Isu Terkini

Kekerasan Terhadap Jurnalis di Munajat 212: Kronologi dan Kecaman dari AJI dan PWI

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Kekerasan kembali terjadi kepada jurnalis saat melakukan tugas peliputan di lapangan. Kali ini, jurnalis dari media online diduga mengalami intimidasi hingga kekerasan fisik saat sedang meliput pada acara Munajat 212 yang berlangsung di kawasan Monas, Jakarta, Kamis, 21 Februari 2019 malam. Seperti apa kronologinya?

Kronologi Kekerasan Terhadap Jurnalis di Munajat 212

Kekerasan dan intimidasi yang menimpa jurnalis pada saat acara Munajat 212 semalam, diduga dilakukan oleh oknum ormas yang ada di acara tersebut. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Asnil Bambani Amri mengungkapkan bahwa dirinya mendapatkan keterangan dari koordinator liputan CNN Indonesia TV, Joni Aswira yang memang berada di lokasi kejadian tersebut.

Asnil mengatakan bahwa malam itu, berdasarkan penuturan Joni, ada setidaknya belasan jurnalis dari berbagai media berkumpul di sekitar pintu masuk VIP, dekat dengan panggung acara. Mereka menanti sejumlah narasumber yang datang untuk diwawancarai. Namun sekitar pukul 21.00 WIB, terjadi keributan dan terlihat massa tengah mengamankan orang.

“Saat itu, beredar kabar ada copet tertangkap sehingga para jurnalis yang berkumpul langsung mendekati lokasi kejadian. Beberapa di antaranya merekam, termasuk jurnalis foto (kamerawan) CNN Indonesia TV,” kata Asnil dalam siaran pers pada Jumat, 22 Februari 2019.

Di lokasi, kamera jurnalis CNN Indonesia TV terlihat cukup mencolok sehingga menjadi bahan buruan sejumlah orang. Lalu, massa yang mengerubungi bertambah banyak dan tidak terkendali. Beberapa orang membentak dan memaksa para jurnalis untuk menghapus gambar kericuhan yang sempat terekam beberapa detik.

Baca Juga: Kritisi Pemerintah, Maria Ressa Ditangkap Pemerintah Filipina

“Saat sedang menghapus gambar, Joni mendengar ucapan bernada intimidasi dari arah massa. “Kalian dari media mana? Dibayar berapa?”, “Kalau rekam yang bagus-bagus saja, yang jelek enggak usah!” kata Asnil.

Hal tersebut salah satunya dialami oleh wartawan Detikcom. Wartawan Detikcom yang tengah merekam kejadian, tiba-tiba dipiting oleh seseorang dan memaksa menghapus gambar dari ponselnya. Namun, wartawan Detikcom sempat menolak dan tidak mau menyerahkan ponselnya.

“Massa kemudian menggiring wartawan Detikcom ke dalam tenda VIP sendirian. Meski telah mengaku sebagai wartawan, mereka tetap tak peduli. Di sana, dia juga dipukul dan dicakar, selain dipaksa jongkok di tengah kepungan belasan orang,” ucap Asnil.

Akhirnya, ponsel wartawan tersebut berhasil diambil paksa. Semua foto dan video di dalam ponsel tersebut dihapus. “Bahkan aplikasi WhatsApp pun dihapus, diduga agar pemilik tak bisa berkomunikasi dengan orang lain. Usai kejadian itu, korban langsung melapor ke Polres Jakarta Pusat dan melakukan visum,” ujarnya.

Jurnalis CNNIndonesia.com yang meliput di lokasi kejadian ikut menjadi saksi kekerasan tersebut. Sementara jurnalis Suara.com yang berusaha melerai kekerasan dan intimidasi itu terpaksa ikut kehilangan ponselnya.

Asnil mengatakan atas kejadian tersebut, AJI Jakarta mengutuk aksi kekerasan dan intimidasi oleh massa FPI terhadap jurnalis yang sedang meliput. Apa yang dilakukan massa FPI menurutnya telah menghalang-halangi kerja jurnalis.

Baca Juga: Pers Belum Bebas Meliput di Papua

“Kami menilai tindakan laskar FPI menghapus rekaman video maupun foto dari kamera jurnalis CNN Indonesia TV dan Detikcom adalah perbuatan melawan hukum. Mereka telah menghalang-halangi kerja jurnalis untuk memenuhi hak publik dalam memperoleh informasi,” kata Asnil menegaskan.

FPI Bantah Intimidasi Jurnalis

Sementara itu, Panglima Laskar FPI Maman Suryadi membantah ada intimidasi yang dilakukan anggota FPI terhadap jurnalis yang sedang bertugas meliput acara Munajat 212 di Monas pada Kamis, 21 Februari 2019. Ia mengklaim semua media saat itu bebas melakukan peliputan.

