General

‘Kekhawatiran’ Jokowi dan Potensi Hasil Survei yang Bisa Saja Meleset

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Hasil survei dari berbagai lembaga survei dalam beberapa waktu terakhir selalu menempatkan Presiden RI Joko Widodo di tempat teratas sebagai sosok yang berpeluang menang pada kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Namun, hasil positif itu justru tak membuat Jokowi jemawa. Ia terlihat tak ingin berpegang penuh dari hasil survei sebagai tolok ukur untuk menghadapi pilpres.

Bahkan, Jokowi mengingatkan kepada tim kampanyenya bahwasanya hasil survei pilpres bisa saja meleset terhadap hasil nyata dari kontestasi politik sebenarnya. Calon presiden nomor urut 01 itu mengatakan hal itu bisa dipengaruhi oleh adanya perubahan kondisi politik dan ekonomi global yang bisa berdampak ke situasi nasional. Ia mencontohkan hasil nyata yang dialami David Cameron.

“Tiga minggu sebelum referendum Brexit (British Exit), saya bertemu dengan PM Inggris, David Cameron. Pak Cameron referendumnya bagaimana kira-kira. Dia jawab, Presiden Jokowi pasti kita menang besar, bukan sedikit,” kata Jokowi di Jambi, Minggu, 16 Desember 2018 mengutip pembicaraannya dengan David Cameron.

Lalu ternyata harapan Cameron untuk menang besar pada referendum Brexit tersebut justru meleset. “Artinya perkiraan-perkiraan itu meleset,” ucap Jokowi pada pembekalan calon anggota legislatif dan rapat Tim Kampanye Daerah (TKD) di Hotel Abadi, Jambi.

Perlu diketahui bahwa pencabutan keanggotaan Britania Raya dari Uni Eropa (UE) atau Brexit terjadi berdasarkan hasil dari referendum Brexit yang diadakan pada Kamis, 23 Juni 2016 lalu. Referendum itu sendiri diikuti 30 juta pemilih, dengan hasil 51,9 persen memilih untuk keluar dari Uni Eropa dan 48,1 persen memilih untuk tetap tergabung dengan Uni Eropa.

Kalahnya Hillary Clinton di Pemilu AS 2016

Tak hanya Cameron saja yang gagal dan tak sejalan dengan hasil sebuah survei politik. Jokowi juga memberikan contoh lain dari hasil survei yang meleset jauh dari perkiraan. Contoh itu adalah ketika calon presiden Hillary Clinton bertarung menghadapi calon presiden lainnya yakni Donald Trump pada pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) pada 2016 lalu. Hillary yang selalu menang dalam berbagai hasil survei justru takluk dari Trump di pilpres sebenarnya.

Baca Juga: Pengaruh Kuat Media Sosial dalam Dunia Politik

“Semua survei mengatakan Hillary Clinton sampai detik terakhir menang, tapi ‘feeling’ saya mengatakan Donald Trump ini (menjadi pemenang). Ini yang saya katakan ada perubahan ekonomi global, politik global, turun menjadi perubahan ekonomi dan politik nasional,” kata Jokowi.

Pada Pilpres AS yang berlangsung pada 8 November 2016 lalu itu, Trump berhasil terpilih untuk menggantikan Barrack Obama sebagai Presiden AS ke-45 setelah mengalahkan Hillary Clinton. Dalam kontestasi itu, Trump yang didukung Partai Republik mengantongi 276 suara electoral college. Jumlah itu cukup bagi Trump untuk jadi Presiden AS karena jumlah suara minimal yang harus diraih capres untuk memenangi pilpres hanya 270 suara electoral college.

