Budaya Pop

Kenapa Orang Keranjingan Main Animal Crossing?

Mohammad Fahmi — Asumsi.co

featured image

Anjuran swakarantina semasa pandemi mengubah banyak sekali aspek kehidupan kita. Mulai dari cara kita bekerja, berhubungan sosial, sampai ke cara menghibur diri. Kegiatan nongkrong yang biasa dilakukan di kafe kini pindah ke aplikasi seperti Zoom atau Google Hangouts. Tidak mengherankan juga jika bermain game menjadi pilihan banyak orang untuk menghabiskan waktu mereka di rumah, membuat industri video game justru mengalami peningkatan di tengah kekacauan ini. Di antara berbagai game yang dapat dipilih, genre social simulation bersinar.

Pada 20 Maret 2020, Nintendo merilis seri social simulation terbaru mereka di Nintendo Switch, Animal Crossing: New Horizons. Animal Crossing sendiri merupakan salah satu seri andalan Nintendo yang pertama dirilis di Nintendo 64 pada tahun 2001. Tapi, kepopuleran Animal Crossing tidak pernah melebihi properti-properti mereka yang lebih terkenal seperti Mario, Zelda, atau Pokémon. Cukup mengejutkan ketika Animal Crossing: New Horizons bisa menjadi sensasi yang mewabah di media sosial, bahkan sampai menciptakan kelangkaan hardware Nintendo Switch dan software Animal Crossing di Indonesia.

Apakah kepopuleran Animal Crossing dan genre social simulation hanya akibat karantina yang terjadi di seluruh dunia? Atau memang ada resep tersendiri yang bisa membuat video game tentang menjalani kehidupan sehari-hari menarik perhatian banyak orang?

Di Indonesia, genre social simulation dikenal luas sejak tahun 2000 lewat dua game yang sangat populer, apalagi kalau bukan The Sims dan Harvest Moon: Back to Nature.

Video game yang sebelumnya identik sebagai “hiburan anak cowok” tiba-tiba menjadi bahan obrolan semua anak di sekolah tanpa terkecuali. Anak laki-laki yang biasanya hanya perlu pusing melawan bos dalam game kini harus berhadapan juga dengan saudara perempuannya, berebut konsol game dan waktu bermain yang terbatas.

Ketika baru dirilis, The Sims digadang-gadang sebagai gebrakan besar di dunia game. Will Wright sebagai sang kreator mengaku terinspirasi berbagai game bergenre life-sim yang hadir sebelum The Sims. Bahkan ia juga mengatakan kalau game ini merupakan satire terhadap budaya konsumerisme di Amerika Serikat.

Namun, berbagai gebrakan dari sisi gameplay serta unsur sosial di dalamnya membuat The Sims menjadi legenda tersendiri. Kalau membicarakan game social simulation, ya The Sims.

Berbeda dari The Sims yang merupakan game perdana dari seri yang masih bertahan sampai sekarang, Harvest Moon yang telah memiliki empat iterasi untuk mesin-mesin milik Nintendo baru menemukan kepopuleran di Indonesia lewat game kelima, yang juga merupakan game pertama seri ini di PlayStation, Harvest Moon: Back to Nature.

Agak mengejutkan kenapa perlu lima game sampai seri ini dikenal orang Indonesia. Bisa jadi, kepopuleran PlayStation di sini menjadi salah satu alasannya. Ditambah fakta kalau akses membeli game bajakan di konsol PlayStation jelas lebih murah dan mudah dibanding di Nintendo 64 ataupun Gameboy yang sebelumnya menjadi rumah dari seri Harvest Moon.

Jujur saja, sebagai seorang gamer, saya tidak bisa menikmati game bergenre social simulation. Saya bermain untuk menikmati narasi atau menjalani kehidupan penuh fantasi, jadi konsep menjalani kehidupan kedua di mana saya harus bekerja, menyeimbangkan waktu sosial dan pribadi, serta dikejar-kejar rentenir seperti Tom Nook di seri Animal Crossing terdengar seperti sebuah beban, bukan hiburan.

Lain saya, lain Irene, 31 tahun, yang merupakan penggemar genre social simulation. “Yang aku mainkan cukup banyak ya, mulai dari Animal Crossing, Story of Seasons (judul baru seri Harvest Moon), Fantasy Life, Stardew Valley, dan My Time at Portia,” ujar Irene.

“Genre ini bisa dibilang cukup luas. Kalau Animal Crossing sendiri menurutku menyediakan pengalaman hidup yang simpel, di mana orang bisa relaks dari kehidupan nyata yang cukup bikin mumet. Game ini juga punya grafis yang lucu dan penuh warna.

Animal Crossing juga membantu saya mengisi waktu dengan beragam NPC (karakter yang tak dimainkan pemain) yang unik sebagai pengganti di saat saya tidak bisa ke mana-mana sekarang, ditambah lagi di game baru ini kita bisa bertemu sesama pemain lain dengan fitur online yang disediakan,” kata Irene.

Berbeda dari Irene, Sarah, 27 tahun, tidak dapat menikmati game ini meskipun merupakan penggemar genre social simulation. “Saya tidak punya Switch dan harganya sedang tinggi-tingginya sekarang, bisa dua kali lipat harga normal, baik konsol maupun game Animal Crossing sendiri. Mungkin tunggu dolar turun baru saya akan beli,” jelas wanita yang bekerja di salah studio game lokal ini.

