Menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia
(HUT RI) ke-76 pada 17 Agustus mendatang, Komisi untuk Orang Hilang dan
Kekerasan (KontraS) memberikan ‘kado’ untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kado itu dikemas dalam Kwitangologi, yakni
berupa catatan rentetan keberulangan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) yang dilakukan oleh negara.
Penuntasan pelanggaran HAM cuma janji manis
Melalui keterangan yang diterima Asumsi.co, Koordinator
KontraS, Fatia Maulidiyanti mengatakan catatan keberulangan peristiwa pelanggaran
HAM ini terlihat dari kesewenangan sektor keamanan dengan dalil penertiban
namun tidak dilakukan secara humanis.
“Hingga tidak dilakukannya pengusutan kasus-kasus
kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kegagalan negara melalui
keengganan pengusutan kasus kekerasan dengan proses yang berbelit-belit,
mendukung fakta bahwa peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masih terus
berulang,” jelas Fatia.
Menurutnya, negeri ini tidak pernah belajar untuk
memperbaiki kesalahannya karena pada nyatanya, rentetan peristiwa masyarakat
yang menjadi korban penyiksaan terus kembali terjadi.
“Atas keberulangan peristiwa pelanggaran HAM yang
terjadi, negara juga nampaknya banyak memberikan omongan yang tidak pernah
terealisasikan,” imbuhnya.
Fatia menilai, janji Presiden sejak masa kampanye periode
pertama dan kedua untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat dan ucapan
Jokowi lainnya untuk menenangkan hati masyarakat hanya sebatas gimmick dan
janji manis belaka. Ia menyebut hal ini tentu mengejutkan sekaligus
mengecewakan masyarakat. Ironianya, kata dia dari sekian pelaku pelanggaran HAM
berat masa lalu diangkat oleh Jokowi untuk masuk ke dalam pemerintahan.
“Seringkali untuk mengetahui apa yang akan dilakukan
negara, dapat melihat ucapan Jokowi
kemudian hal yang seterusnya terjadi adalah kebalikan dari ucapan itu
sendiri,” tuturnya.
KontraS mencatatkan sejumlah daftar yang diharapkan bisa
menjadi introspeksi sekaligus kado yang berkesan buat pemerintah di tengah
momentum jelang HUT RI ke-76. Catatan tersebut antara lain:
Orang bermasalah di sekitar Jokowi
KontraS melihat Jokowi mengkhianati rakyat karena tidak melaksanakan
janji untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat sebagaimana yang disampaikan saat
kampanye pemilihan presiden periode pertama. Pada masa transisi, Jokowi bersama
wakil presiden terpilih Jusuf Kalla justru menunjuk A.M Hendropriyono sebagai
penasihat. Padahal Hendropriyono diduga terlihat dalam kasus HAM berat.
Salah satu petinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) ini disinyalir memiliki andil dalam Tragedi Talangsari Lampung tahun
1989. Ia juga diduga terlibat dalam pembunuhan aktivis Munir saat menjabat
Ketua Badan Intelijen Negara.
Saat mengawali jabatannya sebagai kepala negara, Jokowi pun
menunjuk Andika Perkasa yang notabene merupakan menantu Hendropriyono yang kini
berpangkat jenderal dan menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat, sebagai
Komandan Paspampres. Selain itu, putra Hendropriyono yakni Diaz Hendropriyono
juga masuk ke dalam lingkaran Istana dengan mengisi posisi Staf Khusus Presiden
Bidang Intelijen pada tahun 2016.
Berikutnya, pemilihan Ryamizard Ryacudu untuk mengisi pos
Menteri Pertahanan. Ryamizard dinilai tersandung preseden buruk saat menjabat
sebagai Kepala Staf Angkatan Darat karena membela prajurit Kopassus pelaku
pembunuhan tokoh warga Papua Theys Eluay tahun 2001.
“Hartono yang membunuh Almarhum Theys Eluay pun justru
mendapat promosi karier di tubuh TNI menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis
(Kepala BAIS) sejak tahun 2016,” terangnya.
Fakta ini, di dalam pandangan KontraS, menambah luka warga
Papua juga yang di akhir tahun 2014 harus menjadi korban dari Tragedi Paniai,
tak sampai 2 bulan pasca Jokowi-JK dilantik.
“Panglima TNI di momen terjadinya Tragedi Paniai, yakni
Moeldoko justru dipilih menjadi Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) sejak
2018, menggantikan Teten Masduki,” imbuhnya.
