Budaya Pop

Kenapa Novel Diadaptasi Jadi Film?

Christoforus Ristianto — Asumsi.co

featured image

Novel Kevin Kwan berjudul Crazy Rich Asians terbit pada tahun 2013 dan masuk daftar novel terlaris di dunia. Dilansir dari The New York Times (19/8/2018), Kwan menyatakan, kisah dalam novel tersebut berdasarkan pengalaman masa kecilnya di Singapura. Dirinya menggambarkan apa yang terjadi di kalangan orang kaya di Asia, khususnya keturunan Tionghoa di Singapura yang diwakili kisah keluarga Nicholas Young. Cerita yang dikemas lengkap ini menyiratkan makna kekayaan dan warisan turun-temurun, hukum sebab-akibat, serta cerita cinta Nick Young dan Rachel Chu.

Kemudian, Crazy Rich Asians diikuti oleh dua sekuel novel lainnya, yaitu China Rich Girlfriend (2015) dan Rich People Problems (2017). Tahun 2018, sutradara John M.Chu mengadaptasi dari novel tersebut dengan menginterpretasikan kembali buku setebal 544 halaman dalam durasi 121 menit. Bak seperti mimpi, Kwan tersontak lantaran kisahnya bisa divisualkan secara apik oleh Chu hingga menjadi nomor satu Box Office Hollywood.

Selain Crazy Rich Asians, adaptasi film dari sebuah novel juga terjadi di Indonesia. Dalam waktu dekat ini, ada film Aruna dan Lidahnya yang tayang pada 27 September 2018. Film garapan sutradara Edwin tersebut mengadaptasi dari novel berjudul serupa karya Laksmi Pamuntjak tahun 2014.

Novel dengan tebal 428 halaman ini mengisahkan Aruna (Dian Sastrowardoyo) yang bertugas menyelidiki kasus flu unggas secara serentak di delapan kota seputar Indonesia. Selama perjalanan tugasnya tersebut, Aruna menyisihkan waktu guna mencicipi kekayaan kuliner lokal bersama dua temannya, koki bernama Bono (Nicholas Saputra) dan kritikus kuliner bernama Nad (Hannah Al Rashid).

Di pertengahan jalan, mereka bertemu dengan Farish (Oka Antara), mantan teman kantor Aruna. Selama menyantap ragam kuliner di delapan kota tersebu, mereka juga membahas tentang politik, agama, sejarah lokal, realita sosial, korupsi, kolusi, konspirasi, dan misinformasi seputar politik kesehatan masyarakat. Terdapat juga romansa cinta, pertemanan, dan kisah-kisah mengharukan yang mempersatukan sekaligus merayakan perbedaan antarmanusia.

Proses Adaptasi

Di awal tahun 2018, dikutip dari filmindonesia.org, film bergenre drama Dilan 1990 menggebrak penikmat film Tanah Air dengan mencetak rekor film teratas dalam perolehan jumlah penonton tahun 2018 dengan 6.315.664 juta. Film arahan Fajar Bustomi ini kini berada di peringkat kedua dalam daftar film terlaris sepanjang tahun 2007-2018. Adapun film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 berada di peringkat pertama dengan 6.858.616 juta penonton.

Kendati demikian, Dilan 1990 merupakan film adaptasi novel terlaris di Indonesia karena mampu mengalahkan rekor Laskar Pelangi dengan 4.719.453 juta penonton. Tak ayal, praktik adaptasi novel untuk dijadikan sebuah film kini kian populer.

Dalam sebuah lokakarya di Indonesia International Book Festival (IIBF) 2018 bertajuk “Memfilmkan Buku dan Membukukan Film”, Sabtu (15/9/2018), Fajar Bustomi bercerita, pada tahun 2013, dirinya mendapatkan tawaran besar dari sebuah rumah produksi film untuk menggarap empat film. Kala itu, Fajar juga baru saja menyelesaikan novel Dilan 1990 karya Pidi Baiq.

“Saya tertarik karya Pidi Baiq karena Dilan datang ke perempuan untuk memberikan kebahagiaan,” tuturnya.

“Ketika saya ngobrol sama Pidi Baiq, dia bilang kalau Dilan sangat menghargai perempuan. Saya datang ke dia dan ngomong apa adanya. Kebetulan, Pidi percaya sama saya.”

Kepercayaan Pidi tersebut tidak ingin dirusak oleh Fajar. Maka dari itu, lanjut Fajar, dirinya enggan mengecewakan seniman asal Bandung tersebut.

“Ada hambatan ketika Pidi ingin semua isi novelnya yang berjumlah 332 halaman dipindahkan ke dalam film. Saya berpikir, biasanya, 1 menit dalam sebuah film ya 1 halaman novel. Saya jelaskan ke Pidi bahwa kita punya batasan, yaitu durasi,” imbuhnya.

Kendati demikian, seperti diungkapkan Fajar, dirinya secara pelan-pelan memberikan pemahaman yang jelas ke Pidi mengenai proses adaptasi novel ke film. Ia menegaskan, sosok Dilan dalam novel ditampilkan secara utuh di film.

Lulusan Institut Kesenian Jakarta tahun 2001 ini juga harus mengikuti arahan Pidi dalam mencari artis yang cocok memerankan Dilan. Fajar menyebutkan, sederet artis papan atas ditolak oleh Pidi sehingga proses pencarian peran Dilan menyita waktu selama satu tahun.

