Budaya Pop

Konferensi Asia Afrika di Antara “Hantu” Gentayangan

Iman Herdiana — Asumsi.co

featured image

Museum Konferensi Asia Afrika mungkin tepat bila dijuluki ikon Kota Bandung berskala internasional. Selain nilai sejarahnya yang tinggi, arsitektur art deco-nya terlihat kokoh dan bagus, bangunan ini juga terletak di lokasi yang strategis yaitu di jantung kota. Dengan alamat di Jalan Asia-Afrika, jalanan ini sering dijadikan bahan guyonan sebagai jalan terpanjang di dunia. Seperti yang kita tahu, museum yang berada dalam satu gedung dengan Gedung Merdeka ini dulunya menjadi tempat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika 1955.

Di samping gedung terdapat sungai Cikapundung yang airnya cokelat dan kadang menghanyutkan sampah plastik. Padahal di masa lalu, air sungai ini terlihat jernih. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels pernah memujinya saat meresmikan jembatan Cikapundung. Peristiwa ini kemudian menjadi cikal bakal pembangunan kota Bandung, yang kini terletak tak jauh dari Gedung Merdeka terdapat kilometer nol kota.

Jalan yang dulunya bernama Jalan Raya Pos itu, sejak awal memang dirancang sebagai pusat kota. Hal ini dipertegas dengan dibangunnya alun-alun, pendopo, masjid agung, dan penjara—sebuah tata letak kota khas kolonial.

Hingga kini pun jalan Asia Afrika ramai dikunjungi warga atau wisatawan. Bagian luar museum menjadi primadona untuk berfoto bersama atau sekedar berswafoto. Malah kini banyak sekali “hantu-hantu” bergentayangan di jalan ini, mulai hantu Valak, kuntilanak, pocong, dan sebangsanya. Mereka menawarkan foto bersama dengan bayar sekihlasnya. Mereka biasa ngumpul di tugu jamur raksasa buatan seniman I Nyoman Nuarta, di sudut Jalan Cikapundung Timur atau Jalan Sukarno.

Salah satu harta karun dalam meseum ini, piringan hitam pidato Sukarno saat KAA 1055. Foto: Dok. Asumsi.co

Di bagian dalam Museum KAA, kita bisa menyimak perjalanan bangsa-bangsa di dunia, khususnya di benua Asia dan Afrika, melalui berbagai macam peninggalan sejarah berupa dokumentasi maupun benda-benda yang menjadi saksi bisu perhelatan konferensi legendaris tersebut, misalnya kursi rotan yang dipakai

ketua konferensi sekaligus Perdana Menteri RI Ali Sastroamijoyo yang dipakai untuk menyambut delegasi, piringan hitam berisi rekaman pidato Presiden pertama RI Sukarno, dan jejak tokoh-tokoh beken dengan level internasional lainnya seperti Perdana Menteri China Zhou Enlai, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, dan lain-lain.

Kita juga bisa menyimak informasi penting dari public educator Museum KAA seperti sejarah KAA berikut latar belakangnya, yakni kolonialisme, Perang Dunia, Perang Dingin, kemudian nonton bareng film dokumenter KAA di ruang pemutaran film yang berada di bagian dalam museum. Setelah itu barulah rangkaian puncak kunjungan, yaitu memasuki ruang konferensi yang anggun dan megah.

Di ruang konferensi inilah pemimpin negara-negara dari dua benua terbesar berkumpul untuk merumuskan tatanan dunia baru yang bebas dari penjajahan. Ruangan ini menjadi tepal batas bagi 29 negara-negara peserta KAA 1955 yang umumnya masih terjajah untuk bebas dari belenggu kolonialisme. Tak heran jika ruang konferensi ini dinamai Gedung Merdeka. Tak lama setelah KAA, banyak negara-negara di Asia dan Afrika menggapai kemerdekaannya.

Jadi sayang jika berkunjung ke Jalan Asia-Afrika kalau sekadar berswafoto di luaran saja tanpa masuk ke dalam museum. Untuk masuk ke dalam museum pun cukup mudah selain gratis tentunya. Calon pengunjung cukup reservasi di http://asianafricanmuseum.org/registrasi/. Baru setelah kunungan yang bergizi itu, bolehlah selfi di luar museum dengan hantu kuntilanak atau si Valak.

Share: Konferensi Asia Afrika di Antara “Hantu” Gentayangan