Menurut Jokowi, di era yang sudah serba digital seperti sekarang ini, semua kontestasi politik bisa dipengaruhi oleh suara-suara yang bergerak di media sosial. Apalagi opini publik sangat mudah dibentuk hanya lewat media sosial saja. “Zaman keterbukaan lewat media sosial, tidak bisa terbendung lagi. Banyak isu berkembang setiap jam, setiap menit berubah,” ucap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Berbagai hasil survei yang meleset itu pun seperti menegaskan apa yang pernah dikatakan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi saat Workshop Jurnalis Melek Politik yang digelar AJI Jakarta, Persepi, dan CSIS di Pakarti Center, Jakarta Pusat, Jumat, 16 November 2018 lalu. Pada workshop yang diikuti Asumsi.co itu, Burhanuddin mengatakan bahwa hasil sebuah survei politik belum tentu bisa mempengaruhi persepsi publik dalam menentukan pilihan terhadap calon pemimpinnya.

Di sisi lain, Burhanuddin menilai sikap seseorang atau masyarakat terhadap pilihan politiknya bukan berasal dari hasil sebuah survei. “Jadi begini ya, intinya, kalau dari data yang kami rilis, lembaga riset, lembaga survei itu enggak punya dampaknya terhadap perilaku pemilih di tingkat massa,” kata Burhan di Kantor CSIS di Pakarti Center, Jakarta Pusat.

Baca Juga: Kredibilitas Lembaga Survei: Pentingnya Data Mentah dan Efek ke Persepsi Publik

“Pertama, jelas masyarakat atau pemilih yang mengakses hasil survei jumlahnya enggak banyak. Mereka yang peduli dengan hasil survei kan hanya sebagian kecil dari populasi pemilih saja,” ujarnya.

Lalu, faktor kedua menurut Burhan, bahwa hasil survei dari sebuah lembaga survei masing-masing punya perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Kondisi itu pun jadi salah satu alasan mengapa akhirnya hasil survei tersebut tidak menyeluruh di masyarakat.

“Kedua, hasil survei dari lembaga survei kan beda-beda, jadi terjadi pluralitas hasil survei, dan membuat dampak rilis satu lembaga survei enggak bersifat homogen. Jika itu terjadi, maka memang lembaga survei tidak punya dampak ke perilaku pemilih,” ujarnya.

Survei Politik Selalu Bergerak Dinamis

Senada dengan apa yang disampaikan Burhan soal hasil survei politik yang tak bisa memengaruhi publik sepenuhnya, Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Zaenal A. Budiyono memandang survei politik tentu bersifat dinamis yang setiap saat bisa saja berubah dengan dipengaruhi banyak faktor. Jadi menurut Zaenal, sangat wajar jika Jokowi tak sepenuhnya menggantungkan nasibnya pada hasil survei.

“Survei adalah alat ukur temporer yang bergerak dinamis, mengikuti “cuaca” di masyarakat. Jadi dalam hal ini Jokowi benar bila ia tidak begitu saja puas dengan elektabilitas di survei hari ini. Justru yang terpenting dalam politik adalah fase di babak akhir, sebulan, atau seminggu jelang pemilihan,” kata Zaenal kepada Asumsi.co, Sabtu, 21 Desember 2018.

Berdasarkan hasil sejumlah lembaga survei dalam beberapa waktu terakhir, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin selalu lebih unggul dari Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk memenangkan Pilpres 2019. Misalnya saja hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), pasangan Jokowi-Ma’ruf unggul 60,4 persen sementara Prabowo-Sandi hanya 29,8 persen. Survei itu dilakukan pada 7-14 September 2018 terhadap 1.220 responden dengan response rate 1.074 responden.

Survei dengan metode ‘multistage random sampling’ dan ‘margin of error’ kurang lebih 3,05 persen itu dilakukan dengan responden terpilih yang diwawancarai melalui tatap muka.

