Isu Terkini

Kegagalan “War on Terror”, 17 Tahun Setelah 9/11

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Tujuh belas tahun yang lalu, tepatnya tanggal 11 September 2001, serangan terorisme ke gedung World Trade Center di kota New York terjadi. Kejadian ini begitu membekas, tidak hanya untuk warga kota New York, tetapi juga untuk seluruh warga Amerika Serikat. Serangan terorisme ini juga menandai babak baru dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat, yaitu dimulainya War on Terror (peperangan melawan terorisme) oleh presiden Amerika Serikat saat itu, George W Bush. Dalam rangka memperingati 17 tahun kejadian ini, Asumsi.co melakukan sebuah kajian mengenai perkembangan War on Terror dan bagaimana persepsi masyarakat Amerika Serikat terhadap kampanye militer ini.

War on Terror, Strategi Amerika Serikat yang Gagal Meredam Terorisme

Ketika War on Terror dicetuskan oleh Presiden Bush tujuh belas tahun lalu, ia mendapatkan dukungan dari hampir seluruh anggota kongres Amerika Serikat. Jelas, serangan terorisme yang saat itu baru saja terjadi membuat warga Amerika Serikat, dengan latar belakang apapun, bersatu untuk mengutuk terorisme. Bahkan serangan tersebut membuat kebanggaan warga Amerika Serikat meningkat drastis. Bukitnya, berdasarkan artikel The Washington Post, pada Januari 2001 terdapat sekitar 55 persen Amerika Serikat yang berada pada kategori “amat bangga” menjadi warga Amerika Serikat. Namun, hampir dua tahun setelah 9/11 terjadi, angka tersebut meroket jauh, tepatnya di angka 70 persen di bulan Juni 2003.

Melihat hal tersebut, proses untuk menindaklanjuti gagasan War on Terror berlangsung dengan sangat cepat. Otorisasi untuk Menggunakan Kekuatan Militer Melawan Terorisme (AUMF) resmi menjadi bagian dari hukum Amerika Serikat per tanggal 14 September 2001. Dalam AUMF ini, presiden Amerika Serikat dapat secara legal menggunakan segala hal yang dibutuhkan untuk melawan bangsa, organisasi, maupun sekelompok orang yang dicurigai merencanakan, mengotorisasi, melakukan, dan mendanai serangan terorisme 11 September 2001. Selain itu, AUMF juga berlaku untuk mencegah serangan terorisme dalam bentuk apapun ke Amerika Serikat.

Dengan adanya otorisasi ini, Amerika Serikat pun melancarkan misi untuk menumpas terorisme ke berbagai negara. Sebut saja Afghanistan, Iraq, Suriah, Pakistan, dan Yaman. Dengan justifikasi menumpas terorisme, Amerika Serikat menginvasi negara tersebut. Namun sayangnya, hasilnya tidak sebanding dengan triliunan dolar Amerika Serikat yang telah dikeluarkan. Amerika Serikat, seperti negara-negara lain, masih rentan dengan serangan terorisme. Padahal, tentu tujuan utama War on Terror adalah menumpas terorisme itu sendiri.

Berdasarkan tulisan karya A. Trevor Thrall dan Erik Goepner yang berjudul Step Back: Lessons for U.S. Foreign Policy from the Failed War on Terror,  terdapat tiga indikator kegagalan dalam War on Terror. Pertama, adalah fakta bahwa Amerika Serikat masih rentan terhadap serangan terorisme. Sebagai sebuah usaha untuk melakukan kontra-terorisme, Amerika Serikat telah menyerang berbagai macam organisasi yang terindikasi terorisme di negara-negara Timur Tengah. Tapi alih-alih membuat Amerika Serikat aman dari serangan terorisme, Thrall dan Goepner merasa bahwa War on Terror membuat Amerika Serikat menjadi lebih tidak aman. Kedua, dengan seluruh biaya yang sudah dikerahkan, Amerika Serikat masih gagal menghancurkan total Al-Qaeda, Islamic State, atau kelompok teroris manapun di seluruh dunia. Ketiga, War on Terror juga gagal meredam pre-kondisi yang membuat kelompok-kelompok tersebut berkembang.

Dari ketiga kegagalan ini, Thrall dan Goepner melihat bahwa sebenarnya terdapat dua sumber kegagalan War on Terror. Pertama, adanya penilaian yang berlebihan mengenai jumlah anggota dan kapabilitas dari suatu kelompok teroris. Akibatnya, usaha yang dikerahkan pun terlalu masif, membuat Amerika Serikat tidak hanya berusaha mengeliminasi kelompok teroris tertentu sebagai sumber terorisme 9/11, tetapi terobsesi untuk menghancurkan seluruh kelompok terorisme di dunia. Dengan kata lain, Amerika Serikat gagal mengeliminasi permasalahan utama dan justru menciptakan permasalahan lain.

Kemudian, sumber kedua dari kegagalan War on Terror adalah strategi yang salah. Tiga aspek dari kesalahan strategi ini adalah adanya strategi yang berbasis motif politik, alih-alih hanya sekadar meredam terorisme, strategi menggunakan kekuatan militer, dan strategi berbasis usaha untuk mengatur urusan domestik negara lain. Ketiga aspek kesalahan strategi ini terkonstitusi satu sama lain, membuat usaha-usaha Amerika Serikat meredam terorisme menjadi kontra-produktif.

Opini yang Terbelah di Amerika Serikat

Serangan yang tadinya membuat Amerika Serikat bersatu kini justru memecah-belah negara tersebut. Dahulu, semua orang sama-sama mengutuk terorisme dan mendukung perlawanan terhadap aksi terorisme. Namun, dengan hasil yang dicapai dan beragam hal yang telah dikorbankan, warga Amerika Serikat pun memiliki pandangan yang berbeda-beda. Orang-orang seperti Thrall dan Goepner melihat bahwa War on Terror telah memiliki kesalahan fundamental yang nyata. Hal ini membuat Amerika Serikat seharusnya mundur dari Timur Tengah secepatnya, untuk membatasi kerugian yang telah begitu besar.

Di sisi lain, ada orang-orang yang memiliki gagasan sama dengan Donald Trump. Kelompok ini mengkritik dengan argumentasi bahwa War on Terror gagal karena hal tersebut belum terlalu ‘keras’. Semasa kampanye, ia pernah berkata bahwa untuk berhadapan dengan orang-orang yang melakukan tindak kekerasan, mereka juga harus dibalas dengan kekerasan. Ia pun merasa strategi penyiksaan, seperti Waterboarding, harus digunakan, agar tidak ada lagi yang tersisa dari para terorisme tersebut.

Share: Kegagalan “War on Terror”, 17 Tahun Setelah 9/11