“Waktu itu sudah ada satu artis yang dinilai cocok. Ketika mau mulai syuting, Pidi tiba-tiba membatalkan. Satu tahun kemudian, munculah Iqbal Ramadhan yang bersaing dengan empat artis lainnya. Akhirnya, Pidi memutuskan Iqbal yang berperan sebagai Dilan,” ucapnya.

Sementara itu, produser Aruna dan Lidahnya, Meiske Taurisia menyatakan, dibandingkan Dilan 1990, film yang menampilkan kuartet artis papan atas Indonesia ini lebih mudah dalam proses adaptasi novel ke film. Pada tahun 2014, seorang temannya merekomendasikan untuk membaca novel Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak.

“Novel ini memotret dinamika manusia di umur 30-an. Ini sesuatu yang berbeda karena kita kerap mengabaikan masa-masa di umur tersebut sehingga banyak yang menganggap kehidupan menjadi boring,” kenang produser berumur 44 tahun ini.

“Akhirnya, saya mulai untuk mengadaptasi novel ini ke film. Sebenarnya, praktik adaptasi ini adalah metode klasik. Tapi, cerita di novel ini memiliki relevansi dan kedekatan untuk saya.”

Serupa seperti Fajar, Meiske juga memohon izin kepada Laksmi Pamuntjak yang empunya cerita. Meiske tersontak kala Laksmi membebaskan dirinya untuk menginterpretasi novel Aruna dan Lidahnya. Pemiliki perusahaan produksi Babibuta Films ini bercerita, Mbak Laksmi, panggilan Meiske ke Laksmi, bahkan meminta dirinya untuk memasukkan bagian-bagian yang tidak ada di novel.

“Mbak Laksmi bilang ke saya kalau film itu punya gayanya sendiri. Novel dan film ya saling komplementer, bukan kompetitor,” papar Meiske.

Meiske menambahkan, proses tersebut ia namakan sebagai adaptasi lepas. Tetap menjaga karakter pemain meskipun hasilnya tidak sama dengan naskah di novel. Meiske juga menciptakan hubungan karakter yang tidak ada di novel.

“Ini risiko yang enggak bisa kita hindarkan. Kita diberi kebebasan untuk menginterpretasikan itu ketika saya ngobrol dengan mbak Laksmi,” ujarnya tegas.

Di luar itu, lanjut Meiske, Laksmi tetap mendapatkan kuasa untuk mengkritik naskah film yang digarap oleh Titien Watttimena. Dirinya juga memberikan informasi terkini perkembangan skenario yang digarap sehingga sang penulis novel mengetahui arah atau tujuan film Aruna dan Lidahnya.

Bukan Hal Baru

Selaras dengan pernyataan Meiske, proses adaptasi novel ke film adalah sebuah metode klasik. Sebenarnya, perfilman di Indonesia sudah hampir seratus tahun mengenal praktik tersebut, yaitu pembuatan film berdasarkan cerita dalam media non-film.

Dalam Katalog Film Indonesia (2007) karya JB Kristanto, dicatat pelbagai contoh film yang diangkat dari karya puisi (a.l. Siti Akbari [1940], Kerikil-kerikil Tajam [1984]), novel (a.l. Boenga Roos dari Tjikembang [1931], Ayat-ayat Cinta [2008]), cerita rakyat (a.l. Loetoeng Kasaroeng [1926], Sangkuriang [1982]), komik (a.l. Sri Asih [1954], Si Buta Dari Gua Hantu [1970– 1990]), cerita pendek (a.l. Pegawai Tinggi [1955], Mereka Bilang, Saya Monyet! [2008]), cerita panggung (a.l. Tjitra [1949], Dr Samsi [1954]), lagu (a.l. Bengawan Solo [1949], Aku Cinta Kamu [2014]), blog (a.l. Kambing Jantan [2009]), drama radio (a.l. Misteri dari Gunung Merapi [1989–1990]), dan “kisah nyata” (a.l. Perawan Desa [1978], Habibie dan Ainun [2012]). Istilah “kisah nyata” ditulis dalam tanda kutip karena kisah-kisah tersebut mengalami penyederhanaan dan/atau fiksionalisasi ketika dilibatkan media (berita, buku, dan sebagainya) dan dalam proses perfilman.

Jenis film hasil adaptasi yang paling banyak diproduksi adalah film adaptasi novel. Tercatat lebih dari 240 contoh dalam sejarah perfilman Indonesia (Woodrich, 2014). Praktik adaptasi ini dianggap memiliki beberapa keunggulan, seperti sudah tersedianya cerita untuk difilmkan.

Menurut Saputra (2009), film hasil adaptasi juga diandalkan oleh produser dan sutradara karena novel sudah memiliki audiens (pembaca) yang diharapkan akan menonton film yang dihasilkan. Mengadaptasi novel yang dibaca oleh ribuan pembaca, seperti misalnya Badai Pasti Berlalu (40,000 pembaca) dan Ayat-ayat Cinta (750,000 pembaca), diharapkan mampu meningkatkan pendapatan film.

Share: Kenapa Novel Diadaptasi Jadi Film?