Keputusan Jokowi lainnya yang mengejutkan dengan
menghadirkan sosok yang memiliki latar belakang bermasalah terkait pelanggaran
HAM berat adalah Wiranto. Pria yang merupakan mantan Panglima ABRI di era
Soeharto ini ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan
Keamanan (Menkopolhukam) di tahun 2016.
“Suatu keputusan yang melukai banyak pihak terutama
mayoritas para korban, penyintas, dan keluarga korban pelanggaran HAM berat,”
tulis catatan KontraS.
Kemudian, pemilihan Prabowo Subianto sebagai Menteri
Pertahanan di periode kedua pemerintahan Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin turut
mencengangkan publik. Penunjukkan pria yang dua kali menjadi pesaing Jokowi di
pilpres, menurut KontraS adalah bentuk impunitas terhadap pelaku HAM berat yang
dipertontonkan Jokowi. Wiranto dan Prabowo disinyalir memiliki keterlibatan
dalam tragedi 1998 yang saat itu terjadi penculikan sejumlah aktivis pro
demokrasi.
Harga tanah lebih murah dari sayur
Catatan berikutnya yang disampaikan KontraS adalah persoalan
murahnya tanah kepulauan Indonesia yang dijual kepada perusahaan industri
pertambangan. Tanah di Kabupaten Kepulauan Sangihe hanya dihargai Rp5 ribu per
meternya. Harga ini merupakan tawaran dari PT Tambang Mas Sangihe.
“Kedatangan mereka adalah untuk menambang, menggali
potensi-potensi alam yang dimiliki oleh Kabupaten Kepulauan Sangihe,” tulis
KontraS.
Kepulauan ini, terdapat banyak sekali kekayaan alam di
daratan maupun di lautannya padahal di dalam Konstitusi Negara tidak boleh
ditambang. “Kasihan warganya enggak punya tempat tinggal. Bukannya negara
melindungi, kok malah ingkar sama konstitusi yang ada,” lanjut Fatia.
Aksi kekerasan aparat
Kekerasan aparat dalam aksi unjuk rasa pun masih terjadi di
negeri ini. KontraS mencontohkan aksi kekerasan dalam aksi #ReformasiDikorupsi
tahun 2019. Salah satu korbannya, Yahya yang mengalami kekerasan oleh aparat
dalam aksi tersebut. Waktu itu, ia berniat menolong seorang perempuan yang
mengalami represiritas dari polisi.
“Saat ingin menolong, ia dihadang dan kemudian dihantam
dengan benda tumpul, dipukul hingga ditendang,” jelas keterangan yang
disampaikan KontraS.
Akibat peristiwa ini, Yahya mendapatkan jahitan di
kepalanya. Bukan cuma Yahya, banyak mahasiswa dan elemen masyarakat sipil lainnya
yang juga mengalami aksi kekerasan serupa dalam aksi tersebut.
Selain itu, ada juga rekayasa kasus Dani Susanda yang
dilakukan oleh penyidik Polres Kota Tasikmalaya. Ada pula penyiksaan berujung
kematian Henry Bakari aparat di Polres Balerang, Batam.
Intimidasi siber
KontraS mengungkapkan intimidasi siber di negara ini juga
banyak terjadi yang dilakukan melalui platform digital. Dampak dinilai sama
dengan penyiksaan fisik, terutama lebih menyerang mental korbannya.
Aksi ini, menurut KontraS diketahui oleh negara tetapi tak
mendapatkan penyelesaian secara berkeadilan. “Seringkali saat mendapatkan
penyiksaan siber, korban sama tidak berdayanya dengan penyiksaan fisik.
Sejumlah aksi intimidasi siber yang terjadi, misalnya kasus
Ravio Patra, kasus pembatalan diskusi Constitutional Law Society Universitas
Gadjah Mada (CLS UGM), dan kasus panitia Diskusi Papua yang diselenggarakan
oleh Universitas Lampung. Seluruh kasusnya diketahui terjadi tahun lalu.
KKB dianggap teroris
Pemerintah menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)
Papua sebagai organisasi teroris. Alasannya, KKB telah melakukan aktivitas
kekerasan serta memberikan dampak ketakutan bagi masyarakat.
Hal ini dianggap sebagai sikap pemerintah Indonesia yang
lagi-lagi gagal paham dalam menyikapi situasi kemanusiaan di Tanah Cendrawasih.
