Isu Terkini

Kebijakan Wilayah Administratif Spesial Makau dan Hong Kong untuk Pembangunan: Perlukah Indonesia Mengadopsi Sistem Serupa?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Dalam konteks pembagian administratif, Makau dan Hong Kong merupakan dua wilayah yang termasuk dalam Tiongkok. Namun mereka memiliki hak otonomi yang cukup signifikan. Saking signifikannya, banyak orang yang mengira bahwa dua negara tersebut merupakan negara independen yang terpisah dari Tiongkok. Lalu, apa sih yang melatarbelakangi wilayah spesial ini? Apa keuntungannya? Perlukah Indonesia mengadopsi sistem ini untuk membantu pembangunan berbagai wilayah di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab dalam tulisan ini!

Latar Belakang Historis Makau dan Hong Kong

Makau dan Hong Kong merupakan dua wilayah yang termasuk dalam Special Administrative Region (SAR) milik Tiongkok. Salah satu alasan mengapa dua wilayah ini mendapatkan status spesial dari Tiongkok adalah karena latar belakang historisnya. Makau dan Hong Kong merupakan dua wilayah yang bekas koloni dua negara Eropa. Sampai tahun 1999, Makau merupakan wilayah Koloni Portugal. Pada 20 Desember tahun 1999, Portugal memberikan kedaulatan Makau pada Tiongkok secara penuh. Sedangkan Hong Kong merupakan wilayah koloni Inggris Raya sampai 1 Juli 1997. Pada tanggal tersebut, Inggris memberikan wilayah Hong Kong ke Tiongkok.

Dari fakta di atas, terlihat bahwa Makau dan Hong Kong masih menjadi wilayah negara lain sampai sekitar 20 tahun yang lalu. Dengan begitu, tentu memiliki sistem politik dan ekonomi yang berbeda. Ketika diberikan pada Tiongkok, tentu masyarakat di kedua wilayah ini sempat dilanda kebingungan, mengingat Tiongkok memiliki sistem politik otoriter satu partai yang berbeda dengan apa yang sebelumya diterapkan baik di Makau atau Hong Kong. Namun ternyata, ketika terintegrasi dengan Tiongkok, negara tersebut mengimplementasikan prinsip “satu negara, dua sistem” pada wilayah Makau dan Hong Kong, yang membuat wilayah tersebut mendapatkan otonomi spesial untuk menjalankan sistemnya sendiri.

Keuntungan Wilayah Administratif Spesial Makau dan Hong Kong dalam Pembangunan di Kedua Wilayah Tersebut

Dengan prinsip “satu negara, dua sistem”, Makau dan Hong Kong dapat menerapkan sistem politik dan ekonomi yang sedikit berbeda dengan Tiongkok. Karena bagian dari Tiongkok, Makau dan Hong Kong tetap berada dibawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping. Namun, masyarakat Makau dan Hong Kong memiliki hak untuk memilih Kepala Eksekutif yang memimpin dan mengatur wilayah masing-masing.

Masyarakat Makau dan Hong Kong memilih melalui organisasi-organisasi yang bertindak seperti partai untuk mensuarakan pilihannnya. Pemimpin yang terpilih sebagai hasil dari pemilihan yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok organisasi tersebut pun akan disetujui oleh pemerintah pusat dan menjadi pemimpin untuk wilayah setempat. Menjadi kepala pemimpin di Makau dan Hong Kong juga seolah memimpin negara sendiri, karena tingkat independen yang dimiliki cukup besar. Mulai dari mata uang sendiri, kepolisian sendiri, aturan bea cukai yang berbeda, kebijakan imigrasi, bahasa resmi, hingga memiliki tim olahraga sendiri.

Lalu, apa keuntungannya? Ada dua sisi. Pertama, dapat menjaga kestabilan politik dan ekonomi wilayahnya. Makau dan Hong Kong telah begitu lama memiliki sistem yang berbeda dengan Tiongkok dibawah negara koloni asalnya masing-masing. Makau di bawah Portugal dan Hong Kong di bawah Inggris Raya cenderung lebih terbuka pada oposisi politik dan mengadopsi ekonomi kapitalis. Namun, negara tersebut harus menghadapi perubahan yang tiba-tiba ketika bendera negara koloni mereka diturunkan terakhir kali dan digantikan oleh bendera Tiongkok. Jika sistem yang diterapkan Tiongkok langsung diaplikasikan pada Makau dan Hong Kong, kedua wilayah ini dapat mengalami ketidakstabilan ekonomi dan politik secara besar-besaran. Keputusan untuk menjalankan prinsip “satu partai, dua sistem” ini pun berhasil mencegah ketidakstabilan tersebut.

