Isu Terkini

Reuni Akbar 212: Beda Cerita Antara Media dan Kenyataan

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Fahri Hamzah, dalam satu episode di “Pangeran, Mingguan”, pernah berkata bahwa konservatisme di Indonesia memiliki citra yang buruk. Serentetan pemberitaan negatif tentang aksi damai yang dilakukan kalangan muslim konservatif di Indonesia, belum lagi ditambah dengan gagasan kaum konservatif Indonesia yang dikritik oleh banyak pihak di media sosial, jelas mendukung pernyataan Fahri ini. Dua tahun pasca aksi damai 212 – sebuah aksi yang tujuannya berhasil dicapai, yaitu menggulingkan Ahok dari pemerintahan DKI Jakarta – nampaknya citra buruk kaum konservatif masih belum berubah. Mereka masih dianggap sebagai orang-orang intoleran dan berbahaya bagi demokrasi Indonesia. Setidaknya, itu yang tergambar di media sosial dan media massa mainstream.

Sebagai orang yang menjunjung tinggi demokrasi, yang di dalamnya termasuk menyuarakan pendapat di ruang publik, bisa dibilang saya tidak dapat dikategorikan sebagai seseorang yang anti dengan aksi berjilid-jillid ini. Saya merasa bahwa selama itu sesuai dengan aturan, tidak mengganggu ketertiban masyarakat lain, tidak merusak lingkungan hidup di sekitarnya, dan yang paling penting tidak mengganggu hidup saya secara langsung, saya tidak akan keberatan mengizinkan siapapun menyuarakan pendapatnya. Itu lah yang, setidaknya, menjadi pegangan saya terhadap aksi jilid-jilidan yang sedang ramai diadakan selama dua tahun belakangan.

Yang perlu saya tegaskan di sini, tidak menolak bukan berarti saya termasuk dalam kategori orang-orang yang turut meramaikan dan menyukseskan acara. Meskipun memiliki keyakinan yang sama dengan peserta aksi damai ini, saya tidak merasa adanya kepentingan saya untuk hadir dalam acara semacam itu. “Buat apa?” pikir saya. Namun berbeda dengan reuni yang diadakan pada 2 Desember kemarin.

Jumat Sore yang Mengubah Segalanya

Entah mengapa, pada Jumat sore 30 November kemarin, perasaan dan pikiran saya berubah. Dua hari sebelum reuni itu, tiba-tiba saya ingin sekali untuk bergabung dalam acara akbar yang diadakan pada Minggu pagi itu. Walaupun, ketika hari Minggu itu datang, hampir saja pikiran saya berubah.

Rasa takut kalau aksi damai itu tidak sesuai namanya dan rasa malas untuk keluar rumah di Minggu pagi sempat “menghantui” pikiran saya untuk membatalkan rencana hadir di Monas. Tapi ternyata rasa takut dan malas tersebut kalah dengan rasa penasaran. Alhasil, saya pun berangkat ke ikon kota Jakarta itu.

Bisa dibilang rasa penasaran itu dilatari satu alasan yang sangat kuat. Adalah kegiatan yang sedang saya gemari. Belakangan ini saya hobi menulis dan berdikusi mengenai bangkitnya paham konservatif di seluruh penjuru dunia. Namun saya sendiri tidak punya pengalaman pribadi dalam mengikuti acara-acara kelompok konservatif. Saya tidak mengetahui bagaimana interaksi mereka dan narasi yang coba dibangun. Singkatnya, besar keinginan saya untuk merasakan secara langsung gerakan politik konservatif ini, sampai interaksi terkecilnya seperti antar-individu yang ada di sana. Saya ingin mengalami sendiri pengalaman menjadi salah satu peserta reuni, bukan hanya melahap apa yang media kabarkan.

Pengalaman Pertama Seumur Hidup

Tak ingin merasa repot  mencari parkir kendaraan dan demi keamanan, saya memutuskan memulai perjalanan ini menggunakan ojek daring. Beruntung sekali rute pilihan saya tak terkena macet padahal, menurut berita yang beredar, massa sudah mulai memenuhi segala arah menuju silang Monas dan sekitarnya. Tibalah saya di depan Bundaran HI sekitar pukul 8.15 dan saya masih bisa melihat orang-orang yang sibuk dengan kegiatan CFD. Sementara banyaknya peserta reuni baru terlihat sekitar 2,6 km dari Bundaran HI sampai Monas.

Sembari saya berjalan kaki menuju silang Monas, saya kira suasananya akan langsung berubah menjadi bernunsa Islami dan menegangkan penuh dengan orasi-orasi. Ternyata, suasana tetap begitu cair. Bahkan ada para peserta aksi yang terlihat sedang berolahraga. Selain itu, tidak jauh dari Sarinah, Thamrin, sedang berlangsung acara dangdutan dengan penyanyi yang tampil cukup terbuka. Saya terkejut karena mungkin hanya sekitar 500 meter dari pagelaran tersebut, sedang berlangsung acara bernuansa keagamaan dengan jumlah peserta yang begitu masif. Pedangdut tersebut tidak mendapatkan masalah, dan para peserta aksi pun tidak mendapatkan masalah. Semuanya berjalan beriringan tanpa gesekan.

