Isu Terkini

Kenapa Aparat Mengawal New Normal di 4 Provinsi Ini?

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Pemerintah berencana mengerahkan ratusan ribu aparat TNI dan Polri ke empat provinsi untuk mengawal masyarakat menyongsong kelaziman baru (new normal) selama pandemi COVID-19. Rencana ini dibeberkan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam jumpa pers di Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta, hari ini (26/5).

Rinciannya, 340 ribu personel gabungan TNI dan Polri untuk 1.800 titik yang tersebar di 25 kabupaten/kota di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Gorontalo. “Objeknya adalah tempat-tempat lalu lintas masyarakat, pasar-pasar rakyat, kemudian tempat pariwisata,” tutur Hadi.

“Pendisiplinan protokol kesehatan” tersebut akan dilakukan secara bertahap. Aparat akan menyisir sarana transportasi publik, pusat perbelanjaan, dan tempat umum seperti restoran. Beberapa protokol yang akan mereka terapkan adalah penggunaan masker, menjaga kebersihan, hingga pembatasan pengunjung.

“Kita atur, contohnya adalah mal berkapasitas seribu, akan kita izinkan 500 saja dan kita awasi. Termasuk rumah makan, 500 hanya 200. Kerja sama TNI/Polri dan pemda, termasuk koordinasi gugus tugas,” ucap Marsekal Hadi.

Dalam jumpa pers saat meninjau kesiapan penerapan kelaziman baru di Mall Summarecon Bekasi, Jawa Barat, Selasa (26/5), Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah ingin “produktif tapi aman” dari COVID-19. “Kita ingin TNI-Polri ada di setiap keramaian, untuk lebih mendisiplinkan masyarakat agar mengikuti protokol kesehatan,” tuturnya.

Namun, Menko Polhukam Mahfud MD menyangkal bahwa pemerintah telah memiliki kebijakan khusus tentang kelaziman baru. “Sekarang ini pemerintah, saya katakan sebagai Menko Polhukam, ada wacana, belum keputusan wacana bagaimana tentang new normal ini,” ucap Mahfud dalam sambutannya di acara Halal Bihalal UNS, Selasa (26/5).

Meskipun begitu, Mahfud menyatakan pemerintah pusat telah menerima tiga permodelan matematis terkait penyebaran COVID-19 dalam sidang kabinet. Model tersebut dikembangkan oleh Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kantor Staf Presiden.

“Dan ketemu semua. Oh, ini ada penurunan kalau ada pembatasan gerakan. Semua bisa dihitung, Jakarta kan sekarang 0.9, tapi di sisi lain ada yang tinggi sekali seperti di Gorontalo, di Jatim,” kata Mahfud.

Wacana memuluskan transisi menuju kelaziman baru ini dikritik oleh epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Dr. Pandu Riono. Kata Pandu, seharusnya pemerintah melakukan pendidikan publik soal apa yang dimaksud dengan “new normal” alias kelaziman baru sebelum melakukan pendisiplinan.

“Kita bicara normal baru, memangnya ada normal yang lama? Bagaimana kondisi ini diimplementasikan dalam masing-masing sektor?” ucap Pandu. “Mungkin [langkah ini] memang sifatnya edukasi, tapi yang melakukan edukasi adalah tentara.”

Bagi Pandu, pendisiplinan dan edukasi publik yang ideal sudah terlambat. Seharusnya, intervensi dilakukan sejak lama. “DKI Jakarta, misalnya, sempat mengalami penurunan pertumbuhan kasus secara signifikan, kemudian saat terjadi perubahan perilaku masyarakat, selama bulan Ramadan tren penurunan terhenti,” ungkap Pandu.

Namun, ia memahami kenapa pemerintah ragu menerapkan pendisiplinan menjelang Ramadan. “Kalau berkaitan dengan agama dan kepercayaan kan berpotensi menimbulkan konflik. Kalau habis ini dilakukan kan aman, karena tidak ada event besar yang berbasis keagamaan,” lanjutnya.

Ia pun menyoroti keputusan Presiden Jokowi mengunjungi pusat perbelanjaan bersamaan dengan pengumuman menggandeng aparat. “Kalau dipikir-pikir, buat apa presiden lihat mal?” tanyanya. “Mungkin pusat kegiatan ekonomi mau dibuka, dan sektor ekonomi ritel paling parah. Karena stok baju lebaran tidak laku.”