Kemudian, di sisi lain, yaitu keuntungan untuk Tiongkok sendiri. Jika Tiongkok memaksakan sistem ekonomi dan politiknya langsung beserta dengan aturan, bukan tidak mungkin Tiongkok secara keseluruhan akan mendapatkan kerugian dengan turbulensi sistem politik dan ekonomi di kedua wilayah tersebut. Dengan menerapkan sistem yang berbeda ini, transisi dari Inggris Raya dan Portugal ke Tiongkok pun tidak menciptakan ketidakstabilan yang luar biasa.

Perlukah Indonesia Mengadopsi Gaya Tersebut?

Indonesia, meskipun tidak seluas Tiongkok, tetap memiliki wilayah yang relatif besar dan penduduk yang banyak sebagai negara. Namun, hak otonom spesial yang diberikan Indonesia pada beberapa wilayahnya seperti Aceh maupun Yogyakarta jauh lebih sedikit dengan hak yang diberikan oleh Tiongkok pada Makau dan Hong Kong. Tidak ada hak seperti kontrol imigrasi, hak memiliki mata uang, dan bahkan memiliki paspor secara independen.

Lalu, perlukah Indonesia mengadopsi gaya tersebut? Terlihat bahwa dengan menerapkan prinsip “satu partai, dua sistem” tersebut, pembangunan baik di Makau maupun Tiongkok berjalan dengan baik. Terdapat dua argumentasi untuk menjawab pertanyaan ini.

Argumentasi pertama adalah perlu, karena Indonesia terlalu luas untuk hanya sekadar dikontrol secara pemerintah pusat. Otonomi daerah yang sudah ada masih kurang maksimal dan terkesan setengah-setengah. Mari ambil satu contoh, yaitu pajak. Terdapat beberapa sumber pendapatan melalui pajak yang memang menjadi hak daerah seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), namun masih ada juga pajak yang menjadi hak pemerintah pusat seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini membuat masing-masing daerah di Indonesia tidak memiliki sumber daya dan otonomi yang cukup untuk dapat mengatur keuangannya sendiri. Selain itu, dengan adanya otonomi yang setengah-setengah ini juga, pemerintah daerah jadi kurang bertanggung jawab atas lambatnya pembangunan di daerahnya. Pemerintah pusat pun harus kembali turun tangan untuk mengatasi lambatnya pembangunan daerah yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat.

Di sisi lain, sebenarnya perluasan otonomi untuk Indonesia tidak begitu perlu. Alasan di balik argumentasi ini adalah kasus Makau dan Hong Kong merupakan kasus yang unik, karena merupakan sebuah wilayah yang diberikan kedaulatannya pada Tiongkok setelah menjadi koloni Portugal dan Inggris Raya untuk waktu yang lama. Sedangkan Indonesia tidak seperti itu. Wilayah Indonesia mengalami kemerdekaan pada masa yang berbarengan, meskipun pasca kemerdekaan masih harus ada perlawan-perlawanan di beberapa daerah. Selain itu, korupsi yang terjadi di tingkat daerah pun memberikan bukti bahwa otonomi daerah memberikan ruang baru untuk praktik korupsi dilakukan. Mungkin saja, sentralitas pemerintah pusat lah yang justru dibutuhkan untuk pembangunan Indonesia.

Kedua argumentasi ini terlihat memiliki alasannya yang kuat masing-masing. Yang jelas, pembangunan Indonesia harus disegerakan, baik melalui kondisi yang sekarang, sentralitas pemerintah pusat, atau otonomi yang diperluas.

Share: Kebijakan Wilayah Administratif Spesial Makau dan Hong Kong untuk Pembangunan: Perlukah Indonesia Mengadopsi Sistem Serupa?