Walaupun tidak bisa menikmati Animal Crossing di Switch, Sarah mengaku ia masih tetap bermain game social simulation. “Sekarang suka main Stardew Valley, My Time at Portia, dan Animal Crossing: Pocket Camp di handphone karena tidak bisa main yang di Switch,” ujarnya.

Di tengah masa karantina pun, Sarah menceritakan alasan yang sama dengan Irene soal efek diberikan game bergenre ini ketika ia sedang tidak bisa bertemu orang lain. Namun saat ditanya alasan kenapa ia menyukai simulasi kehidupan di judul-judul favoritnya, ia justru fokus kepada fantasi kehidupan yang disajikan.

“Sejujurnya di game life-sim walau kesannya kayak kehidupan biasa dan begitu-begitu saja, tapi kita bisa mewujudkan mimpi-mimpi kecil kita di game. Punya rumah besar, beli baju lucu, punya perabotan yang disuka, bisa cat tembok rumah sesuka hati, pacarin yang paling ganteng atau cantik di desa, bisa menentukan apa yang dimau. Pokoknya things that we cannot do or achieve in real life,” jelasnya.

Sebagai orang yang berprofesi sebagai desainer game, saya pun penasaran sebenarnya apa sih rahasia yang membuat game bergenre social simulation atau life-sim ini bisa begitu digandrungi. Saya pun menghubungi Matthew Taylor yang biasa disapa Matt, desainer game dari tim developer indie, Catch & Release.

Matt bersama saudara lelaki dan lima kawannya saat ini tengah menggarap Rolling Hills, sebuah game life-sim yang menempatkan pemain sebagai koki sushi yang membuka restoran baru di desa yang tenang, sambil berusaha berteman dengan orang-orang desa tersebut.

“Kami selalu suka game yang lucu seperti Animal Crossing dan Fantasy Life. Game kami sebelumnya mengandung unsur kekerasan, jadi kami ingin mengubah suasana. Popularitas game indie berjudul Ooblets membuat kami yakin bahwa ada minat yang besar terhadap genre ini dan game seperti ini bisa dibuat dengan tim yang kecil,” jawab Matt ketika saya menanyakan alasannya membuat Rolling Hills.

Bagaimana aktivitas sehari-hari yang membosankan bisa dibuat menjadi seru dalam sebuah game? Apakah ada rahasia tertentu yang bisa membuat bekerja dan bangun pagi menjadi menyenangkan?

“Saya percaya ada dua kunci utama untuk menjawab pertanyaan tersebut, kontrol dan simplifikasi,” jelas Matt.

“Kontrol dalam artian pemain memiliki kontrol yang lebih besar kepada kehidupan virtual mereka dibanding dengan kehidupan nyata. Entah itu dengan mengizinkan mereka menghabiskan malam dengan memancing dan memetik buah, atau bagaimana mereka bisa menentukan di mana jembatan baru di desa akan dibangun.

“Simplifikasi berarti meskipun game berusaha untuk mengemulasi berbagai aspek dalam kehidupan nyata, tapi aspek-aspek tersebut dibuat lebih simpel. Sebagai contoh, jual-beli adalah konsep yang sangat manusiawi, tapi hanya di video game kamu dapat menghabiskan waktu mengumpulkan rumput dan menjualnya sampai kamu mampu membeli kulkas! Game memberikan penghargaan atas kerja kerasmu dengan cara yang jarang bisa terjadi di kehidupan nyata,” tutup Matt.

Mendengar penjelasan dari Irene, Sarah, dan Matt cukup membuka mata saya mengapa aktivitas sehari-hari, hal yang bisa dibilang dangkal, bisa menjadi pesona tersendiri ketika dibungkus dalam game bergenre social simulation.

Mungkin saja game seperti Animal Crossing: New Horizons tetap memaksa pemainnya untuk bekerja dan mengumpulkan uang seperti di dunia nyata. Tapi segalanya disajikan dengan lebih simpel dan mudah, serta dipoles dengan tampilan yang lucu.

Menghadapi rentenir memang mengerikan, tapi jika ia berwujud rakun lucu seperti Tom Nook, mungkin rasanya lebih menenangkan dan tidak bikin stres. Belum lagi kegiatan seperti bercocok tanam di genre social simulation bisa kamu lakukan tanpa perlu berpanas-panasan dan menguras keringat.

Fakta bahwa saat ini kita sedang menghadapi pandemi yang membuat kegiatan bersosial di dunia nyata menjadi sulit tentunya menjadi pendorong untuk kepopuleran tak terduga dari sebuah genre yang sudah populer dari sananya. Setidaknya, jika kita tidak bisa mengundang kawan kita untuk main ke rumah, kita bisa mengundang mereka untuk main ke rumah virtual kita yang lebih lucu, penuh warna dan dekorasi unik, dengan cicilan ringan yang diberikan oleh seekor hewan menggemaskan berkemeja Hawaii.

*Mohammad Fahmi adalah pengembang game independen asal Jakarta. Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai jurnalis game. Ia dapat ditemukan di dunia maya di @fahmitsu.

Share: Kenapa Orang Keranjingan Main Animal Crossing?