Budaya Pop

Kebijakan Sarung Sehari Jokowi, Sesuai dengan Budaya Indonesia?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Sarung seperti sudah menjadi identitas masyarakat Indonesia yang kerap dan suka bersarung setiap hari. Calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo bahkan berencana menerapkan kebijakan penggunaan sarung sehari dalam setiap bulan jika kelak kembali terpilih sebagai Presiden RI. Jokowi mengatakan sarung layak dihargai karena salah satu kekayaan budaya Indonesia.

Saat ini, Jokowi mengungkapkan bahwa rencana kebijakan tersebut masih dipertimbangkan. Termasuk memastikan penggunaan sarung nantinya akan diterapkan pada hari apa dan dalam rentang waktu berapa lama. Yang jelas jika harinya sudah ditentukan, maka penggunaan sarung akan dilakukan bersama-sama selama sehari.

“Saya akan mengajak nantinya, ini baru kita akan tentukan setiap hari tertentu dalam satu bulan kita memakai sarung bersama-sama. Mau enggak, setuju enggak? Bisa seminggu sekali, bisa dua minggu sekali, bisa sebulan sekali, kita lihat nanti,” kata Jokowi saat menghadiri Festival Sarung Indonesia 2019 di Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 3 Maret 2019.

Sarung Jadi Kekayaan Budaya Indonesia

Bukan tanpa alasan Jokowi ingin menerapkan kebijakan bersarung dalam sehari. Pasalnya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan sarung merupakan salah satu kekayaan budaya karena setiap wilayah di Indonesia memiliki motif atau corak sarung yang berbeda-beda. Ia menegaskan bahwa sarung merupakan kekayaan budaya yang hanya dimiliki oleh Indonesia.

Maka dari itu, Jokowi mengatakan sarung harus ditempatkan dan mendapatkan penghargaan. Apalagi, lanjutnya, sarung merupakan kekayaan budaya yang tak dimiliki bangsa lainnya di dunia. “Inilah sebuah kekayaan budaya yang tidak dimiliki bangsa lain, negara lain,” ujarnya.

Baca Juga: Pesona Garut yang Dikunjungi Jokowi: Lebih dari Sekadar Asgar dan Dodol

Bahkan, sarung saat ini identik dengan calon wakil presiden pendamping Jokowi di Pilpres 2019, Ma’ruf Amin. Dalam berbagai kesempatan Ma’ruf selalu mengenakan sarung. Saat mendaftarkan diri bersama Jokowi ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jumat, 10 Agustus 2018 lalu, Ma’ruf tampil dengan sarung songket hijau bermotif, dan ikat pinggang coklat.

Saat itu, Ma’ruf juga memakai pakaian putih, yang dipadu dengan jas dan syal panjang berwarna sama. Sarung rupanya menjadi ciri khas Ma’ruf. Bahkan, saat debat pertama Pilpres 2019, pria kelahiran Banten, 11 Maret 1943 itu juga menyatakan akan tetap memakai sarung jika nanti terpilih menjadi wapres mendampingi Jokowi.

Wajar jika Ma’ruf sendiri kerap memakai sarung dalam sejumlah aktivitas sehari-hari. Dulu, Ma’ruf sempat menjabat sebagai Ketua NU wilayah Jakarta periode 1966-1967 dan konon NU memang dikenal sebagai kaum ‘sarungan’. Bahkan sebagian besar angggotanya memakai sarung sebagai kebiasaan dan dalam sejarahnya, mereka juga pernah menggunakan sarung sebagai gerakan politik identitas.

Sejarah Sarung di Indonesia

Sarung diperkirakan muncul di Indonesia pada abad ke-14 yang dibawa oleh pedagang Arab dan India. Catatan sejarah menyatakan bahwa sarung sebenarnya berasal dari daerah Yaman. Dulunya kain sarung ini dikenal dengan istilah futah.

Di beberapa daerah sana, kain sarung atau futah ini memiliki istilah lain tergantung pada setiap daerahnya, misalnya istilah izaar, wazaar, dan juga ma’awis. Meluasnya persebaran kain sarung ini tidak hanya berkutat pada daerah Timur Tengah dan Asia saja, bahkan sudah sampai ke Benua Eropa dan Amerika.

Ketika memasuki wilayah Indonesia, kain ini dibawa oleh saudagar yang berasal dari Arab dan juga Gujarat. Seiring berjalannya waktu, sarung di Indonesia menjadi busana yang identik dengan budaya Muslim, dan digunakan sebagai busana sehari-hari. Namun, sampai saat ini penggunaan sarung di Indonesia relatif umum sebagai bagian dari gaya hidup bangsa Indonesia, bukan untuk mewakilkan golongan tertentu.