Pedangdut di dekat acara reuni akbar 212. Foto: Dok. Asumsi.co.

Titik mula berdesak-desakan yang saya rasakan dimulai dari perempatan Bank Indonesia. Di titik itu, suasanya sudah sepadat konser-konser musik bagian depan panggung. Panji-panji tauhid mulai banyak berkibar, dan ada satu titik orasi di situ. Ketika saya mengobservasi lebih lanjut, ternyata yang sedang berorasi adalah Kiwil! Iya, Kiwil yang kita kenal sebagai seorang pelawak, sedang berdakwah di titik orasi itu.

Titik orasi ada di sebelah kiri foto. Foto: Dok. Asumsi.co.

Selepas saya mendengar orasi Kiwil, saya mulai ragu, apakah untuk melangkah lebih dekat ke arah Monas, atau saya harus mundur saja. Dengan prinsip “Udah basah, sekalian aja kecebur”, saya pun memutuskan untuk bergerak ke arah silang Monas. Suasana semakin padat, udara semakin pengap. Namun satu hal yang menarik bagi saya di tengah oksigen yang semakin tipis adalah banyaknya gratisan yang disediakan. Saya awalnya mengira bagi-bagi gratisan tersebut adalah sogokan untuk para kelompok tertentu yang sudah mau datang ke acara. Namun ternyata, saya ditawarkan juga! Saya ditawarkan air mineral dan roti untuk mengisi energi. Karena kebetulan saya membawa air mineral sendiri dan sudah makan, saya tidak menerima gratisan tersebut. Dari titik tersebut hingga titik saya menyudahi ‘perjalanan’ saya di reuni akbar aksi damai 212, yaitu di Pasar Senen, banyak sekali gratisan-gratisan lain yang juga ditawarkan ke saya. Ternyata, gratisan-gratisan ini hanya memiliki satu tujuan, yaitu untuk berbagi sesama muslim.

Berbuah Rasa Takjub

Selain gratisan-gratisan, ada dua hal lain yang juga membuat saya takjub. Pertama, adalah ketakjuban saya dengan usaha para peserta reuni akbar tersebut untuk menjaga rumput-rumput Jakarta. Rerumputan benar-benar dijaga sekuat mungkin. Ketika saya tidak sengajak menginjak rumput taman, tiba-tiba banyak yang menyoraki saya untuk tidak menginjak rerumputan. Mereka benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk menjaga agar aksi damai ini benar-benar terselenggara dengan damai dan tidak menimbulkan kerusakan kota. Memang ada beberapa orang yang tetap keras kepala untuk berdiri atau duduk-duduk di taman pinggir jalan, namun hal tersebut tidak signifikan dan tidak membuat tanaman-tanaman di pinggir Jalan sekitar silang Monas rusak. Sebuah usaha yang benar-benar membuat takjub, karena jika dibandingkan dengan festival-festival outdoor yang bertajuk alam terbuka, konser ini kalah dalam konteks keberhasilan menjaga lingkungan.

Rerumputan yang berusaha dijaga. Foto: Dok. Asumsi.co.

Kedua, saya juga takjub karena banyak sekali orang yang secara sukarela menyumbangkan apa yang mereka miliki demi perdamaian aksi ini. Ada yang membagi-bagi obat, menyediakan peralatan medis lengkap, sampai sukarela menjadi petugas kebersihan agar sampah yang berserakan tidak semakin banyak. Tindakan-tindakan sukarela ini membuat saya takjub karena gambaran yang diberikan di media arus utama tentang acara ini seringkali lebih ke sisi negatif dari acara ini.

Bantuan alat medis dari GNPF Ulama. Foto: Dok. Asumsi.co.

Namun secara keseluruhan, saya kagum karena skeptisisme saya terhadap acara secara relatif tidak terbukti. Pikiran bahwa reuni tersebut akan berbuah kericuhan, memusingkan, dan berbahaya tidak terbukti. Reuni akbar aksi damai 212 benar-benar dilaksanakan dengan cara sedamai mungkin, sesuatu yang gagal dilaporkan oleh media mainstream. Saya tidak ingin berbicara mengenai agenda politik yang dibawa di dalamnya karena saya sendiri tidak merasa ada agenda politik tertentu yang sampai di telinga saya secara eksplisit selama saya mengikuti acara. Semoga ke depannya, aksi damai seperti ini tetap dapat dijalankan dengan damai.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: Reuni Akbar 212: Beda Cerita Antara Media dan Kenyataan