Film Mulan adalah pertaruhan yang tidak main-main buat Disney. Rekaan ulang dari film animasi lawas itu mendapat anggaran 200 juta dollar, dibintangi aktor-aktor Cina kenamaan, dan digadang-gadang menjadi salah satu film blockbuster unggulan Disney musim panas ini. Namun, sudah jatuh tertimpa tangga. Setelah tertunda perilisannya akibat pandemi COVID-19, kini seruan untuk memboikot film tersebut bertambah kencang dari Hong Kong hingga Thailand. Ada apakah gerangan?
Penyebabnya adalah pernyataan dari sang pemeran Mulan itu sendiri, Liu Yifei. Agustus 2019 lalu, aktris keturunan AS itu mengunggah pernyataan yang menggegerkan di akun media sosial Weibo. “Saya mendukung polisi Hong Kong,” ucapnya, singkat. “Silakan marah-marah, tapi saya malu untuk Hong Kong.” Supaya lebih paripurna, ia menambah tagar #IAlsoSupportTheHongKongPolice dan mendorong 65 juta pengikutnya untuk mengunggah pesan serupa.
Pernyataan ini jadi amat pelik, sebab pada saat itu gelombang protes pro-demokrasi di Hong Kong sedang panas-panasnya. Sekadar mengingatkan: tahun lalu, pemerintah Cina berniat mengenalkan UU ekstradisi baru untuk warga Hong Kong. Dengan aturan tersebut, tersangka kriminal manapun dapat diekstradisi ke Cina daratan “dalam keadaan khusus.”
Aktivis pro-demokrasi, warga sipil, serta sebagian politisi di Hong Kong menuding bahwa UU ini adalah cara Cina menggembosi kebebasan sipil dan berekspresi di wilayah tersebut. Pihak oposisi, aktivis yang tak setuju dengan kebijakan pemerintah, hingga siapa saja yang kritis dapat “dipulangkan” ke Cina secara semena-mena. Oleh karena itulah, jutaan warga Hong Kong turun ke jalan selama setahun terakhir dan mati-matian melawan pengesahan UU tersebut.
Sebagai aparat negara, kepolisian Hong Kong berada di garis depan dalam upaya pemerintah “mengendalikan” situasi. Taktik mereka yang penuh kekerasan dalam merepresi gerak-gerik demonstran menuai kritik dari berbagai pihak. Bentrok antara aparat dengan demonstran bahkan turut menelan korban dari jurnalis. September 2019 lalu, seorang jurnalis asal Indonesia bernama Veby Mega Indah buta di mata kanan setelah ditembak dengan peluru karet oleh polisi Hong Kong.
Hukum ekstradisi yang diprotes habis-habisan itu sudah dibatalkan. Tapi, April 2020 lalu aparat memanfaatkan kendurnya gelombang protes akibat pandemi COVID-19. Mereka mulai menangkapi aktivis pro-demokrasi, jurnalis, hingga kritikus oposisi yang berseberangan dengan kebijakan Beijing. Juni 2020 lalu, Cina meresmikan UU Keamanan yang dianggap “akhir dari Hong Kong”, sebab hukum tersebut memungkinkan siapa saja yang dinilai mengancam kedaulatan Cina di Hong Kong dihukum penjara seumur hidup.
Karena itulah, pernyataan Liu Yifei begitu kontroversial. Film yang dibikin berdasarkan cerita rakyat Cina, dengan bintang yang hampir sepenuhnya warga Cina, menyasar pasar penonton Cina, dan dengan pemeran utama yang terang-terangan mendukung polisi Hong Kong jelas mengundang penolakan. Skenario terbaik, film tersebut dinilai tak sensitif atau tak patut. Skenario terburuk, film tersebut jadi diplomasi halus bagi Cina ke dunia.
Penolakan terhadap Mulan sempat diwacanakan tahun lalu setelah Liu Yifei pertama angkat bicara ke media sosial, tapi agak mereda karena perilisan film tersebut ditunda akibat pandemi COVID-19. Namun, berhubung Disney ngotot merilis Mulan melalui platform streaming Disney +, penolakan terhadap Mulan diwacanakan kembali.
Aktivis pro-demokrasi asal Hong Kong, Joshua Wong, menyerukan agar netizen dan penikmat film di seluruh Asia memboikot film tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan Cina. Ajakan ini disambut baik oleh aktivis pro-demokrasi di Taiwan dan Thailand, yang sama-sama sedang memperjuangkan demokrasi di negara masing-masing. Para aktivis di Thailand bahkan menyebut trisula negara tersebut #MilkTeaAlliance, berdasarkan minuman teh susu yang sedang ngetren di ketiga negara tersebut.
Sobat-sobat #MilkTeaAlliance sepakat untuk rame-rame memboikot Mulan. Di Thailand, ajakan ini bertambah genting sebab gelombang protes pelajar dan mahasiswa belakangan ini terang-terangan menyerukan demokratisasi dan berkurangnya pengaruh Cina terhadap kebijakan Thailand.
Namun, ada dimensi lain yang lebih ngeri-ngeri sedap. Aktivis pro-demokrasi asal Hong Kong, Joshua Wong, menuding bahwa Disney dan studio-studio Hollywood lainnya akan terus menjilat ke Cina. Penyebabnya sederhana saja: Cina adalah pasar film terbesar kedua di dunia. Mulan hanya puncak gunung es. Ke depannya, Disney dan kawan-kawan akan terus bermanis-manis ke Cina dan para penontonnya sebab dari situlah ladang uang mereka. Terlebih lagi, Cina adalah salah satu negara yang paling cepat bangkit dari keterpurukan akibat pandemi COVID-19.
Seruan Wong dan #MilkTeaAlliance untuk memboikot Mulan mungkin tak akan berhasil menjungkalkan momentum film tersebut. Namun, ajakan itu jadi pengingat yang baik bahwa tak ada satupun hal di muka bumi ini yang lepas dari kepentingan politik dan bisnis–bahkan film adaptasi kartun sekalipun.