“Kalau itu (jurnalis mendapat kekerasan dalam acara Munajat 212), saya belum dengar ya berita itu, karena situasinya mungkin cukup ramai ya. Tapi yang jelas, kalau media sih enggak ada kita tolak, enggak kita usir. Intinya media bebas-bebas saja mengambil berita semalam,” kata Maman saat dikonfirmasi awak media, Jumat, 22 Februari 2019.

Bahkan, Maman mengatakan, ada media asing dari Australia yang ikut meliput agenda tersebut dan berlangsung dengan lancar. Menurutnya, kalau pun informasi terkait kekerasan terhadap jurnalis dalam agenda munajat 212 benar adanya, maka mungkin itu terjadi karena ada kesalahpahaman.

“Mungkin ada kesalahpahaman kali ya. Yang jelas untuk peliputan tadi malam, tidak ada masalah. Semua media online ada di lapangan kok. Kita juga menjaga kondusivitas. Masalah media ini juga enggak kita intimidasi. Jadi sebenarnya enggak ada. Bebas-bebas saja semalam mau meliput,” ujarnya kembali menegaskan.

Lebih jauh, Maman sendiri menolak acara Munajat 212 disebut ricuh. Menurutnya, acara itu secara keseluruhan berjalan lancar. “Cuma semalam itu, tim pengamanan itu banyak yang menangkap copet. Jadi kericuhan itu bukan kericuhan acara, tapi kericuhan karena adanya copet. Ada kelompok copet yang kita tangkap sampai ada enam orang,” ucapnya

AJI dan PWI Kecam Intimidasi dan Kekerasan ke Jurnalis

Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani Amri mendesak aparat kepolisian untuk menangkap para pelaku dan diadili di pengadilan hingga mendapatkan hukuman seberat-beratnya. “Agar ada efek jera. Sehingga kasus serupa tak terulang di masa mendatang,” kata Asnil.

Asnil mengimbau kepada masyarakat agar tidak melakukan intimidasi, persekusi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang liputan. Asnil juga mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis sebelumnya. “Sebab, hingga kini belum ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tuntas sampai pengadilan,” ujarnya.

Baca Juga: Tips Jadi Wartawan yang Baik Versi Edy Rahmayadi

Tak hanya AJI Jakarta saja, Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Oktap Riadi juga mengecam tindakan kekerasan terhadap jurnalis dalam acara Malam Munajat 212 tersebut. Menurutnya, tugas jurnalistik yang dilakukan jurnalis dalam setiap peliputan dilindungi UU Pers.

“PWI mengutuk keras tindakan intimidasi yang dialami para wartawan dalam acara Malam Munajat 212. Polisi harus menangkap pelakunya,” kata Oktap di Jakarta, Jumat, 22 Februari 2019.

Oktap mengatakan polisi harus bersikap tegas terhadap pelaku tindak kekerasan tersebut karena tindakan intimidasi tidak dibenarkan. Menurutnya, polisi tidak boleh takut menghadapi oknum kelompok yang melakukan tindakan kekerasan dan intimidasi tersebut. “Jika polisi tidak mampu menangkap maka polisi masih takut dengan kelompok-kelompok seperti ini,” ujarnya.

Menurut Oktap, tidak boleh sebuah kelompok main hakim seperti yang terjadi dalam Malam Munajat 212, apalagi yang menjadi korban adalah jurnalis yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. Ia pun mengingatkan tiap jurnalis yang menjalankan tugasnya dilindungi UU Pers.

Sesuai Pasal 8 Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan, dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Kerja-kerja jurnalistik itu meliputi mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan kepada publik. Selain itu, mereka juga bisa dijerat pasal pidana yang merujuk pada KUHP, serta Pasal 18 UU Pers, dengan ancaman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.

“Jurnalis mendapatkan perlindungan hukum dalam mencari, menyimpan dan mengelola berita. Selain melanggar UU Pers, diduga ada unsur pidana karena melakukan kekerasan,” tuturnya.

Oktap mengatakan PWI akan mengirimkan surat kepada Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian agar institusi tersebut segera menangkap pelaku tindak kekerasan jurnalis tersebut agar kedepan tidak terjadi lagi. Selain itu, ia juga meminta semua pihak menghargai dan menghormati kerja-kerja jurnalistik para jurnalis dalam melakukan peliputan berita di lapangan.

Share: Kekerasan Terhadap Jurnalis di Munajat 212: Kronologi dan Kecaman dari AJI dan PWI