Isu Terkini

Koalisi untuk Keadilan Tragedi Semanggi: Tindakan Jaksa Agung Mesti Dipertanggungjawabkan

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

“Kami keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II yang masih hidup sepakat untuk melakukan gugatan kepada Jaksa Agung lewat Pengadilan Tata Usaha Negara. 22 tahun bukanlah masa yang pendek. Kami lelah, tetapi selalu ada jalan untuk menuntut penyelesaian.”

Maria Katarina Sumarsih selaku orang tua dari korban penembakan Tragedi Semanggi I, Bernardus Realino Norma Irmawan, menggugat Jaksa Agung ST Burhanudin yang telah menyebut kasus ini bukan sebagai pelanggaran HAM berat. Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI pada Januari lalu, Burhanudin mengatakan keputusan tersebut merupakan hasil dari Rapat Paripurna DPR RI.

Telah 22 tahun berlalu sejak Tragedi Semanggi terjadi. Tragedi Semanggi I yang terjadi pada 11-13 November 1998 telah menewaskan 17 warga sipil. Sementara Tragedi Semanggi II yang terjadi pada 24 September 1999 telah menewaskan seorang mahasiswa, 11 warga sipil, dan 217 orang luka-luka.

Alih-alih mendapatkan keadilan, perjuangan keluarga korban dicederai dengan pernyataan Jaksa Agung yang mengaburkan fakta terkait Tragedi Semanggi. “Kita tahu ada belasan kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM. Tetapi, dengan berbagai cara, Jaksa Agung malah menghindari dari kewajibannya sebagai penyidik,” ungkap Sumarsih dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh Amnesty International Indonesia (12/5).

“Bagi saya dan keluarga korban yang lain, tanpa adanya proses hukum, ya sama saja Indonesia sedang melanggengkan impunitas. Ini adalah upaya para penguasa untuk melindungi para terduga pelanggaran HAM berat.”

Gugatan ini diajukan sebagai upaya hukum bagi warga negara untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya, seperti yang tertera dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama terhadap hukum.”

Amnesty International Indonesia mengatakan pernyataan Jaksa Agung telah menghambat proses hukum pelanggaran HAM berat Peristiwa Semanggi dan menghalangi keluarga korban untuk mendapatkan keadilan. Penggugat yang terdiri dari keluarga korban: Maria Katarina Sumarsih selaku ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan dan Ho Kim Ngo selaku ibu dari Yap Yun Hap diwakili oleh Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II. Koalisi ini terdiri dari KontraS, Amnesty International Indonesia, YLBHI, LBH Jakarta, AJAR, Haris Azhar, dan Ori Rahman.

Kuasa hukum dari LBH Jakarta Saleh Al Ghifari mengatakan gugatan ini bertujuan agar Jaksa Agung dapat mengklarifikasi dan membatalkan pernyataannya. Dengan menganggap Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat, pernyataan Jaksa Agung sebagai pejabat negara berdampak langsung terhadap proses penyingkapan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Jaksa Agung juga diharapkan dapat melanjutkan penyidikan berdasarkan hasil penyelidikan dan laporan dari Komnas HAM.

“Gugatan ini diajukan agar Jaksa Agung menarik ucapannya. Berdasarkan Undang-undang Pengadilan HAM, orang harusnya tahu yang bisa menilai apakah sebuah kasus termasuk dalam pelanggaran berat HAM atau tidak adalah hasil penyelidikan Komnas HAM. Tindakan Jaksa Agung itu, entah karena kelalaian atau kesengajaan, mesti dipertanggungjawabkan,” ucap Saleh dalam konferensi pers (12/5).

Perwakilan Amnesty International Indonesia Justitia Avila Veda menjelaskan Jaksa Agung telah mendelegitimasi posisinya sebagai penyidik pelanggaran HAM berat karena melakukan penetapan tanpa mengikuti proses hukum. “Penetapan pelanggaran HAM berat itu diawali dengan penyelidikan oleh Komnas HAM. Setelah itu, penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung. DPR sendiri mempunyai fungsi pengawasan, tetapi bukan untuk menetapkan apakah Tragedi Semanggi I dan II adalah pelanggaran HAM berat. Itu di luar mandat DPR. Kalau kita mau patuh hukum, Jaksa Agung seharusnya tidak mengatribusikan penetapan pelanggaran HAM berat kepada DPR. Itu nonsense.

Selama lebih dari 20 tahun, proses untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan HAM Tragedi Semanggi I dan II selalu mandek. Selama itu pula Jaksa Agung selalu berdalih tidak terpenuhinya syarat formil dan materiil seperti dokumen-dokumen pelengkap, saksi, dan bukti. “Sudah lebih dari 20 tahun, Jaksa Agung seperti kaset rusak saja. Beda orang tapi alasannya sama terus,” kata Veda.

Padahal, permasalahannya terletak pada Jaksa Agung yang tidak melakukan penyidikan lebih lanjut. “Komnas HAM sebagai penyelidik tidak punya wewenang untuk memaksa orang hadir memberikan keterangan atau melakukan penggeledahan. Wewenang itu ada pada Jaksa Agung. Kalau bicara tentang dokumen yang tidak lengkap, seharusnya Jaksa Agung menggunakan kewenangannya untuk melengkapi dokumen tersebut,” lanjutnya.

Menggugat Jaksa Agung dan membawa kasus ini ke ranah hukum juga merupakan bentuk partisipasi publik dalam menciptakan proses bernegara yang transparan, partisipatif, dan akuntabel—seperti yang diatur dalam Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelanggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. “Segala macam cara yang terhormat kami upayakan—karena kami percaya pada supremasi hukum. Kami juga ingin kasih contoh karena sepertinya Jaksa Agung nggak mengerti bagaimana mengikuti hukum. Nggak ngerti hukum yang harus ditegakkan yang seperti apa.”

Agar Tragedi Semanggi I dan II serta pelanggaran-pelanggaran HAM lain dapat diakui, Amnesty International Indonesia berupaya menumbuhkan awareness dan menggalang dukungan dari publik. Hal ini termasuk mengajak semakin banyak orang untuk berpartisipasi dalam Aksi Kamisan—termasuk yang sifatnya daring karena kondisi COVID-19. “Dengan masyarakat tahu bahwa gugatan ini sedang berjalan dan diperiksa, hakim juga jadi harus berpegang pada kode etik mereka. Kita berharap kasusnya dapat diperiksa dan ada keputusan yang obyektif,” kata Veda.

Bagi Sumarsih, perjuangannya tidak berhenti pada gugatan kepada PTUN. “Kami akan mengawal gugatan ke PTUN selama enam bulan ke depan sesuai ketentuan hukum. Aksi Kamisan akan terus berjalan, lobi dan audiensi ke berbagai lembaga terkai juga akan dilanjutkan,” ujar Sumarsih.

Share: Koalisi untuk Keadilan Tragedi Semanggi: Tindakan Jaksa Agung Mesti Dipertanggungjawabkan