Pada awalnya di Yaman, penggunaan kain sarung ini dipelopori oleh masyarakat Suku Badui yang tinggal di daerah Yaman. Kain sarung dari Yaman ini dulunya hanya merupakan kain putih yang dicelupkan ke dalam bahan pewarna kain berwarna hitam yang dikenal dengan istilah neel. Ada beberapa modifikasi kain sarung dari Yaman yang diketahui, yaitu model Al-Kada, Assafi, dan juga Annawqshah.

Baca Juga: Gestur Hormat Seperti Petugas PT KAI Sebenarnya Sudah Jadi Tradisi Orang Indonesia

Bahkan, kain sarung ini juga sempat menjadi primadona turis yang berkunjung ke Yaman pada masa itu sebagai buah tangan yang bisa dibawa pulang. Seiring dengan persebarannya, kain sarung mendapatkan banyak modifikasi, tak terkecuali dari segi pembuatan, model, bahan, dan juga penggunaannya. Ketika berpindah ke Arab, kain sarung ini justru bukan dijadikan sebagai kain ibadah atau kain untuk pakaian resmi, melainkan sebagi kain untuk tidur atau sekarang kita sebut dengan istilah piyama.

Berbagai Jenis Sarung Khas Indonesia

Beberapa pria di Indonesia memakai sarung untuk menghadiri momen tertentu seperti menghadiri shalat Jum’at, pesta pernikahan, atau khitanan. Di beberapa daerah, pemakaian sarung masih dianggap sebagai simbol status. Meski sarung lebih sering dipakai di daerah Jawa Timur, hampir di setiap rumah penduduk Indonesia pasti menyimpan sarung.

Bagi umat Islam, sarung biasanya dipakai untuk beribadah. Beberapa orang juga memakainya sebagai selimut atau ayunan untuk bayi yang baru lahir. Para pria yang melakukan patroli untuk menjaga keamanan desa di malam hari juga kerap memakai sarung sebagai penghalau dinginnya angin malam.

Biasanya pula, selain uang, makanan dan obat-obatan, masyarakat juga menyediakan sarung sebagai selimut untuk bantuan korban bencana. Bahkan, saat tragedi kerusuhan antar etnis di Sampit dan Palangkaraya, Kalimantan tengah, misalnya, mantan Presiden Abdurahman Wahid menyumbangkan 8.000 sarung kepada para pengungsi. Selain itu, sarung juga menjadi pakaian yang identik dengan momen membahagiakan seperti Idul Fitri.

Sarung, yang dianggap sebagai pakaian kelas bawah, kembali diangkat oleh perangcang Indonesia sebagai identitas nasional lewat kreasinya. Para desainer kenamaan Indonesia, seperti Iwan Tirta, Ghea Panggabean, Asmoro Damais, Afif Syakur dan Carmanita, telah menyesuaikan dan mendaur ulang banyak motif dari seluruh Indonesia.

Kain sarung yang sampai di Indonesia pun kini juga mengalami banyak modifikasi dan menjadi kain yang indah di setiap daerah di Indonesia. Setidaknya ada berbagai jenis kain sarung asli indonesia, mulai dari kain sarung tenun, songket, serta tapis. Bahan-bahan tersebut biasanya mewakilkan daerah asal pembuatannya. Misalkan daerah Bali, NTB, dan NTT cenderung menggunakan bahan tenun untuk membuat kain sarung, yang akhirnya dikenal dengan istilah kain sarung tenun.

Berbeda dengan daerah Minangkabau dan Palembang yang identik dengan bahan songket, sehingga kain sarung asli daerah ini sering disebut sebagai kain sarung songket. Motif sarung khas Indonesia ini juga cukup banyak meskipun memiliki motif yang sederhana. Keunikan sarung dari Indonesia ini adalah penggunaan bahan yang berbeda dari setiap daerahnya dan juga karena kombinasi warnanya yang cantik.

Motif umum untuk kain sarung tapis, misalnya, cenderung menggunakan konsep alam untuk menghias kain sarung. Motif umum kain sarung yang umum digunakan dalam keseharian penduduk di Jawa (terutama di kota-kota besarnya) adalah kain sarung dengan motif kotak-kotak. Motif ini memiliki nilai filosofi yang tinggi meskipun sekilas terdengar sederhana. Motif sarung kotak-kotak ini menyatakan bahwa dalam melangkah ke arah manapun pasti ada konsekuensi.

Share: Kebijakan Sarung Sehari Jokowi, Sesuai dengan Budaya Indonesia?