Isu Terkini

Koalisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia Desak Pemerintah Sediakan Layanan Aborsi Aman

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Banyak alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan aborsi. Dalam beberapa kasus, perempuan mengambil langkah tersebut karena dirinya menjadi korban perkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kasus lainnya, alasan aborsi dapat menyangkut janin dan kehamilan yang tidak sehat, gagalnya program keluarga berencana, ketidaksiapan pasangan, hingga alasan-alasan personal lain yang tidak bisa disebutkan satu-satu.

Apapun alasannya, akses atas layanan aborsi aman menyangkut keselamatan, kesehatan, dan hak perempuan untuk memegang kendali atas tubuh mereka sendiri.

Human Rights Watch dalam catatannya menyebutkan bahwa menjadikan aborsi ilegal hanya akan memperluas praktik aborsi tidak aman dan membuat perempuan terpaksa untuk menanggung beban dari kehamilan yang tidak diinginkan. Perempuan pun berisiko mengalami masalah kesehatan serius hingga terancam nyawanya: sekitar 13% kematian ibu di seluruh dunia disebabkan oleh aborsi tidak aman—yang berarti 68.000-78.000 kematian setiap tahunnya.

Di Indonesia, 4% kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. Setiap tahunnya, terdapat setidaknya 2 juta kasus aborsi tidak aman di Indonesia—dengan 49,4% di antaranya dilakukan oleh diri sendiri.

Koalisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia (KSRI) menilai negara Indonesia telah abai dalam memenuhi hak atas akses layanan kesehatan yang aman dan berkualitas. Negara yang direpresentasikan oleh aparat penegak hukum ini kerap mengkriminalisasi layanan aborsi aman di Indonesia. KSRI mencatat setidaknya terdapat delapan kasus yang berkaitan dengan aborsi yang dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum selama Februari-Agustus 2020.

Pada Februari 2020, Polda Metro Jaya menggrebek sebuah klinik di Paseban, Jakarta Pusat, dan menetapkan tiga bidan sebagai tersangka atas kasus aborsi. Klinik lain di Senen, Jakarta Pusat juga digrebek dan 17 orang ditetapkan sebagai tersangka. Ada pula penggrebekan yang terjadi di Surabaya, Gresik, hingga Kediri. Selain sepanjang 2020 ini, aparat penegak hukum telah sejak lama kerap mengkriminalisasi perempuan sebagai pihak yang melakukan aborsi, pendamping perempuan, pemberi informasi, dokter, bidan, ataupun perawat sebagai pemberi layanan.

“Dengan mengkriminalisasi petugas kesehatan, artinya negara telah menutup layanan aborsi aman dan mengarahkan perempuan untuk mengakses layanan aborsi tidak aman,” ujar KSRI dalam keterangan persnya (14/9).

Apalagi, media turut memberitakan kasus-kasus penggrebekan ini dengan perspektif yang menyudutkan pihak yang mengakses layanan tersebut. “Aparat penegakan hukum dan media tidak mau menggali lebih dalam alasan kesehatan yang dilakukan pihak-pihak terkait aborsi—walaupun sudah dijamin oleh undang-undang,” lanjutnya.

Ada pula persoalan hukum yang masih membatasi dan menetapkan pidana bagi orang yang melakukan aborsi. Dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009, misalnya, aborsi memang dapat dilakukan dalam dua kondisi: indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban.

Namun, untuk dapat melakukan aborsi, usia kehamilan haruslah maksimal enam minggu—dihitung dari hari pertama haid terakhir. Aborsi juga hanya boleh dilakukan atas izin suami—membuat perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual oleh suaminya dan mengalami kehamilan berisiko tidak bisa melakukan aborsi. Jika melanggar ketentuan tersebut, seseorang dapat dipidana dengan hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. Berdasarkan KUHP, petugas kesehatan pun dapat dipidana dengan hukuman hingga lima tahun enam bulan dan dicabut izin praktiknya.

Dalam implementasinya, KSRI menemukan bahwa ketentuan hukum ini dipakai untuk memidanakan seluruh tindakan aborsi tanpa melihat akar persoalannya. Salah satu contohnya adalah seorang anak perempuan korban perkosaan di Jambi yang dihukum enam bulan penjara karena melakukan aborsi.

Untuk itu, KSRI mendesak pemerintah untuk menyediakan paket kesehatan reproduksi esensial (PKRE) bagi warga negaranya—termasuk layanan aborsi aman dan layanan kesehatan pascaaborsi—yang disusun berdasarkan kajian ilmiah yang tersedia.

Pemerintah juga didesak untuk segera mengimplementasikan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2016 tentang “Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan” untuk memastikan pemberian layanan aborsi aman bagi perempuan.

Selain itu, pemerintah diharapkan dapat menginisiasi amendemen sebagian UU No. 36 Tahun 2009 sehingga pengecualian aborsi tidak sebatas yang telah tercantum; berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk memberikan perlindungan terhadap korban, tenaga kesehatan, penyedia layanan, dan pendamping korban; dan memastikan adanya keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya edukasi terkait kehamilan yang tidak diinginkan.

“Layanan aborsi aman adalah bagian dari pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi yang termasuk dalam hak asasi manusia (HAM). Komponen-komponen hak kesehatan seksual dan reproduksi ini mencakup hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk mendapatkan privasi, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk terbebas dari diskriminasi.”

Artinya, dengan mengkriminalisasi layanan aborsi aman, negara telah mengabaikan hak perempuan dengan membiarkan nyawanya terancam. “Lalainya negara dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi membuat perempuan dikriminalisasi, kena stigma, hingga terpaksa mencari layanan yang membahayakan nyawa dan kesehatannya.”

Share: Koalisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia Desak Pemerintah Sediakan Layanan Aborsi Aman