami akan produksi lagi,” lanjut Arief.

Dari kondisi yang terjadi di Bali dan Bantul ini, terlihat bahwa sebenarnya, menggunakan kardus adalah hal yang riskan. Namun, mengapa KPU tetap menggunakan kardus sebagai salah satu bahan kotak suara?

Biaya yang Murah Menjadi Alasan

Dibanding dibuat dari aluminium, kotak suara berbahan kardus akan mengurangi biaya jauh lebih besar. Seperti dikonfirmasi oleh Arief Budiman sendiri, ia menyatakan kalau biaya produksi bahan karton kedap air hanya seperempat dari bahan aluminium. “Biaya produksi ini seingat saya mungkin hanya seperempatnya dari biaya produksi kalau kita pakai aluminium dan mungkin karena harga fluktuatif, ya. Bahkan mungkin bisa lebih murah lagi dibandingkan seperempatnya itu tadi. KPU melakukan penghematan itu,” ucap Arief. Ia pun melanjutkan kalau menggunakan aluminium, anggaran sebesar Rp948 miliar, sedangkan menggunakan karton hanya sebesar Rp298 miliar. “Pagu kita ketika merancang anggaran sekitar Rp948 miliar. Kemudian ketika mau pengadaan, kita cek lapangan, kita bikin HPS itu sekitar Rp 500 sekian miliar. Kemudian, setelah kebutuhannya hanya Rp 298 miliar. Karena salah satunya pakai karton itu. Aluminium bisa tiga kali lipat lebih mahal.”

Dari apa yang dikatakan pak Arief Budiman, nampaknya jelas bahwa alasan utama dari penggunaan kardus adalah masalah efisiensi biaya. Meski begitu, ternyata apa yang diharapkan bahwa karton tersebut kedap air, tidak benar adanya. Kardus-kardus berbahan karton tersebut rusak akibat banjir. Dari sini, tentu dilema yang muncul adalah apakah seharusnya ditinjau kembali terkait penggunaan ini. Mengingat musim hujan baru saja dimulai, namun sudah ada ribuan kardus yang rusak akibat banjir.

Sebenarnya, daripada pusing-pusing berdebat mengenai penggunaan kardus ini, langkah paling sederhana yang bisa dilakukan adalah menyimpan kardus-kardus tersebut dengan baik. Kardus-kardus tersebut harus dipastikan jauh dari jangkauan banjir, dan jika memang tidak ada ruang atau tempat yang lebih tinggi, pastikan kardus-kardus tersebut dapat dievakuasi ketika banjir dirasa akan terjadi. Langkah mitigasi ini tentu dapat mengurangi pengeluaran biaya yang tidak perlu seperti mengganti baru kardus yang bahkan belum digunakan sama sekali.

Perlukah untuk Mempertimbangkan Kembali Penggunaan Kardus Ini?

Namun begitu, untuk ke depannya, seharusnya penggunaan kardus ini juga harus dikaji lagi. Di era yang sudah beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan makin modern ini, menggunakan kardus sebagai salah satu kotak suara adalah sebuah simbol bahwa negara ini belum siap untuk maju ke langkah selanjutnya. Belum lagi, mekanisme pencoblosan surat suara yang masih menggunakan paku, alih-alih mencontreng. Jika memang e-vote dirasa tidak memungkinkan, mungkin bisa kembali mencontreng surat suara dan menggunakan bilik suara aluminium. Hal ini nampaknya penting untuk dilakukan, mengingat hanya Kamboja yang masih menggunakan metode konvensional mencoblos surat suara dengan paku ini.

Share: Kotak Kardus KPU: Risiko Kerusakan di Tengah Penghematan