Isu Terkini

Kekhawatiran Dwifungsi TNI dalam Perpres Jabatan Fungsional

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai landasan hukum yang mengatur kedudukan dan hak prajurit militer aktif dalam penugasan di suatu organisasi. Namun, perpres ini justru menjadi sorotan lantaran ada potensi muncul kembalinya Dwifungsi TNI seperti yang terjadi di era Orde Baru.

Perpres tersebut diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada 17 Juni 2019. Perpres ini menyebut bahwa pejabat fungsional TNI berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala unit kerja/organisasi yang bersangkutan ditugaskan. Keberadaan perpres ini pun dikhawatirkan bakal mengembalikan lagi Dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru, di mana ada sejumlah Perwira TNI yang ditugaskan di sejumlah instansi-instansi pemerintahan atau sipil.

Pihak pemerintah membantah kekhawatiran orang banyak tersebut dan menegaskan bahwa perpres itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan Dwifungsi ABRI.

Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani menjelaskan, jabatan Fungsional TNI yang tertuang di dalam perpres itu harus dibaca sebagai kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang prajurit TNI. Sebab, suatu satuan organisasi TNI mensyaratkan penguasaan pengetahuan, keahlian, dan/atau keterampilan bidang tertentu dalam pelaksanaan tugasnya. Menurut Jaleswari, selain jabatan struktural yang ada selama ini. perpres ini lebih fokus kepada pengaturan internal TNI, seperti jabatan fungsional di LIPI.

“Intinya, ini adalah bagian dari menghargai keahlian, keterampilan dan pengetahuan yang beragam dari prajurit TNI yang belum mendapatkannya selama ini,” kata Jaleswari dikutip dari Kompas, Senin (01/07/19).

Menurut Jaleswari, perpres itu juga merupakan turunan dan amanat dari Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 dan peraturan pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 di mana keduanya lahir di era reformasi. Ia menjelaskan, jabatan fungsional TNI diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010, bagian V, pasal 30 dan pasal 31.

Pasal itu mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan fungsional TNI, sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat 3, diatur dengan peraturan presiden. “Itulah yang sekarang baru diteken Presiden,” ujarnya.

Sekali lagi, Jaleswari pun menegaskan bahwa mustahil perpres tersebut bisa memicu munculnya Dwifungsi TNI seperti di era orde baru. Sebab, reformasi TNI saat ini dicapai dengan ongkos sosial politik yang tinggi dan tidak mungkin akan dikorbankan oleh institusi TNI sendiri.

“Apalagi situasi sekarang, dimana semua institusi sipil, masyarakat dan media bisa mengawasi dengan kecanggihan teknologi yang ada.”

Apa Saja Jabatan Fungsional TNI?

Seperti dimuat di laman resmi Sekretariat Kabinet (Setkab), perpres ini menyebut bahwa pejabat fungsional TNI berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala unit kerja/organisasi yang bersangkutan ditugaskan. Pangkat paling tinggi yang akan dijabat oleh pejabat fungsional TNI tersebut tidak akan melebihi pangkat kepala unit kerja/organisasi.

Setidaknya terdapat dua jabatan fungsional TNI, yakni jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan. Jenjang jabatan fungsional keahlian sendiri terdiri dari ahli utama, ahli madya, ahli muda, dan ahli pertama. Lalu, jenjang jabatan fungsional keterampilan terdiri dari penyelia, mahir, terampil, dan pemula. Seluruh tugas, pokok, dan fungsi masing-masing jabatan dijelaskan dalam perpres.

Berdasarkan perpres, prajurit TNI yang diangkat dalam jabatan fungsional TNI keahlian harus memenuhi delapan syarat. Mulai dari harus memiliki integritas dan moralitas yang baik, sehat jasmani dan rohani, pendidikan paling rendah berijazah sarjana (Strata 1) atau setara, memiliki pengalaman tugas sesuai kompetensi di bidangnya paling singkat satu tahun, telah mengikuti pendidikan pengembangan umum dan/atau pendidikan pengembangan spesialis sesuai jenjang jabatannya, nilai prestasi kerja paling rendah bernilai baik dalam enam bulan terakhir, mengikuti dan lulus uji kompetensi dan syarat lain yang ditetapkan oleh Panglima.

Selain itu, prajurit yang diangkat dalam jabatan fungsional TNI keterampilan harus memenuhi syarat-syarat yang sama dengan jabatan fungsional TNI keahlian, kecuali berpendidikan paling rendah berijazah sekolah lanjutan tingkat atas atau setara.

