Budaya Pop

Kisah Jongkie Tio, Fotografer Amatir yang ‘Dimusuhi’ Rezim Soeharto

Fariz Fardianto — Asumsi.co

featured image

Usianya sudah hampir separuh abad. Tetapi Jongkie Tio masih sigap tatkala menyambut Asumsi.co. Rumahnya yang terletak di tepi Jalan Gajahmada, Semarang, sejak lama telah diubah menjadi sebuah rumah makan. “Restoran Semarang”, begitulah tulisan yang terpampang besar di depan bangunannya. Di dalamnya, terdapat banyak foto-foto masa lampau terpajang di dinding-dinging ruangan itu.

Potret masa lampau yang ada di dinding restoran itulah yang menyimpan cerita dan membekas dalam benak Jongkie. Bahkan, meski rambutnya telah memutih namun memorinya masih tajam tatkala mengingat satu persatu sejarah tiap foto tersebut.

“Ketika tahun 1983 Semarang mengalami gerhana bulan total, saya satu-satunya orang yang bisa mengabadikan gambar spanduk yang dipasang di sudut kota. Tentara melakukan propaganda dengan memberitahukan warga agar jangan keluar rumah saat gerhana muncul. Tapi buat saya itulah momen yang tak boleh dilewatkan. Ini dia fotonya,” ujar Jongkie, seraya menunjukan foto yang dimaksud, Rabu 19 September 2018.

Jongkie bukannya tanpa alasan mengabadikan momentum itu. Ia menganggap setiap orang berhak merekam jejak sejarah kotanya sendiri. Jongkie mengatakan bahwa itu adalah hobinya. Hobinya memotret sejarah Kota Semarang dimulai saat ia sekolah di SMP Karangturi, Jalan MT Haryono.

“Ya semuanya tak lepas dari peran guru saya saat kelas tiga di SMP Karangturi. Saat itu guru saya rutin mengajak muridnya keluar kelas untuk berkeliling kota. Setiap anak diminta menceritakan apa yang dilihatnya. Sejak itulah saya jadi keranjingan mengabadikan semua hal lewat kamera,” katanya lagi.

Sabet Adinegoro Award

Jongkie tak bisa melupakan begitu saja setiap jenggal fotonya. Kadang ia asal jepret. Kadang pula ia memakai insting layaknya seorang fotografer jurnalis. “Padahal saya tidak pernah kerja di media massa. Tapi saya sangat suka memotret. Apapun itu. Mulai renovasi rumah, jalan kampung dibongkar dan masih banyak lagi,” akunya.

Baginya ada satu kejadian yang paling melekat di hatinya. Sebagai fotografer amatir, Jongkie justru pernah mendapat penghargaan tertinggi dari pemerintah. Fotonya yang menampilkan legiun veteran berkaki pincang ikut upacara HUT TNI di Simpang Lima rupanya mampu terpilih menjadi pemenang Adinegoro Award.

“Itu yang paling tidak saya sangka-sangka. Benar-benar monumental. Diluar dugaan saya bisa mendapat Adinegoro Award. Waktu itu, memang fotonya saya kirim ke Tempo dan dimuat,” katanya dengan senyum lebar.

Sebagai peranakan Tionghoa, Jongkie berkata telah diberi anugerah oleh Yang Maha Kuasa untuk memotret di jalanan. Tak terhitung jumlah foto bidikannya. “Kira-kira ada lima ratusan”.

Jongkie Tio saat menceritakan detail pengalamannya menjadi seorang fotografer amatir. Foto: Dok. Asumsi.co

Terkena Imbas Peristiwa G30S

Kendati demikian, hobinya itu bukanlah tanpa hambatan. Tahun 1965 ketika gerakan tiga puluh September (G30S) meletus, Jongkie ikut kena getahnya.

Sejak G30S meletus. Sampai pertengahan 1967 dan 1968, ia kerap dimusuhi masyarakat. “Setiap ketemu, saya dimaki-maki. Biarin sajalah,” tuturnya.

Diakuinya bahwa rezim Orde Baru telah menebar provokasi yang mendiskreditkan etnis Tionghoa. Jongkie bahkan terpaksa dikeluarkan dari bangku saat menimba ilmu di jurusan Ilmu Hukum Undip akhir 1965. Begitu peristiwa G30S meletus, ia di-Drop Out. Cita-citanya pupus. Ia pun mendadak dimusuhi rekan-rekan kuliahnya.

“Enggak ada yang mau dekati saya,” bebernya. Bermata sipit dan berkulit kuning jadi sentimen yang ampuh bagi masyarakat untuk memusuhi orang Tionghoa seperti dirinya.

Tak cuma itu saja. Selama Orba berkuasa, aktivitas Jongkie dalam memotret suasana kota kerap dibatasi. Suatu hari ia pernah diusir oleh sejumlah orang saat hendak memotret.

Sudah tidak terhitung lagi peristiwa saat ia dicekal oleh aparat keamanan. “Polisi, tentara masa-masa itu susah buat saya. Sampai saya harus dibeginiin,” terangnya seraya memeragakan tangannya diborgol.

Jongkie mengingat pasca-G30S jadi masa suram baginya. Angin segar baru berhembus kencang saat Soeharto lengser keprabon dan tampuk kekuasaan bergeser ke tangan Habibie, Megawati, Abdurahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo.

Ditolong Gusdur

Namun, nasib mujurnya paling terasa ketika Abdurahman Wahid alias Gusdur duduk di singasana RI-1. “Almarhum Gusdur membuat hidup orang-orang peranakan jadi membaik. Dia sangat baik kepada kami. Kami sangat berterima kasih. Berkat Gusdur, saya tidak takut lagi memotret segala suasana,” sergahnya.

Kini di usianya ke-77 tahun, pria yang punya nama Indonesia Daddy Budiarto tersebut selain memotret, juga menghabiskan masa tuanya dengan menjadi teller story alias penjual cerita. Segala cerita sejarah ia bagikan kepada generasi muda.

Ia pun suka menghabiskan luangnya dengan menggelar trip heritage. Tiap anak muda yang mampir ke restorannya bisa menikmati wisata sejarah dengan berkeliling kota naik becak.

“Anak muda yang tidak paham sama tempat sejarah bisa hubungi saya supaya bisa saya ceritakan kepada mereka. Karena teller story itu kan kerjaannya nyeritain sejarah. Walau data saya lebih komplit ketimbang miliknya sejarahwan,” paparnya.

Share: Kisah Jongkie Tio, Fotografer Amatir yang ‘Dimusuhi’ Rezim Soeharto