Kerajaan Arab Saudi kembali menegaskan aturan soal pembatasan pengeras suara di masjid yang hanya digunakan pada saat azan. Melalui Menteri Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi Sheikh Abdullatif bin Abdulaziz al-Sheikh, pernyataan yang disampaikan Senin (31/5/2021) ini menguatkan pernyataan sebelumnya yang diumumkan pekan lalu.
Dalam aturan yang baru, Kementerian Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan mengeluarkan instruksi bahwa penggunaan pengeras suara luar di masjid-masjid hanya boleh digunakan untuk azan dan ikamah yang merupakan seruan shalat dalam Islam. Sementara penggunaan lain, seperti shalat berjamaah dan khotbah, tidak diperkenankan menggunakan pengeras suara luar.
Kementerian juga mengatur batas volume pengeras suara saat digunakan eksternal, yakni tidak melebihi sepertiga dari volume maksimal.
Mengutip Saudi Gazzette, pengecualian penggunaan pengeras suara luar juga berlaku untuk ibadah Shalat Jumat dan hari raya Idulfitri serta Iduladha. Tujuannya adalah agar suara imam dapat didengar saat berkhotbah dan memimpin jamaah dalam shalat, terutama bagi mereka yang shalat di luar masjid.
Baca juga: Bapak-bapak di Bekasi Usir Jemaah Karena Pakai Masker, Klaimnya Perlu Diluruskan! | Asumsi
Mengutip Reuters, kebijakan baru perihal penggunaan pengeras suara luar ini dibuat untuk merespons keluhan masyarakat atas terlalu kerasnya volume suara pengeras suara masjid yang bisa mengganggu sebagian warga, terutama anak-anak dan orang tua. Dengan begitu, Kerajaan juga mengimbau agar orang yang hendak melaksanakan shalat berjamaah di masjid untuk datang segera tanpa harus menunggu adzan.
Sejumlah saluran televisi juga telah menyiarkan shalat dan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran. Hal ini menunjukkan penggunaan pengeras suara di masjid bisa difungsikan secara terbatas.
Mengutip Kompas, data resmi terbaru yang dikutip laman Riyadh Bureau menyebutkan, terdapat lebih dari 98.000 masjid di Arab Saudi. Saat pengeras suara belum dibatasi, suara imam, yang diperdengarkan melalui mikrofon dalam shalat berjemaah, kerap bercampur aduk antara satu masjid dengan masjid lainnya sehingga membingungkan jemaah maupun warga penghuni rumah-rumah terdekat.
Namun, mengutip Siasat, wacana pembatasan ini bukan pertama kalinya dicanangkan Kerajaan Saudi. Pada 2019, Menteri Urusan Islam telah meminta masjid untuk mengurangi pengeras suara selama bulan Ramadan tahun 2019.
Dalam sebuah video yang dirilis oleh kementerian pada April 2019, menteri Saudi meminta para imam dan muazin untuk “berbaik hati kepada jemaah di masjid dan lingkungan mereka dengan mengurangi suara-suara yang membahayakan orang.”
Selain itu, kementerian mengklarifikasi bahwa mengeraskan suara imam dalam doa khusus adalah buat mereka yang berada di dalam masjid bukan buat mereka yang ada di rumah. “Selain fakta bahwa membaca Alquran pada pengeras suara eksternal tidak menghormati Alquran, sementara tidak ada yang mendengarkan dan merenungkan ayat-ayatnya,” kata kementerian.
Diwarnai Pro-Kontra
Layaknya sebuah kebijakan, aturan baru soal pengeras suara di masjid ini juga menimbulkan pro dan kontra. Ada yang merasa terbantu, namun ada pula yang tak suka. Mereka yang tak suka membandingkan aturan pembatasan pengeras suara di masjid dengan suara musik keras di restoran-restoran dan kafe-kafe.
”Bersamaan dengan (kebijakan bahwa) bacaan ayat Al Quran melalui pengeras suara dimatikan karena mengganggu sebagian warga, kami berharap agar perhatian juga diberikan pada banyak kalangan yang terganggu dengan suara keras di restoran-restoran dan pasar-pasar,” cuit pemilik akun media sosial Twitter yang menyebut dirinya Mohammad al-Yahya.