“Bukannya memikirkan solusi yang fokus pada akar masalah, pendekatan keamanan
berbasis kekerasan justru terus menerus dilakukan,” lanjut pernyataan KontraS.
Teroris bukanlah stigma pertama yang disematkan kepada
kelompok ini. Pemerintah juga pernah melabeli mereka dengan sebutan Kelompok
Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB). Sikap pemerintah yang menyimpulkan
orang-orang yang mendukung kemerdekaan Papua akan diafiliasikan dengan teroris
tentu hal yang sangat disayangkan.
“Suara-suara mereka untuk menyuarakan penentuan nasib
sendiri dengan mudahnya dibungkam dengan dalih menganut ideologi teroris,”
terang KontraS.
Main tangkap sendiri
Dalam beberapa waktu ke belakang, menurut KontraS
penangkapan sewenang-wenang merupakan salah satu jenis tindak kekerasan yang
paling sering dilakukan aparat kepolisian terhadap warga sipil.
Mirisnya, banyak penangkapan dilakukan tanpa bukti dan
alasan yang jelas lalu berujung pada penetapan status tersangka. KontraS
menyoroti di masa pandemi Covid-19, Polri banyak melalukan penangkapan terhadap
aksi massa yang dianggap tidak mematuhi protokol kesehatan saat melakukan
demonstrasi.
“Korban ditangkap saat melakukan demonstrasi yang digelar di
beberapa daerah seperti di Semarang, Jakarta, dan Jawa Tengah,” jelas KontraS.
Bentuk dari penangkapan yang dinilai sewenang-wenang ini
bukan hanya sebagai upaya pengekangab dan pembungkaman masyarakat sipil tapi
juga menjadi bukti penegakkan hukum diskriminatif dan tebang pilih di negeri
ini.
Polemik vaksinasi
Polemik vaksinasi gotong royong individu atau vaksin
Covid-19 berbayar juga menuai kritik. Pasalnya, vaksinasi yang sudah
digratiskan selama berbulan-bulan tiba-tiba akan dikomersialkan. Mulanya,
pemerintah menunjuk PT Kimia Farma Tbk. untuk menjalankan vaksinasi berbayar
ini dan disebut bakal mulai dilakukan pada 12 Juli lalu dengan harga Rp879.000
buat dua dosis vaksin Sinopharm.
Usai adanya kritik yang disampaikan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) bahwa vaksinasi berbayar merupakan hal yang tak etis, pemerintah
pun memutuskan untuk membatalkannya
Pemulihan korban pelanggaran HAM berat
Kemenkumham sempat menyampaikan rencana penyelesaian kasus
pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui jalur non yudisial lewat Rancangan
Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa
Pelanggaran HAM yang Berat Melalui Mekanisme Non Yudisial (RPres UKP-PPHB).
Dalam rancangan ketentuan ini, mengatur bagaimana kasus HAM
bisa diselesaikan secara non yudisial alias di luar proses hukum. Adapun unit
kerja ini sedianya bakal di bawah naungan Menko Polhukam.
Sayangnya, dalam Rperpres UKP-PPHB, segi pemulihan korban
tidak secara detail dibahas. “Pemulihan korban diartikan hanya sebagai
pemberian bantuan sosial materialistik yang sifatnya sekali selesai, bukan
pemulihan menyeluruh,” terang KontraS.
Apa kata Istana?
Asumsi.co menghubungi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf
Presiden Ali Mochtar Ngabalin untuk meminta tanggapannya soal “kado khusus
HUT RI” dari KontraS berupa catatan yang ditujukan untuk pemerintahan
Jokowi. Namun, Ngabalin menolak untuk memberikan tanggapannya.
“Aku sebenarnya bukan bagian yang menangani atau
komentar soal hal ini. Nanti itu biar teman-teman lainnya di KSP saja yang
menanggapi soal ini ya,” ucapnya melalui sambungan telepon.
Setelah itu, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari
Pramodawardhani dihubungi lewat sambungan telepon dan pesan singkat untuk
memberikan tanggapannya mewakili Istana soal ini. Namun, hingga berita ini
diturunkan telepon tak diangkat dan tak ada satu pesan pun yang dibalas
olehnya.
Demikian juga saat kami mencoba menghubungi Juru Bicara
Kepresidenan RI, Fadjroel Rachman yang memilih bungkam tak mengangkat telepon
dan sama sekali tidak membalas pesan pertanyaan yang diajukan.