Isu Terkini

Menkumham Tanggapi Penolakan RKUHP: Jangan Dipelintir

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, melakukan konferensi pers untuk menjawab kritik dan penolakan masyarakat terhadap isi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di Gedung Kemenkumham pada 20 September 2019.

“Jangan di-twist lagi beritanya,” kata Yasonna kepada wartawan sebelum memulai pembahasan. Ia berpendapat bahwa pemberitaan tentang RKUHP selama ini adalah hasil mispersepsi, gempar karena pasal dibaca terpisah dari penjelasannya. Yasonna juga menganggap berita dari Reuters dan media-media internasional lain keliru, sebab seolah-olah pemerintah hendak menggunakan RKUHP buat memburu dan memenjarakan jutaan orang.

Yasonna mengklarifikasi enam poin utama yang ramai dipermasalahkan selama ini: pasal penghinaan terhadap Presiden dan pemerintah, perkara unggas, alat kontrasepsi, perzinaan, denda terhadap orang yang bergelandang, dan tindak pidana korupsi.

“Pertama, perihal penghinaan Presiden Pasal 218. Ini merupakan delik aduan. Dan bukan penghinaan, tapi istilahnya adalah merendahkan harkat martabat Presiden dan Wakil Presiden personally. Tidak akan dapat diberlakukan kalau itu untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Jika kritik kebijakannya, tidak masalah. Tapi bukan berarti Presiden bisa dicaci-maki harkat dan martabatnya,” kata Yasonna.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah membatalkan pasal ini di KUHP, tetapi Yasonna mengatakan bahwa perancangan pasal ini telah mempertimbangkan keputusan Mahkamah Konstitusi. “Jangan dikatakan ini membungkam kebebasan pers,” kata Yasonna.

Ia juga menjelaskan bahwa pembuktian untuk pasal penghinaan ini tidak sembarangan. Pihak yang dapat dipidana oleh pasal ini adalah jika perkataan orang tersebut mengakibatkan terjadi huru-hara dan kerusuhan.

Hal yang sama berlaku untuk kritik terhadap pejabat-pejabat negara dan pemerintah. “Saya beri contoh, ya. Saya sebagai Menteri Hukum dan HAM berbeda dengan saya sebagai Yasonna Laoly. Kalau Anda mengatakan kepada saya bahwa saya tidak becus mengurus undang-undang, itu sah-sah saja. Saya kan pejabat publik. Tapi kalau Anda bilang saya anak haram, kukejar kau sampai ke liang lahat. Itu bedanya,” lanjut Yasonna.

“Kedua, tentang pembiaran unggas Pasal 278. Ini ada di KUHP. Justru ancamannya kita buat Kategori II, lebih rendah dari apa yang ada di KUHP. Kenapa masih diatur? Karena kita ini masih ada desa, masyarakat kita sebagian besar agraris, di mana banyak petani, banyak sawah, dan ada saja orang yang usil. Mereka nggak dipidana penjara, hanya didenda,” jelas Yasonna.

Pasal 278 menyatakan bahwa setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah milik orang lain dihukum dengan pidana denda paling banyak Kategori II. Nilai pidana denda kategori II paling banyak adalah Rp10.000.000 rupiah, sementara pada KUHP saat ini (pasal 548 KUHP) yang berlaku sejak zaman kolonial Belanda, ancaman pidana denda sebesar Rp225. Merujuk Perma No. 2 tahun 2012, jumlah itu disesuaikan dengan cara dikalikan 1.000: Rp225.000.

“Tidak dipenjara. Jangan dikatakan mengkriminalisasi,” kata Yasonna.

“Yang berikutnya, ketiga, tentang menunjukkan alat kontrasepsi (Pasal 414). Ini ada di KUHP. Ada di UU Kesehatan. Ancaman hukum pidana lebih rendah dari KUHP yang ada. Ketentuan ini memberikan perlindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas. Tidak menjerat orang dewasa. Beberapa pengecualian jika dilakukan untuk program keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan. Tidak dipidana jika dilakukan oleh orang yang kompeten yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang,” tutur Yasonna.