Pemilihan Gorontalo, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Barat sebagai empat provinsi percontohan yang disatroni aparat juga mengundang pertanyaan. Pasalnya, di atas kertas, keempatnya bukan wilayah dengan jumlah kasus positif terbanyak.

Menurut data Kemenkes akhir pekan (24/5) lalu, misalnya, provinsi di luar Jawa yang paling babak belur akibat COVID-19 adalah Papua (556 kasus), Kalimantan Selatan (599), Sumatera Selatan (736), dan Sulawesi Selatan (1296). Adapun di pulau Jawa, kondisi di Jawa Timur (3886 kasus) jauh lebih parah ketimbang Jawa Barat (2113 kasus).

Keempat wilayah tersebut juga telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Di Jawa Barat, PSBB berlangsung di berbagai wilayah sejak 15 April 2020, mengacu pada Pergub Jabar No. 27 tahun 2020, dan diperpanjang hingga 29 Mei 2020. Di Sumatera Barat, PSBB tahap pertama dimulai pada 22 April 2020 dan diperpanjang hingga 29 Mei 2020.

Permintaan PSBB Gorontalo sempat ditolak Menkes Terawan Agus Putranto, sebelum akhirnya diterima pada 28 April 2020. Gubernur Gorontalo Rusli Habibie juga telah memperpanjang PSBB Gorontalo sampai 1 Juni 2020.

DKI Jakarta adalah provinsi pertama yang menerapkan PSBB di Indonesia. PSBB tahap pertama diterapkan di ibu kota pada 10 April dan terus diperpanjang hingga 4 Juni 2020.

Kata Pandu, boleh jadi pemerintah justru hendak mengawal pelonggaran PSBB di keempat wilayah tersebut sebab ada indikasi penurunan jumlah kasus di sana. “Gorontalo saya tidak tahu persis, tapi tiga wilayah lain itu cenderung menurun pertumbuhan kasusnya,” ucap Pandu. “Kalau tidak terjadi apa-apa, seharusnya awal Juni memang mulai bisa dilonggarkan.”

Khusus DKI Jakarta, risiko lain yang patut dipertimbangkan adalah arus balik pemudik. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan bahwa menurut pantauan pemerintah, kasus COVID-19 di DKI Jakarta sebenarnya berangsur-angsur menurun. “Tapi kalau pemudik kembali lagi ke Jakarta dan bawa penyakit, bisa jadi gelombang kedua,” tuturnya dalam konferensi pers BNPB, hari ini (26/5).

Dalam kasus Jawa Barat, penerapan PSBB telah menekan jumlah penyebaran COVID-19. Akhir pekan lalu (24/5), Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyampaikan bahwa jumlah kabupaten/kota Jabar yang zona merah menurun dari 27 hingga 3 daerah saja. Sedangkan, 5 kabupaten/kota berhasil masuk jadi zona biru.

Namun, bukan berarti pemerintah sudah bisa berpuas diri. Menurut Gugus Tugas Penanganan COVID-19, sebetulnya belum ada satu pun wilayah di Indonesia yang layak menerapkan kelaziman baru. Meski penurunan kasus atau melambatnya pertumbuhan kasus merupakan indikasi positif, bukan berarti wilayah-wilayah tersebut siap melonggarkan PSBB.

Wiku Adisasmito mengatakan salah satu syarat suatu wilayah dinyatakan siap melaksanakan aktivitas sosial ekonomi adalah jika mengalami penurunan jumlah kasus positif setidaknya 50 persen selama dua minggu sejak puncak terakhir.

Adapun dalam data yang dipaparkannya (26/5), angka ini belum dicapai wilayah manapun. Jawa Timur mengalami kenaikan 133 persen, Jawa Barat naik 110 persen, Jawa Tengah naik 15,5 persen, DKI Jakarta “baru” turun 17,6 persen, dan Yogyakarta turun 41 persen.

Hari ini, Indonesia mencatat 415 kasus baru positif COVID-19 dalam sehari, dengan jumlah keseluruhan 23.165 kasus, 1.418 orang meninggal dunia, dan 5.877 pasien dinyatakan sembuh. Terdapat 65.748 orang dalam pemantauan (ODP) dan 12.022 pasien dalam pengawasan (PDP). COVID-19 telah menyebar ke 34 provinsi dan 406 kabupaten/kota.

Share: Kenapa Aparat Mengawal New Normal di 4 Provinsi Ini?