Isu Terkini

Pengamat Terorisme: Indonesia Belum Punya Standar Yang Baik Dalam Tangani Napiter

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Kerusuhan yang terjadi di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat pada Selasa, 8 Mei malam sampai hingga Rabu 9 Mei dini hari, masih terus jadi sorotan media massa. Kejadian ini diduga kuat karena ada cekcok antara tahanan dan petugas dari personel Brimob Polri.

Dalam kerusuhan itu, ada 6 orang yang tewas, 5 orang yang tewas berasal dari Korps Bhayangkara, mereka adalah Bripda Syukron Fadhli, Ipda Yudi Rospuji, Briptu Fandy, Bripka Denny, dan Bripka Iwan Sarjana. Sementara 1 orang yang meninggal lainnya adalah tahanan di Mako Brimob bernama Abu Ibrahim (Beny Syamsu).

Simpang siurnya informasi akibat polisi yang masih belum banyak memberikan keterangan, membuat kita bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya kerusuhan itu bisa terjadi di rumah tahanan sekelas Mako Brimob?

Sebelum makin penasaran, langsung aja yuk kita tanya-tanya ke pengamat CVE (Counter Violence Extremism) dan terorisme yang juga merupakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Timur Tengah dan Perdamaian Global (PSTPG) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Badrus Sholeh, PhD.

Asumsi: Bagaimana pendapat Bapak atas kejadian kerusuhan di Mako Brimob?

Badrus: Ini menjadi pelajaran penting bagi polisi Indonesia, berbagai aspek keamanan dan juga lapas yang menangani tahanan secara keseluruhan agar lebih serius lagi menangani terorisme. Memang, mulai dari proses penyidikan dan keamanan, ada peluang yang sepertinya sudah lama diincar.

Asumsi: Sampai saat ini keterangan dari Polri, penyebab kerusuhan itu dari makanan napiter yang tidak diterima. Menurut pandangan bapak sendiri, apa alasan sebenarnya? Apakah cuma karena makanan atau ada hal lain?

Badrus: Sebenernya sudah lama peraturan di Mako Brimob yang memperketat barang masuk, termasuk makanan yang dikasih ke mereka [narapidana teroris]. Mungkin barang kali mereka [polisi] mau menunjukan, bahwa tidak sembarang orang bisa masuk ke Mako Brimob. Tapi ternyata, peraturan itu mampu memicu kemarahan. Hal itu bisa dievaluasi lagi, apakah aturan itu masih bisa diterapkan atau tidak.

Asumsi: Sepengetahuan kawan-kawan wartawan, aparat keamanan di lapas selalu melucuti senjatanya di pintu masuk, karena emang dalam peraturannya enggak boleh bawa senjata di dalam lapas, tapi di Mako Brimob, napiter bisa merebut senjata petugas, ini gimana logikanya?

Badrus: Senjata bisa diambil dari tempat penyimpanan gudang penyidikan, para narapidana teroris itu sepertinya sudah mengetahui betul lokasi penyimpanan. Mereka bisa tahu lokasi itu dari proses penyidikan yang dilalui, dan mereka bisa mengetahuinya dari peta yang mungkin mereka udah punya.

Asumsi: Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) awalnya cuma untuk menahan anggota polisi yang terlibat tindak pidana, tapi sekarang koruptor bahkan teroris juga ditahan di sana, sebenarnya untuk kelas teroris itu, bagaimana standar tempat tahanannya?

Badrus: Di Nusakambagan bagus. Tapi, kita ini [Negara Indonesia] udah 13 tahun menangani terorisme, tapi [sampai saat ini] belum ada standar yang baik dalam penahanan teroris. Tahanan saat ini bisa dibilang belum cukup baik, dari aspek keamanan dan efisiensi. Mako Brimob memang dianggap tempat yang paling cocok, meskipun tidak disiapkan dari awal khusus untuk napi teroris, jadi banyak kelemahan yang bisa diambil celahnya oleh para terorisme.

Asumsi: Kabar terbaru, 155 napi dipindah ke Nusakambangan, kira-kira bakal punya pengaruh enggak?

Badrus: Memang lebih aman penahannya, tapi Nusakambangan sendiri lapasnya banyak yang sudah melebihi kapasitas, dan ini yang perlu dikhawatirkan. Perlu dilihat juga letak-letak di antara para napiter, di sana masih ada lapas yang available kah. Namun, sepertinya ini [napiter dipindah ke Nusakambangan] masih sementara.

Asumsi: Sebenarnya, napiter itu harus dipisahin tempat penahanannya atau  gimana sih Pak?

Badrus: Kalau ditempatkan di satu tempat, memang akan menguatkan kelompok mereka [napiter]. Jika kita lebih siap, seharusnya kita memisahkan mereka, agar lebih efisien juga, dan agar tidak ada celah untuk mereka berkoordinasi. Sayangnya, banyak lapas yang menolak adanya napi teroris, karena kurang siap dan bisa menimbulkan keresahan masyarakat.

Share: Pengamat Terorisme: Indonesia Belum Punya Standar Yang Baik Dalam Tangani Napiter