“Keempat, tentang perzinaan (Pasal 417). Pasal ini juga sudah ada di KUHP. Tidak ada yang baru di sini. Ini adalah delik aduan. Pengaduan dibatasi oleh orang-orang yang paling kena dampaknya. Kalaupun Kepala Desa mengadu, harus dengan persetujuan tertulis orang tua. Kalau kami tidak atur nanti pemerintah dituduh menyetujui perzinaan,” ujar Yasonna.

Yasonna menyayangkan pemberitaan media Australia bahwa turis-turis yang hendak ke Bali akan dipidana jika terbukti melakukan perzinaan. “Ya, kalau orang tua mereka mengadu, iya. Which is I don’t believe it. Tapi jangan di-twist seolah-olah dunia akan kiamat dan kita mau menangkapi semua orang,” jelas Yasonna.

“Kelima, tentang orang yang bergelandang (Pasal 432). Justru, di RKUHP ini dikurangi hukumannya. Dimungkinkan hukuman kerja. Ditangkap gelandangannya, disuruh kerja oleh hakim. Dalam hukum Belanda justru adalah perampasan kemerdekaan. Kalau ini tidak,” tutur Yasonna.

“Keenam, tentang aborsi (Pasal 470). Ini juga ada di undang-undang yang sekarang. Ancamannya berat, 12 tahun. Tapi kan dunia sudah berubah. Maka diatur pidana yang lebih rendah. Dan tidak berlaku bagi korban perkosaan maupun alasan medis,” lanjut Yasonna. Ia kembali menekankan bahwa hukum ini tidak diciptakan pemerintah secara tiba-tiba, melainkan telah dibahas juga dalam KUHP.

Yasonna mengatakan hukuman bagi pelaku aborsi telah lebih ringan dari KUHP. Namun, Pasal 346 KUHP menyatakan bahwa seorang perempuan yang sengaja menggugurkan kandungannya dapat dipidana paling lama empat tahun, sama saja dengan isi RKUHP kini.

Tentang Pasal Tindak Pidana Korupsi (Pasal 605), Yasonna menyatakan bahwa pidana paling singkat dua tahun dan paling lama 20 tahun ini ditujukan kepada pejabat negara yang menyelewengkan jabatannya. Hukuman ini lebih besar daripada UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) No. 31 Tahun 1999 yang pidana penjara paling singkatnya adalah selama satu tahun.

“Kami merancang agar hukuman kepada pejabat negara tidak disamakan dengan kepada masyarakat sipil. Supaya jadi lebih besar,” tutur Yasonna.

Namun, Yasonna tidak menguraikan Pasal 604 RKUHP. Pasal ini menyatakan setiap orang yang melakukan korupsi dapat dipenjara selama paling singkat dua tahun. Sementara itu, Pasal 2 Undang-undang Tipikor memberikan hukuman yang lebih lama, yaitu paling cepat selama empat tahun.

Yasonna berkata RKUHP telah disusun sedemikian rupa agar lebih relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. “Jika tidak disahkan dan kembali ke KUHP lama, justru hukumannya lebih berat dan jauh dari nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia. Pers asing yang seharusnya lebih kredibel justru membingkai bahwa pemerintah sedang bernostalgia dengan hukum kolonial,” katanya.

Yasonna menolak menjelaskan lebih lanjut tentang pasal-pasal penghinaan yang multitafsir dan rentan dipakai menjerat orang yang menyuarakan aspirasi atau kritiknya. “Sudah jelas dibahas di sini (naskah RKUHP),” kata Yasonna.

Sekalipun telah disahkan, kata Yasonna, RKUHP tidak langsung berlaku. “Ada sosialisasi dahulu kepada penegak hukum, pengacara, hakim, dan pendidik supaya tidak salah mengajarkan,” kata Yasonna. Jika dirasa ada pasal yang melanggar hak konstitusional, undang-undang tersebut bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Ia juga mengatakan bahwa kebebasan itu ada batasnya. “Kebebasan yang sebebas-bebasnya itu bukan kebebasan. Itu anarki. Maka dari itu dibuat undang-undang,” tegas Yasonna.

Share: Menkumham Tanggapi Penolakan RKUHP: Jangan Dipelintir