Baca juga:Arab Saudi Resmi Buka Ibadah Haji 2021, Bagaimana Nasib Jemaah Indonesia? | Asumsi
Riyadh Bureu, sebagaimana dikutip Kompas, menyebut perdebatan seputar penggunaan mikrofon masjid-masjid di Arab Saudi telah muncul dua tahun lalu. Namun, saat itu, tidak ada keputusan tegas dari pemerintah.
Ada banyak dasar yang melandasi sikap orang-orang Arab Saudi atas penggunaan pengeras suara di masjid. Pihak yang mendukung kebijakan mengacu pada fatwa-fatwa sejumlah ulama terkemuka, antara lain, Sheikh Mohammed bin Saleh al-Othaimeen dan Sheikh Saleh al-Fozan. Adapun pihak yang menentang pembatasan penggunaan mikrofon masjid menyatakan, suara kumandang shalat dan ayat-ayat suci Al Quran membuat mereka tenang. Alih-alih mematikan pengeras suara di masjid, Kerajaan mestinya mematikan penyelenggaraan konser-konser dan acara-acara panggung musik, yang belakangan semakin marak di restoran-restoran dan tempat-tempat umum di negara itu.
Upaya Moderasi Saudi
Pembatasan penggunaan pengeras suara di masjid seiring upaya moderasi yang dilakukan oleh pemimpin de facto Arab Saudi, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman. MBS, meski dihujani banyak kritik, mulai mendorong Saudi yang lebih terbuka dan melonggarkan batasan-batasan sosial di negara kerajaan berhaluan ultra-konservatif itu.
Beberapa aturan baru yang ia buat di antaranya mencabut larangan memutar film di bioskop-bioskop, mengizinkan warga perempuan menyetir kendaraan sendiri, serta memperbolehkan percampuran di satu tempat antara laki-laki dan perempuan dalam acara-acara konser musik dan olahraga.
Bagi kebanyakan warga Arab Saudi muda, aturan ini disambut gembira. Namun bagi penentang, MBS tak segan membungkam pihak-pihak yang berlawanan pandangan dengannya. Dalam tiga tahun terakhir, Kerajaan Arab Saudi menangkap puluhan aktivis perempuan, jurnalis, serta beberapa anggota keluarga kerajaan.
Dalam polemik pengeras suara di masjid ini, misalnya, Menteri Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi Sheikh Abdullatif bin Abdulaziz al-Sheikh menyatakan, kritik atas kebijakan pembatasan penggunaan mikrofon masjid itu disebarkan oleh “musuh-musuh kerajaan yang ingin menggerakkan opini publik”.
Baca juga: Pro Palestina Bukan Berarti Anti Yahudi, Ini Alasannya | Asumsi
”Musuh-musuh kerajaan ingin menggerakkan opini publik, membangkitkan keraguan terhadap kebijakan pemerintah, dan merusak kesatuan nasional melalui pesan-pesan mereka,” ujarnya.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Di Indonesia sendiri, aturan soal penggunaan pengeras suara di masjid telah diatur melalui Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengan nomor Kep/D/101/1978 tertanggal 17 Juli 1978.
Meski tidak diatur detil, namun instruksi tersebut mengharuskan penghormatan pada masyarakat lainnya di sekitar masjid. Sebagaimana yang dikutip berikut:
“Dari beberapa ayat Alquran, terutama tentang kewajiban menghormati jiran/tetangga, demikian juga dari banyak hadits Nabi Muhammad SAW, menunjukkan adanya batasan-batasan dalam hal keluarnya suara yang dapat menimbulkan gangguan walaupun yang disuarakan adalah ayat suci, doa atau panggilan kebaikan sebagaimana antara lain tercantum dalam dalil-dalil yang dilampirkan pada keputusan Lokakarya P2A tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala”.
Sementara untuk volume memang tidak ada arahan khusus. Suara azan harus dilantunkan secara lantang sesuai tuntunan Nabi. Namun Kemenag menginstruksikan agar pelantun azan benar-benar baik sehingga meminimalisir gangguan pada yang mendengar.
“Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaiknya enak, merdu, dan syahdu”.