Pengangkatan prajurit TNI dalam jabatan fungsional ahli utama ditetapkan oleh Presiden. Sementara, pengangkatan prajurit Tentara Nasional Indonesia dalam jabatan fungsional ahli madya, ahli muda, dan ahli pertama ditetapkan oleh Panglima. Prajurit TNI dalam jabatan fungsional keterampilan jenjang penyelia, mahir, terampil, dan pemula akan ditetapkan oleh Panglima atau Kepala Staf, sesuai dengan tempat penugasan.

Perpres ini juga menegaskan bahwa jika prajurit yang menduduki jabatan fungsional TNI dipindahkan dalam jabatan struktural, jabatan fungsionalnya akan diberhentikan.

“Prajurit yang diberhentikan dari jabatan fungsional TNI dapat diangkat kembali sesuai dengan jenjang jabatan fungsional TNI terakhir berdasarkan perundang-undangan apabila tersedia formasi jabatan,” tulis Pasal 21 dalam Perpres tersebut.

Selain itu, perpres itu juga mengatur soal pejabat fungsional TNI yang mendapat tunjangan jabatan fungsional sesuai dengan jenjang jabatan fungsional TNI. Ketentuan mengenai tunjangan jabatan fungsional TNI sebagaimana dimaksud diatur dengan peraturan presiden.

Perpres Jabatan Fungsional Layak Dikaji Ulang

Direktur Eksekutif Institute for Defence Security and Peace Studies (IDSPS) Mufti Makarim menjelaskan bahwa perpres itu memang berfungsi untuk memfasilitasi adanya surplus perwira dan penempatan di struktur dalam ruang lingkup kedinasan TNI. Ia khawatir, perpres itu bisa ditafsirkan bahwa militer bisa memiliki jabatan di ranah sipil, seperti di kementerian dan lembaga lainnya.

“Masalahnya, di TNI itu kan ada dua jenis operasi, Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Yang jadi permasalahan, operasi selain perang ini bisa meluas dan melebar,” kata Mufti saat dihubungi Asumsi.co, Senin (01/07/19).

“Pertanyaannya, ada apa hingga Perpres ini keluar? Kalau untuk menjawab surplus perwira, itu skema mau dimasukin kemana? Soalnya ada tenaga utama, madya, dll itu kan bagian dari struktur sipil.”

Menurut Mufti, tak ada potensi Dwifungsi TNI dalam perpres tersebut. Namun, kehawatiran itu wajar adanya.

“Kan kalau Dwifungsi ABRI itu dulu sifatnya politis. Memang dari presidennya yang mau menciptakan sistem di mana tentara juga bisa dilibatkan dalam birokrasi sipil.”

Mufti pun menggarisbawahi bahwa meski sistemnya bukan identik dwifungsi, namun keberadaan perpres itu justru menciptakan ruang untuk aparat dalam urusan sipil. Artinya, kalau urusannya pengerjaan, penempatan dan lain-lain, Mufti melihat ada potensi munculnya hal-hal yang tak diinginkan. Misalnya saja akan ada yang memiliki orientasi, tujuan, dan kepentingan tertentu setelah militer dimasukan ke instansi sipil.

“Nanti mereka bilang ‘Ah nggak apa-apa lah kalo udah perwira, walaupun nggak dapet tempat di dalam, ya bisa diluar juga kan’. Hal seperti ini yang dikhawatirkan.”

Menurut Mufti, kekhawatiran itu tentu sangat beralasan, apalagi masyarakat Indonesia sejak awal sangat berharap bahwa tentara itu bisa jadi kekuatan pertahanan dan di situlah wilayah mereka. Sementara ranah atau instansi sipil biarlah jadi urusan profesional birokrasi sipil.

“Jadi alasan mereka duduk bukan karena merit system. Kalau dua-duanya profesional, jadi orang bukan takut karena ada yang berpangkat, tapi karena merit system.”

Maka dari itu, Mufti pun sepakat kalau perpres tersebut layak untuk dikaji ulang. Sebab, bisa saja nanti perpres itu jadi bumerang bagi pemerintah.

“Begitu sudah terjadi employment, recruitment kan berubah mengecil lagi kan, artinya nanti ada jabatan yang kosong. Nah, kalau yang posisi kosong itu harus diisi menjadi milik milter lagi, berarti akan ada kecenderungan recruitment militer lagi kan?

“Buat saya sih, harusnya ada aturan yang sifatnya konsisten. Contohnya, ya sudah boleh jadi sipil tapi pensiun. Harusnya dikaryakan benar menjadi sipil, tidak bisa pakai pangkat militer dan tidak lagi mengemban kedinasan militer, itu fair. Di AS pun kalau militer ingin masuk birokrasi sipil dan politik, ya dibolehkan, tapi harus pensiun.”

Share: Kekhawatiran Dwifungsi TNI dalam Perpres Jabatan Fungsional