Sementara itu, lembaga survei Median merilis hasil survei di mana elektabilitas Jokowi-Ma’ruf unggul 47,7 persen, sedangkan Prabowo-Sandi 35,5 persen dengan ‘Undecided votters’ 16,8 persen. Survei itu berlangsung pada 4-16 November 2018 terhadap 1.200 responden yang memiliki hak pilih dengan ‘margin of error survei’ +/- 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Hasil survei di atas tentu tak bisa sepenuhnya menjamin Jokowi-Ma’ruf bisa meraih kemenangan di Pilpres 2019. Apalagi masih ada waktu kurang lebih empat bulan bagi lawan Jokowi untuk memperbaiki hasil survei dan meraih kemenangan.

Baca Juga: Menanti Peran Ma’ruf Amin Saat Elektabilitas Jokowi Masih Stagnan

Maka dari itu, menurut Zaenal, penting bagi Jokowi untuk memastikan semua mesin politik dari tim suksesnya terus bergerak aktif sampai menjelang Pilpres 2019 berlangsung. Hal itu demi menjaga kestabilan agar suara masyarakat bisa diraih dan tak hilang begitu saja. “Maka langkah terbaik menghadapi situasi yang dinamis ini adalah dengan memastikan mesin politik terus bergerak dari waktu ke waktu,” ujarnya.

Dalam hal ini, Jokowi pun punya strategi sendiri dalam menghadapi Pilpres 2019. Ia percaya dengan melakukan kampanye ‘door to door’, maka peluang untuk menjaga suara masyarakat bisa terus berjalan. “Kampanye yang paling efektif adalah dari pintu ke pintu, dari ‘door to door’. Acara besar memang perlu, tapi tidak terlalu mempengaruhi karena itu yang harus kita kerjakan adalah yang ‘door to door’,” kata Jokowi.

Belajar dari Pilpres AS 2016: Sedia Payung Sebelum Hujan

Menurut Zaenal, berkaca dari Pilpres AS 2016 lalu, bahwa sekali lagi modal elektabilitas yang didapat dari berbagai hasil survei, bisa saja dikalahkan dengan pemilihan isu yang tepat. “Terlepas dari sisi kontroversial Donald Trump, tapi ia berhasil menangkap kegundahan sebagian warga negara AS atas adanya “invasi” para imigran,” kata Zaenal.

Isu-isu sensitif yang dialami masyarakat tersebut justru jadi perhatian dan dimaksimalkan Trump sebaik mungkin. Lewat isu imigran, Trump yang juga merupakan seorang pebisnis itu, berhasil merebut hati masyarakat. Hasilnya, ia mampu meraup suara besar di kontestasi politik sebenarnya.

“Trump juga secara konsisten mengkapitalisasi isu tersebut sehingga membuat elektabilitasnya perlahan merayap, sampai akhirnya mengkudeta elektabilitas Hillary di pemilihan sesungguhnya,” ucap Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia tersebut.

Zaenal mengatakan bahwa situasi politik di Indonesia tidak sama persis dengan AS. Meski begitu, lanjut Zaenal, dalam teori ilmu politik dikenal diktum universalitas, yakni fenomena di satu negara yang cenderung memiliki kemiripan pola dengan negara lainnya, meskipun tingkat ekonomi dan latar belakang budaya politiknya berbeda.

“Contohnya, setiap kali ada krisis ekonomi selalu berujung dengan krisis politik. Semua negara mengalami hal ini, kita di 1998, sekarang Perancis. Begitu juga dengan Arab Springs yang merembet ke sejumlah negara Arab,” kata Zaenal.

Pada akhirnya, Zaenal pun melihat bahwa Jokowi perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin, termasuk dalam hal strategi pemenangan dirinya di Pilpres 2019. Poinnya, sedia payung sebelum hujan, bersiap dengan strategi tertentu sebelum keadaan memburuk. Dengan kata lain, jangan pernah mengecilkan potensi “ancaman” yang muncul, seberapapun kecilnya saat ini wujud “ancaman” tersebut,” ujarnya.

Share: ‘Kekhawatiran’ Jokowi dan Potensi Hasil Survei yang Bisa Saja Meleset